Label

Sabtu, 01 Desember 2012

Persma Sebuah Tanda Koma

(Peran Persma dalam Mengkawal Isu Lingkungan)

Oleh: Richi Richardus Anyan
Gilitrawangan
 “Kalau kita akan memuliakan bangsa dan nusa, baiklah kita menyempurnakan terlebih dahulu mereka yang tertindas itu. Sebelum mereka hidup sempurna, belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai: Anak Indonesia!” Bung Tomo.

Bukan sebuah Pengantar

Gili saat senja
Setelah gendang revolusi industri didendangkan, bangsa-bangsa di Eropa mulai menginvasi ke berbagai bangsa di belahan Timur Dunia guna mencari bahan mentah untuk kepentingan industrinya. Inilah  motivasi awal sampai timbulnya perang dunia II. Motivasi ini tidak hanya selesai sampai perang berakhir, namun hingga detik ini, motivasi tersebut masih  terus berlangsung.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang kaya akan alamnya menjadi targetan utama saat ini. Lihatlah bagaimana wilayah-wilayah di Indonesia dibagi-bagi oleh Negara-negara Eropa, Australia, dan Amerika. Papua dan Kalimantan menjadi ajang dominasi Amerika. Pantai Selatan Pulau Jawa, Pulau Timor dan beberapa daerah lain menjadi dominasi Australia. Sulawesi, Sumatra, dan beberapa daerah lain menjadi dominasi negara-negara Eropa. Inilah bentuk invasi yang dilakukan oleh negara-negara industri di Indonesia. Bukanlah hal yang sulit untuk melakukan invasi itu saat ini. Tidak perlu tentara yang banyak untuk melakukan invasi tersebut. Cukup dengan sedikit uang semuanya terselesaikan.

Masalah yang serumit itu diperparah dengan sikap ketidak pedulian kebayakan orang akan lingkungan sekitar tempat dia berada. Dari masalah pertambangan sampai masalah sampah sekitar kitapun, kadang diabaikan.

Pada seminar kali ini, saya membatasi pembahasan kita tataran bagaimana peran mahasiswa dalam mengkawal sebuah permasalahan lingkungan melalui media dan bagaimana persma sebagai media alternatif mengkawal permasalahan lingkungan.


Persma itu Pers Mahasiswa…

TFT para calon pengurus kota PPMI DK Mataram
Bicara soal persma sama saja kita bicara dua hal yang sangat rumit untuk dijelaskan. Pers dan mahasiswa itulah kepanjangan dari persma. Dua kata yang memiliki fungsi dan tugas yang berbeda, tapi bukan berarti tidak bisa disatukan. Ada baiknya kita bahas satu per satu.

Sebelum kita membahas soal pers, ada baiknya kita membahas dulu soal mahasiswa. Mahasiswa adalah  tingkatan tertinggi dari siswa. Tinggkatan  tertinggi yang saya maksudkan di sini adalah dari sisi  pengetahuan dan tugasnya. Sisi pengetahuan di  sini adalah soal kefokusan membedah ilmu pengetahuan  yang  kita pelajari dan menerapkan ilmu yang kita pelajari ke masyarakat.

Perjalanan ke Gili
Kalau bicara soal tugas mahasiswa, mungkin akan saya bahas sedikit soal masalah ini karena hal inilah yang sudah dilupakan oleh kebanyakan mahasiswa. Tugas utama mahasiswa adalah agen perubahan, bukan belajar karena belajar itu suatu kewajiban. Belajar mengaplikasikan apa yang kita pelajari ke masyarakat selama kita menjadi mahasiswa.

Berikut yang belum kita bahas adalah soal pers itu sendiri. Pengertian paling sederhana dari pers adalah sebuah perusahaan yang melakukan tugas jurnalistik. Jurnalistik itu sendiri adalah sebuah proses dari pembahasan tema untuk membuat sebuah berita sampai pada menyebarkan media itu ke masyarakat.
Dalam dunia jurnalistik, ada banyak sekali aliran jurnalistik. Sebagai contoh, jurnalisme lingkungan, jurnalisme damai, jurnalisme perang, jurnalisme narasi, jurnalisme transformatif dan lain sebagainya.

apapun makanannya minumnya tetap bram...
Pers mahasiswa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pers dan mahasiwa, serta semangatnya dalam memperjuangkan kaum termarjinalkan, menganut jurnalisme transformatif. Jurnalisme transformatif adalah Ide/perspektif yang menggunakan pendekatan kegiatan jurnalistik, mengupayakan pencerahan bagi kaum intelektual dan masyarakat. Transformasi merupakan tujuan yang mengharapkan adanya perubahan baik itu dari segi pola pikir  maupun dalam hal realitas sosial.

Bicara soal sejarah bangsa ini, persma sangat berperan penting dalam  penyadaran masyarakat baik itu dalam bermedia maupun dalam mengubah pemikiran masyarakat dalam mengkritisi suatu permasalahan sosial. Persma mengambil perannya sebagai media alternatif dalam menyuarakan suara-suara kaum minoritas.

Teringat petuan Tirto Adhi Suryo, salah satu pahlawan nasional yang diberi gelar bapak pers Indonesia, “Tidak hanya tuan-tuan yang bersuara di sini, tapi merekapun patut disuarakan”. Petuah inilah yang seharusnya terus hidup dalam insan persma pada khususnya dan mahasiswa pada umumnya.

Persma sebuah Tanda Koma

Pada Musyawarah Kerja Nasional 2012 Pershimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Surabaya disepakati bahwa semua pers mahasiswa di Indonesia wajib mengawal isu lingkungan di daerahnya masing-masing. Isu lingkungan terbilang sebuah isu baru  yang diusung secara nasional oleh persma. Pada periode-periode sebelumnya, selalu isu lingkungan yang diusung oleh persma dikarenakan isu  itu yang paling dekat dengan persma. Pertanyaannya mengapa harus isu lingkungan yang diusung oleh persma bukan isu pendidikan yang sangat dekat dengan mahasiswa?

Melalui hasil pengkajian yang begitu panjang dan pembacaan masing-masing kondisi di kota-kota, isu lingkungan merupakan isu yang paling urgen dan utama yang harus dikawal, tidak hanya oleh persma, tapi juga oleh semua  orang. Pengkajiannya bukan tanpa dasar, tapi melaui analisis politik, sosial dan budaya sampai pada riset dokumentasi yang di bawa dari masing-masing kota. masalahnya kompleks walau akhirnya dapat kita tarik pada satu motivasi dasar yaitu keserakahan!

Dari berbagai permasalahan yang kompleks dan berbeda masing-masing daerah ini, kita coba membaca potensi isu yang bisa diangkat oleh masing-masing daerah. Artinya masing-masing daerah memiliki isu lingkungan yang berbeda pula.

Sebagai contoh, PPMI Dewan Kota Yogyakarta mengawal isu pertambangan. PPMI DK Yogyakarta (lebih tepatnya segelintir orang yang masih resah akan lingkungan sekitarnya) mengawal isu pertambangan karena ada beberapa pertambangan baru di Yogyakarta yang berpotensi merugikan masyarakat sekitar pertambangan. Misalnya Tambang Pasir Besi di Kulon Progo dan tambang Kars di gunung kidul. Lain lagi dengan PPMI DK Denpasar yang mengkawal isu Hutan Mangrove. Begitupun dengan kota-kota lain yang mengawal isu lingkungan yang berbeda-beda sesuai pembacaan kebutuhan kotanya masing-masing.

Lalu bagaimana persma mengawal isu tersebut? Sedikit berbeda dengan pers umum dalam mengawal sebuah isu lingkungan. Persma, dalam mengawal sebuah isu, tidak cukup dengan menggunakan medianya saja, tapi juga harus turun langsung membantu masyarakat.

Ada beberapa alasan mengapa persma tidak cukup mengawal sebuah isu dengan menggunakan media. Pertama, jumlah terbitan persma begitu sedikit. Rata-rata 500-1000 eksemplar sekali terbit dan itu pun sebulan sekali. Kedua, persma belum punya pasaran yang jelas. Biasanya persma mengklaim kalau pembacanya adalah seluruh masyarakat kampus. Namun pada kenyataannya, tidak semua masyarakat kmpus yang membaca media persma. Persma tidak pernah mendata secara pasti siapa saja pembacanya. Ada lagi beberapa alasan lain, tapi dua alasan di atas menjadi dasar utama mengapa persma tidak hanya cukup mengawal sebuah isu melalui media saja tapi harus turun langsung ke masyarakat. Kitapun belum membakukan metode pangawalan sebuah isu karena kondisi sosial, budaya, dan permasalahan yang diangkat pun berbeda-beda.

Sedikit menceritakan beberapa contoh yang sudah dilakukan oleh persma dalam mengawal sebuah isu lingkungan. Ada beberapa LPM di Yogyakarta yang ikut mengawal masalah Tambang Pasir Besi Kulon Progo di Yogyakarta. Awal mula mereka mengangkat isu itu di majalah mereka yang terbitnya setahun sekali. Karena merasa masalah itu sangat  penting dan tidak cukup melalui media mereka saja, maka mereka membuat rencana baru yaitu ikut berjuang bersama masyarakat di sana.

Awal mula masyarakat di sini sangat tertutup dengan kedatangan organisasi apapun karena mereka pernah punya cerita buruk masa lalu. Setelah memalui diskusi yang panjang dengan masyarakat yang berada di sana,  akhirnya mereka mau membuka diri dengan organ luar. PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pesisir) adalah nama organisasi yang menaungi masyarakat di sana. Semua anggota dan pengurus PPLP adalah masyarakat di sana. Akhirnya persma Jogja bersama PPLP mengadvokasi masalah tambang. Pada perkembangannya, mereka merasa perlu ada kesatuan yang lebih kuat untuk melawan kekuasaan yang lebih besar. Akhirnya mereka coba membangun jaringan antar kota bahkan kabupaten lahan pesisir selatan pulau jawa. Pada akhir tahun 2011, persma jogja bersama 13 kabupaten yang berada di pesisir selatan pulau jawa mengadakan kongres pertama di Lumajang Jawa Timur. Hingga kini sudah melampaui beberapa pulau seperti Sumatra dan Kalimantan.

Aku jadi teringat akan kata-kanta Bung Tomo tentang makna kata Anak Indonesia bagi mereka yang menamakan diri mereka Anak Indonesia. “Kalau kita akan memuliakan bangsa dan nusa, baiklah kita menyempurnakan terlebih dahulu mereka yang tertindas itu. Sebelum mereka hidup sempurna, belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai: Anak Indonesia!” Bung Tomo.

Tak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Bung Tomo. Bagi teman-teman persma yang ikut berjuang bersama para petani di lahan pesisir, mereka menganggap bahwa perjuangan itu belum selesai selama belum ada kemerdekaan. Walau mereka berencana untuk di tahun 2013 akan diadakannya kongres nasional bagi para petani, tapi bukan berarti dengan adanya kongres nasional itu, ada kemerdekaan bagi para petani untuk menanam di tanahnya sendiri. Bagi mereka perjuangan sekarang adalah sebuah tanda koma untuk menghidupi makna kata merdeka dalam realita hingga mereka dapat memberikan tanda titik pada perjuangan mereka. Mari kita bersama-sama berjuang  untuk mencapai tanda titik. Entah kapan…, entah!
Salam Pers mahasiswa!
Catatan Sampah Buat Seminar Regional PPMI DK Denpasar
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: