Label

Jumat, 01 Februari 2019

Menulis Feature

Oleh: Richi Anyan

“Jika menulis itu ibarat berenang, maka menulis feature itu ibarat renang gaya kupu-kupu. Hanya ada dua kunci agar orang bisa berenang dengan gaya kupu-kupu. Pertama, orang harus mengetahui tekniknya. Kedua, orang itu mau mencobanya.”


Pada Mulanya adalah Sebuah Kisah…

Krrriiing… handphon-ku berbunyi sekitar pukul 22.00 malam. Ada telphon dari salah seorang teman. Dia meminta bantuanku untuk mengurus salah seorang pasien miskin yang sudah terbaring selama sebulan di Rumah Sakit Sardjito. Pasien itu seorang anak berumur 3 tahun yang terbaring lemah tanpa perawatan maksimal dari dokter karena tak memiliki biaya. Tak banyak berpikir, tak banyak bicara, aku langsung berangkat menggunakan motor pitung pinjaman. Di sana, aku bertemu dengan bapak pasien, Narsila namanya.

Dua jam kemudia aku sudah kembali dengan notes yang berisi beberapa catatan baru, reportase dan hasil wawancara dengan Narsila. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu pasien miskin itu? Jangankan uang, utang di warung saja belum telunaskan. Namun jika tak membantu, maka matilah rasa kemanusiaanku.

Aku tidur di atas kasur yang sudah menipis sembari tangan kanan diletakan di dahi. Mataku tertutup, tapi pikiranku terus bekerja. Lama berpikir akhir  aku memutuskan untuk menuliskan sebuah feature.

“Malam kian larut, langit pun gelap gulita. Aku berangkat menuju Rumah Sakit Sardjito dengan menggunakan motor pitung pinjaman. Di sana aku bertemu dengan salah seorang bapak yang anaknya sudah divonis terkena tumor ganas. Narsila nama bapak itu. Sudah sebulan anaknya terbaring lemas di rumah sakit tanpa perawatan yang maksimal karena tak memiliki biaya. Malaikat pencabut nyawa pun seakan mendekat. Hati Narsila sama gelapnya dengan malam itu.”

Setelah menulis berita itu, aku meng-upload ke dalam blog pribadiku. Tujuannya jelas, aku akan menyebarkan berita itu melalui media elektronik. Hasilnya rubrik berita: “Berharap Pada Keajaiban” (richianyan.blogspot.com) banyak kalangan yang memberikan bantuan kepada Pak Narsila untuk biaya pengobatan anaknya.

Itulah batasan kalsik feature. Cerita feature adalah artikel yang kreatif, kadang-kadang subjetif,  yang terutama dimaksud untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, kedaan, atau aspek kehidupan.


Ada baiknya kita melihat unsur-unsur yang disebutkan dalam defenisi itu satu per satu.
PERTAMA KREATIVITAS. Tidak seperti penulis berita biasa, memungkinkan reporter “menciptakan” sebuah cerita. Memang ia masih diikat etika bahwa tulisan harus akurat, bukan fiktif atau khayalan. Dari suatu pengalaman atau keadaan seorang wartawan bisa saja dijadikan sebuah feature. Kemudian, setelah mengadakan penelitian dan pengumpulan bahan terhadap gagasan itu, ia menulis.

Misalnya kita disuruh oleh pemred untuk menulis sebuah feature. Biasanya yang kita angkat soal profil dosen atau satpam kampus, atau karyawan kampus. Kita mungkin bisa mengangkat soal hal-hal lain di seputaran kampus yang memiliki kontribusi secara tidak langsung dalam dunia kampus. Sebuat saja tukang angkringan, penjual bakso, atau warung-warung seputaran kampus. Sadar atau tidak, mreka juga memiliki peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Saat kita mengikuti matakuliah dengan perut kosong, konsentrasi kita akan sangat terganggu.

Suatu ketika saya diminta untuk menulis sebuah feature. Setelah melakukan observasi, saya memutuskan untuk menulis berita tentang sebuah warung di pojok realino, tepatnya selatan kuburuan. Hasilnya, saya mendapatkan sesuatu yang baru. Ternyata warung itu adalah warung yang pertama kali ada di Mrican.


“Jualan sekarang sepi, banyak saingannya. Wong lewat mampir. Kalau mahasiswa udah jarang ke sini, mungkin karena jelek tempatnya,” papar wanita ini sambil melempar pandangannya keluar ruangan.

Mbah Buadesima, wanita tua berumur 70 tahun. Kulit mukanya sudah berkerut. Namun semangatnya untuk menyambung hidup terus membara. Bermodalkan warung makan peninggalan suaminya, ia terus menyambung hidup di antara persaingan warung makan lain yang berdiri megah di sampingnya. Dialah yang membuat warung makan pertama kali di Mrican. (Richi Anyan.blogspot.com: Warung Makan Pertama Kali di Mrican)

Berita ini bisa menjadi menarik dan menambah pengetahuan bagi pembaca.
KEDUA SUBJETIVITAS. Berapa feature ditulis dalam bentuk “aku”, sehingga memungkinkan wartawan memasukan emosi dan pikirannya sendiri. Meskipun banyak wartawan yang dididik dalam reporting objektif,  hanya memakai teknik ini bila tidak ada pilihan lain, hasilnya enak dibaca.

Wartawan biasanya menyukai petualangan dan pengalaman, sambil mencari berita yang kadang-kadang menjadi sebuah tulisan menarik karena ditulis dalam bentuk “aku”. Misalnya seorang wartawan melihat-lihat suasana sebuah negara Eropa Timur, dekat setelah komunisme runtuh. Ia catat pengalamannya mengurus visa. Ia ingat pula bagaimana petugas-petugas imigrasi negara itu ketika memeriksa paspornya. Petugas itu terheran-heran sampai melototi paspornya berlama-lama, kok ada orang Indonesia sampai ke situ. Tapi, akhirnya petugas itu terbahak-bahak.

Lalu dalam perjalanan, ia membuat catatan bagaimana sejumlah bekal yang “sepele”, dari sabun, sikat gigi, sampai kembang gula, ketika mobil sewaannya ditinggal sebentar, raib. Ia pun mendapat kesan bahwa orang-orang negara ituingin sekali berbicara pada orang asing, setelah sekian lama bercakap-cakap asing ditabukan. Walhasil pikiran dan pengalaman pribadinya menjadikan feature itu “hidup”.

Namun, para reporter muda harus awas terhadap cara seperti itu. Kesalahan umum pada reporter baru adalah kecendrungan untuk menonjolkan diri sendiri lewat penulisan dengan gaya “aku”. Kebanyakan wartawan kawakan memakai pedoman begini: “Kalau Anda bukan tokoh utama, jangan sebut-sebut Anda dalam tulisan Anda”.

KETIGA INFORMATIF. Feature bisa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai situasi atau aspek kehidupan yang mungkin diabaiakan dalam penulisan berita biasa di koran.

Sebagai salah satu contoh adalah berita “berharap pada Keajaiban”. Setelah berita ini dimuat di blog, keesokan harinya berita ini menjadi berita hangat di beberapa media local dan juga nasional. Selain itu, Pak Narsila pun mendapat bantuan berupa dana dari berbagai kalangan untuk pengobatan anaknya.

Aspek informatif mengenai penulisan feature bisa juga dalam bentuk-bentuk lain. Feature bisa menerjemahkan akibat suatu bencana pada umat manusia dengan memusatkan perhatian kepada keadaan masyarakat yang tertimpa bencana. Kondisi sosial, seperti perumahan bisa digambarkan secara efektif dengan pelukisan yang baik.

Ada banyak feature yang enteng-enteng, yang ditangan penulis yang baik bisa menjadi alat yang ampuh. Feature bisa menggelitik hati sanubari manusia untuk menciptakan perubahan konstruktif.

KEEMPAT MENGHIBUR. Dalam 20 tahun terakhir ini, feature menjadi alat penting bagi surat kabar untuk bersaing dengan media elektronik. Wartawan surat kabar mengakui bahwa mereka tidak akan bisa “mengalahkan” wartawan radio dan televise dalam hal kecepatan penyampaian berita pada masyarakat. Wartawan radio dan televise bisa mengudarakan cerita besar hanya dalam beberapa menit setelah mereka tahu sesuatu telah terjadi. Sementara itu, wartawan Koran sadar bahwa baru beberapa jam setelah kejadian, pembacanya baru bisa tahu suatu kejadian setelah koran diantar.

Namun wartawan harian, apalagi majalah bisa mengalahkan saingannya, radio dan televisi, dengan cerita eksklusif. Ia juga bisa membuat versi yang lebih mendalam mengenai sebuah cerita yang disiarkan radio.

Dengan patokan seperti itu dalam benaknya, ia selalu mencari feature dalam berita-berita yang paling hangat. Cerita feature biasanya eksklusif, hingga sulit dikalahkan oleh radio dan televise, juga koran lain.

Feature memberikan variasi terhadap berita-berita rutin, seperti pembunuhan, skandal, bencana, dan percaturan politik, yang selalu menghiasi kolom-kolom berita. Feature bisa membuat pembaca tertawa tertahan.

Seorang wartawan bisa menulis “cerita berwarna-warni” untuk menangkap perasaan dan suasana pada pembukaan sebuah pertandingan olah raga. Ia berbincang dengan polisi, penjual minuman, dan istri pemain yang menjadi bintang. Hasilnya berupa cerita yang menarik mengenai manusia, yang membuat seolah-olah pembaca hadir dan duduk di tempat yang terpilih.

Dalam setiap kasus, sasaran utama adalah bagaimana menghibur pembaca dan memberikan kepadanya hal-hal yang baru dan segar.

KELIMA AWET. Menurut seorang wartawan kawakan, Koran kemarin hanya baik untuk bungkus kacang. Unsur berita yang semuanya penting, luluh dalam waktu 24 jam. Berita mudah sekali “punah”, tapi feature bisa disimpan berhari, berminggu, atau berbulan-bulan. Koran-koran kecil sering menyimpan naskah yang tak melulu menyajikan berita keras, dan yang disimpan itu kebanyakan feature. Feature ini disimpan di ruang tata muka, karena editor tahu bahwa nilai cerita itu tidak akan musnah dimakan waktu.

Banyak wartawan kawakan yang menyimpan daftar ide feature untuk hari-hari yang kurang berita hangat. Dengan feature yang matang siap di tangan, ia bisa meyakinkan editornya bahwa ia selalu produktif. Beberapa wartawan bahkan sudah melengkapi ide featurenya dengan riset, hingga ia bisa segera menuliskannya bila diperlukan mendadak.

Dari kaca mata wartawan, feature mempunyai keuntungan lain. Tekanan deadline longgar sehingga ia mempunyai waktu cukup untuk mengadakan riset secara cermat, dan menulisnya kembali sampai mempunyai mutu yang tertinggi.

Menyiapkan sebuah feature yang mendalam memerlukan waktu. Profil seorang kepala polisi mungkin baru bisa diperoleh setelah kawan-kawan sekerjanya, keluarga, musuh-musuhnya, dan kepala polisi itu sendiri diwawancarai. Diperlukan waktu juga untuk mengamati tabiat, reaksi terhadap keadaan tertentu, dari perwira itu.

KEENAM PANJANGNYA. Bila seorang reporter bertanya berapa panjang seharusnya ia membuat feature, editor mungkin menjawab, “sepanjang Anda menganggapnya masih menarik.”

Cerita feature panjangnya bervariasi dari dua atau tiga alinea sampai 15 atau 20 lembar ketik dua spasi (dihitung dengan computer, anatara 500 dan 50.000 karakter). Minat pembacalah yang harus menjadi patokan.

Walaupun tidak ada batasan berapa panjang artikel harus dibuat, tidak berarti kita boleh menulis panjang, bertele-tele. Seorang penulis feature yang baik selalu sadar bahwa kata-kata yang tidak penting dan bertele-tele akan mengurangi kesempatan sebuah feature bisa dimuat. Kalaupun tulisan itu dimuat, pembaca akan cepat bosan dan segera melompat ke tulisan lain.

Penulis juga sadar bahwa mengedit suatu tulisan adalah proes yang rumit. Seorang editor tidak bisa begitu saja memotongnya pada bagian akhir tulisan. Materi harus dipotong secara cermat, kata demi kata, baris demi baris.

Maka, penulis harus menulis ringkas dan tidak bicara ke sana-kemari, artiny tetap bersandar pada bahan tulisannya. Bila editor naskah dengan seenaknya memotong alinea yang sebenarnya menentukan, penulis yang bertele-tele tadi ikut juga bersalah.


Langkah Awal

Sebelum kita memulai menulis, kita harus thu terlebih dahulu langkah awalnya. Mungkin langkah awal ini sudah kalian pelajari saat diklar dasar yaitu riset, wawancara, dan data pustaka. Saya tidak akan menjelaskan terlalu panjang lebar soal hal ini. Ada baiknya kalian juga perlu mengingat kembali materi teknik reportase. Akan tetapi untuk melengkapi tulisan ini, maka ada baiknya saya mengajak kita untuk mengingat kembali apa yag sudah pernah kalian pelajari.

PERTAMA RISET. Sebelum memulai kata pertama, reporter mungkin berminggu-minggu melakukan riset, mengamati subjek dari berbagai sisi, berbicara dengan kawan-kawan, musuh, dan kerabatnya. Ia mungkin ikut makan siang dengan subjek di rumahnya, sambil mencatat.

Basilius Triharyanto, seorang wartawan pantau, sebelum menulis tentang nasib orang-orang Tionghoa saat munculnya Peraturan Pemerintah No. 10 yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1960, dia sudah melakukan risetnya lebih dari tiga bulan. Setelah itu dia mulai memilih angle tulisannya. Akhirnya dia memili Tjiong Ping Kwan sebagai tokoh pengantar tulisannya. Untuk bisa mengenal Tjiong Ping Kwan , ia harus tinggal bersama selama tiga bulan. Dia mengetahui kisah hidup Tjiong Ping Kwan, masa-masa sulit di saat orang-orang Tionghoa lain lari ke Hongkong, dan bagaimana Tjiong Ping Kwan bertahan hidup di Indonesia.

Anda harus tahu apa yang sudah dikerjakan orang lain atas isu yang hendak anda tulis. Riset bikin naskah anda bertenaga, tidak murahan, tahu secara benar memandang isu.

KEDUA WAWANCARA. Wawancara adalah kunci dari sebuah berita. Tanpa wawancara, suatu berita akan menjadi sangat hambar, atau bahkan bisa disebut bukan berita. Wawancara digunakan untuk memperoleh fakta tentang apa yang dialami, apa yang dilihat, atau apa pendapat maupun harapan seseorang berkaitan dengan suatu peristiwa. Wawancara selalu dilakukan terhadap beberapa pihak. Sebagai contoh, dalam peristiwa pemukulan, ada pihak pemukul, pihak korban pemukulan dan saksi mata. Untuk memperoleh fakta lengkap tentang peristiwa pemukulan tersebut, jurnalis perlu mewawancarai ketiga pihak itu.

Ketika melakukan wawancara, ada tiga hal pokok yang perlu ditanyakan oleh jurnalis, masing-masing kesan indrawi, atribut dan pendapat/ harapan seseorang. Kesan indrawi seseorang diperlukan, sebab jurnalis belum tentu menyaksikan sendiri peristiwa. Dalam peristiwa pemukulan yang tidak disaksikan oleh wartawan, fakta tentang pemukulan seperti kapan, dimana, mengapa dan bagaimana, hanya dapat diperoleh dengan mewawancarai si pemukul, korban, atau saksi.

Selanjutnya, atribut seseorang diperlukan untuk memberi gambaran bagi pembaca sehingga menjadi jelas siapa seseorang tersebut dan pada posisi mana yang bersangkutan dalam peristiwa yang terjadi. Atribut mencakup nama, usia, status (ekonomi, sosial, dsb), dan lain-lain, termasuk hubungan antar pihak yang berinteraksi dalam peristiwa. Semisal, pemukulan si A terhadap si B. Fakta bahwa  A adalah Ketua DPRD Yogyakarta dan B anggota DPRD Sleman, yang sama adalah atribut bagi kedua orang tersebut, selain nama masing-masing. Atribut sebagai ketua dan anggota DPRD menjadi fakta yang memberi makna tertentu bagi peristiwa pemukulan tersebut.

Bagi tokoh tenar, tentu saja nama, usia, pekerjaan, dan sebagainya, tidak lumrah ditanyakan, karena fakta semacam itu biasanya sudah menjadi fakta publik (misalnya terekam dalam buku tentang tokoh penting).

Kemudian pendapat, harapan, cita-cita, atau aspirasi seseorang yang diwawancarai. Sebagai fakta, sudah tentu pendapat dan sebagainya itu hanya bisa diperoleh melalui wawancara. Kembali pada kasus pemukulan, melalui wawancara misalnya diketahui bahwa korban pemukulan bermaksud mengadukan si pemukul ke polisi agar diadili.

Tidak selalu wawancara berjalan lancar. Di satu sisi, pertanyaan yang terlalu langsung  ke masalah, terlalu abstrak lantas  tidak dipahami, atau terlalu dangkal sehingga tidak menggelitik kapasitas intelektual yang bersangkutan, menyebabkan pihak yang diwawancarai enggan menjawab. Bisa pula terjadi, pertanyaan yang dirumuskan bernada memojokkan, membuat yang bersangkutan marah lalu berhenti menjawab. Kendala lain, pihak yang diwawancarai sukar merumuskan pikiran, sehingga memberi jawaban yang tak jelas atau sepotong-sepotong. 

Menghadapi pelbagai kendala semacam itu, diperlukan banyak kiat dalam merumuskan dan mengajukan pertanyaan. Kiat yang tepat dapat dipelajari berdasarkan pengalaman sendiri  maupun orang lain, namun perlu didukung pemahaman atas karakter seseorang.

KETIGA DATA PUSTAKA. Data pustaka menjadi kekuatan tambahan untuk menjadikan artikel kita bukanlah sebuah artikel murahan. Pada saat Gunung Merapi meletus tahun 2010, KOMPAS mengupas itu tidak hanya dari berapa sisi korban atau data statistic keaktivan Gunung merapi saja, tapi ada hal lain yang mereka tuliskan yaitu mitos dari letusan Gunung Merapi itu sendiri. Mitos Gunung Merapi ini mereka ambil selain dari wawancara, juga dari beberapa buku. Hasilnya, pembaca pun tahu tentang mitos dari letusan Gunung Merapi yang sering dikenal dengan  “Wadus Gembel”.

Adala lagi, yaitu Imam Sohfwan, sekarang menjabat sebagai Direktur Yayasan Pantau. Tujuh tahun setelah Timor Leste merdeka, masih ada banyak luka yang ditinggalkan “penjajah” sebelum kemerdekaan. Salah satunya adalah kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh aparat kepada para wanita muda di Timor Leste.

Melihat hal itu, Imam Sohfwan melakukan reportase. Artikel featurenya menarik dan akurat karena dilandaskan juga pada data pustaka. Setelah melakukan riset, wawancara, dan pengayaan data pustaka, maka munculah sebuah feature dengan judul “Dua Anak Serdadu” (Pantau, 23 Agustus 2007).

Siapkan Senjata

Setelah semua data sudah ada di tangan kita, marilah kita gerakan senjata-senjata yang dipakai oleh wartawan professional untuk menaklukan pembaca yang kurang bersemangat. Senjata-senjata dalam menulis feature yaitu angle, outline, fokus, deskripsi, anekdot, dan kutipan.

ANGLE atau sering juga disebut segi, sisi, atau sudut pandang. Dalam menulis feature, angle ini menjadi roh dari feature. Angle ini yang akan menentukan fokus, outline, deskripsi, anekdot, dan kutipan dalam tulisan.

Bayangkan jika Anda adalah seorang wartawan sebuah koran ternama di negaramu. Pada suatu kejadian, preseden atau kepala negara mati ditembak oleh orang tak dikenal. Berita apa yang akan Anda buat terkait kejadian ini? Angle apakah yang mau Anda pilih untuk dibuat menjadi berita yang unik dibandingkan media-media lain?

Jimmy Breslin, salah seorang wartawan New York Herald Tribune melakukan sesuatu yang cukup berbeda dengan kejadian pembunuhan Jhon F. Kenndy pada beritanya di tahun 1963.  Angle yang dipilih untuk berita tentang kematian presiden Amerika Serikat ini adalah seorang penggali kubur. Berita dengan judul “Ini sebuah Kehormatan” (New York Herald Tribune: It’s an Honour. 1963)  menjadi berita terbaik di tahun itu, bahkan hingga saat ini.

OUTLINE. Apa yang sering membuat seorang wartawan gugup? Menulis laporan utama. Itu artinya Anda harus menulis minimal 15 halamanfolio. Kalau di persma minimal kita menulis lima halaman folio.

Umumnya laporan seperti ini dilahirkan dari sejumlah besar bahan. Beberapa puluh halaman hasil reportase, wawancara, dan dari bagian dokumentasi yang dikumpulkan untuk And abaca dan Anda sunting menjadi satu cerita yang utuh dan menarik.

Mengerikan? Tanang saja. Seharusnya yang Anda pikirkan adalah apa yang harus Anda lakukan?

Penulis yang kurang berpengelaman biasanya mengambil laptop terus menulis suatu lead yang hebat. Tak ayal lagi beberapa alinea setelah itu tertumbuk pada persoalan apa yang harus saya tuliskan setelah ini?

Di situlah kesalahannya. Ia mengira suatu cerita telah terjadi di kepala hanya karena ia sudah mengerti tema dan anglenya. Ia tidak sadar bahwa ada perbedaan besar dengan menulis sebuah cerita 3 halaman dan sebuah cerita 18 halaman.

Outline memang sering disepelekan atau salah mengartikannya atau mungkin juga ia tidak bisa membuatnya. Akibatnya penulis sering melenceng dari fokus. Akibat lain adalah kekacauan urutan cerita. Pengulangan yang tak perlu juga bisa bisa terjadi karena kita menulis tanpa outline. Demikianlah Anda tahu manfaat dari outline.

Ada sebuah pepatah kuno mengatakan, “Mengaji dari alif…” ritinya mengerjakan sesuatu itu harus dimulai dari awal. Nah, untuk menntukan “alif”, kita harus membuat outline. Artinya, pada outlinelah kita dapat menentukan bagian awal cerita. Outline juga akan menentukan urutan cerita.

Secara garis besar ada beberapa urutan cerita yaitu urutan sebab-akibat, urutan akibat-sebab, urutan khusus-umum, urutan khusus umum, urutan pemecahan masalah.

Urutan sebab-akibat yaitu kita melihat terjadinya sesuatu dan kita coba membicarakan akibat-akibatnya, baik yang sudah maupun yang akan terjadi. 

Urutan akibat-sebab yaitu kita menyoroti sebab musebab terjadinya suatu peristiwa.

Urutan khusus-umum: Misalnya televise masuk desa di pedalaman Kalimanta, tapi di sana hanya dijadikan alat hiasan karena belum ada listrik. Televise masuk desa di Bali dan di sana terjadi perubahan kegiatan berkelompok kalau malam  hari, hingga orang tidak lagi aktif dalam berkesenian. Televisi masuk desa di Papua dan pace-mace menjadi wangi oleh parfum multinasional karena iklan. Dari kejadian-kejadian khusus di atas dapat disimpulkan tentang suatu pola umum bahwa TV masuk desa dan merubah peri hidup pedesaan di Indonesia. itulah pola urutan khusu ke umum.

Urutan umum khusus: kita bicara mula-mula soal kesan umum. Setelah itu kita rinci satu demi satu.

Urutan pemecahan masalah: urutan ini dimulai dengan suatu problem. Setelah pemaparan masalah, kita pun mencoba menulis tentang bagaimana cara pemecahannya.

FOKUS adalah langkah penentu, baik dalam penyatuan cerita maupun dalam penulisannya. Reporter harus bisa menyempitkan topik agar dapat dikendalikannya, tapi juga harus longgar buat menampung bahan yang menarik.

Penulis harus tetap setia pada fokus. Namun biasanya penulis banyak tergoda untuk memasukan hal-hal lain dalam tulisannya. Akibatnya, penulis hanyut dalam ratusan persoalan lain yang tidak lekat dengan pokok persoalan. Hasilnya, feature yang membingungkan atau membosankan pembaca karena arus cerita terganggu. Bila penulis tidak berpegang erat pada fokus, penulis dan pembaca bisa tersesat di hutan kata-kata yang tanpa arah, tujuan, dan arti.

Disiplin adalah senjata penulis untk berpikir terus pada pokok persoalan. Ia harus bisa menjadi penguasa kata-kata dan gagasannya sendiri, bukan menjadi budak dorongan hatinya. Tampaknya hal ini hanya masalah biasa. Namun, banyak juga wartawan yang kadang-kadang membiarkan tulisannya hanyut dan menyimpang dari fokus sehingga merusak featurenya.

Agar tidak melenceng dari fokus, penulis harus mempersoalkan setiap bagian materi yang dipakai, sebelum dan sesudah tulisannya selesai. Lihat pada buku catatan Anda. Periksa setiap potongan informasi untuk mengetahui apakah itu cukup relevan dengan pokok persoalan atau tidak. Bila tidak relevan atau tidak membantu Anda mencapai sasaran pokok, yaitu bercerita efektif, singkirkan atau coret saja sehingga nantinya tidak akan terganggu. Jangan punya belas kasihan pada materi yang tidak relevan, buang!

Setelah Anda menulis, perhatikan setiap blok materi yang Anda pakai. Apakah masih ada hubungan yang jelas dengan fokus cerita? Kalaupun relevan, apakah dia menambah sesuatu yang berharga dalam usaha Anda bercerita? Bila tidak, coret saja karena hal itu hanya akan mengurangi efektivitas tulisan Anda.

Untuk meringkas perlunya fokus, maka reporter harus cermat memilih angle cerita sehingga ia dengan mudah mengolah bahan yang diperlukan untuk cerita itu. Selain itu, pegang teguh angle cerita itu dengan menghapus bagian yang tidak berhubungan langsung dengan anglenya atau yang tidak membantu mencapai sasaran.

DESKRIPSI. Dalam beberapa hal televise menang terhadap media cetak karena media elektronik ini bisa menggambarkan bentuk fisik orang atau barang dengan jelas di layar monitor. Pemiras bisa menangkap sosok dan wajar, serta bisa menilai langsung seorang tokoh yang ditayangkan televise. Sedangkan pembaca media cetak harus berupaya membayangkan tokoh tersebut dari kata-kata yang tercetak (atau lewat potret kalau ada), untuk memperoleh gambaran seorang tokoh cerita.

Akan tetapi, dalam beberapa hal, penulis yang bisa mengubah kelemahan media cetak ini menjadi kemenangan. Caranya adalah dengan menggunakan penulisan deskripsi. Gambaran yang ditangkap dari kamera dangkal,  hanya dari satu sisi saja. Kelemahan televise adalah bahwa ia sangat terikat waktu yang sangat berharga, sehingga reporter TV jarang bisa memperoleh gambar yang mendalam. Kalaupun waktu cukup tersedia untuk film documenter, katakanlah ½ jal, kehadiran kamera TV akan mengurangi suasana yang wajar dan realistis.

Penulis feature tidak hanya memberikan gambaran satu dimensi, tapi keseluruhan pribadi dan citra seorang tokoh. Dalam hal yang digambarkan, bukan seseorang, tapi suatu tempat setelah ditempa musibah, atau masa berskaria, penulis bisa menampilkan suasananya.

Leonardo Da Vinci melakukan pekerjaan yang hebat dengan menghasilkan tokoh lukisannya, Monalisa. Tapi monalisanya toh terkungkung oleh kanvas.

Monalisa tidak bisa berinteraksi dengan berbicara, berjalan dengan salah satu kaki, tertawa renyah bila atau menggigit bibir bawah bila sedang ggup. Bagamanapun kuat ekspresi wajahnya, ia tetap beku.

Penulis yang baik bisa menangkap perwatakannya lebih k(dalam tulisannya) daripada yang bisa dilakukan oleh seorang pelukis dalam kanvas. Penulis bisa menggambarkan suatu objek dari setiap seginya yang bisa diketahui, setiap tindakan, dan menangkap cirri-ciri halus yang menyebabkan subjeknya bisa ditampilkan sebagai manusia yang unik.

Penulis feature deskriptif yang baik merupakan gabungan dari beberapa kecakapan: pengumpulan berita reportase, kemampuan observasi yang tinggi seorang wartawan, pengetahuan tentang manusia sesuai dengan pengalaman reportase, dan kemampuan yang baik untuk meramu kata-kata secara ringkas, tapi sangat efektif.

Jika beberapa kecakapan di atas sudah digabungkan maka penulis tersebut dapat menghasilkan feature yang baik. Penulis feature yang baik adalah pembaca yang mampu membuat pembaca seolah-olah hadir, melihat, mendengar, dan merasakan suasana dalam tulisan itu. Efek “Anda-hadir-di-sana”, kata TEMPO, sangat penting untuk penulis feature. Caranya hanya bisa dicapai lewat deskripsi atau lukisan.

Berikut adalah contoh penulisan deskriptif dari salah seorang anggota natas yang mengikuti pelatihan menulis feature. Pelatihan ini diadakn oleh LPM Keadilan FH UII.

Rehat di Musim Rambutan
Oleh: Fafa
Matahari sudah tenggelam di barat. Langit gelap. Selepas maghrib kompleks perumahan ini senyap. Udara kala itu membuat saya ingin segera pulang ke kos. Beristirahat, setelah seharian beraktivitas di kampus. Sepeda ontel saya yang berkarat mengeluarkan suara lebih berisik ketika saya kayuh lebih kencang. Bannya berdecit begitu sepeda itu saya rem beberapa meter di depan pagar kos.
Turun dari sepeda, saya mendengar suatu suara yang sudah familiar di telinga saya. Keheningan kompleks perumahan membuat suara kaki yang diseret itu terdengar jelas. Dari keremangan pekarangan rumah induk semang, muncul seorang bapak tua dengan karung berwarna putih di punggungnya. Ia melangkah menjauhi sebuah bak sampah kecil yang terletak di sudut pekarangan, baru saja memulung.
Tersiram sinar bohlam jingga yang teduh, sosoknya semakin jelas. Topi di kepalanya menceng. Sebagian rambutnya beruban. Pakaian lusuh yang dikenakannya terlalu besar untuk badannya yang pendek dan kurus. Kulit legamnya jadi indikasi bahwa ia sering berhadapan dengan panas matahari siang. Ia bongkok. Sebuah kakinya diseret karena pincang. Salah satu kakinya itu tidak dapat menapak lurus ke depan karena bengkok ke samping.
Ia melangkah makin dekat dengan tempat di mana saya berdiri. Kini wajahnya tampak lebih jelas. Kumis dan jenggot yang senada warna rambutnya, tidak lebat. Matanya lelah. Kelopaknya banyak berkedip. Giginya tidak rapi pun tak bersih. Bibirnya tidak mengatup karenanya. Kurang dari semenit saya perhatikan dia, tapi dia tidak menyadari itu sampai akhirnya kami bertatapan dan saling senyum.
“Pak,” saya menyapanya kemudian. Ia membalas sapa. Sorot polos dan tulus tersirat di mata lelahnya. Saya masih terpaku di tempat saya berdiri, menatapnya menjauh.
Bukan pertama kali itu saya berpapasan dengannya, pun bukan terakhir kali. Beberapa hari kemudian saya masih kerap berpapasan dengannya saat ia kerja. Tak hanya pada saat malam ia memungut, tapi juga pada pagi, siang, dan sore. Hal ini sempat membuat saya berkesimpulan ia tak pernah rehat barang sebentar dari memulung. Tapi kesimpulan saya terpatahkan saat melihatnya duduk merokok di sebuah simpang jalan: berjualan rambutan bersama istri. Ya, di musim rambutan ia tidak terlihat memulung.
“Dua ribu, mbak,” jawabnya dengan sorot mata yang saya kenal ketika saya tanya berapa harga seikat rambutannya.

Secara ringkas, penulisan deskriptif ibarat daging yang mengisi rangka cerita, hingga membuatnya hidup, seolah-olah bernapas, suatu kesatuan yang bisa menggaet minat pembaca serta memberikan gambaran yang lebih realistis.

Petunjuk untuk penulisan deskriptif:
Pertama, ingat bahwa Anda sesungguhnya adalah mata, telinga, hidung pembaca. Tugas Anda mengumpulkan bahan-bahan yang terpilih, yang bisa dianalisa dan dicerna pembaca, hingga menjadi suatu gambar. Untuk memerankan hal ini, Anda harus awas terhadap setiap ciri, betapapun halusnya, yang akan membantu pembaca menemukan gambar atau citra yang tepat.

Kedua, kehadiran Anda sebagai reporter jangan samapai mempengaruhi Si subjek. Berbuatlah sehingga Anda bisa mengamati subjek itu (misalnya seorang tokoh) dalam keadaan sewajarnya. Bila perlu mengadakan waancara, cobalah lakukan agar Si subjek bisa merasa santai dan berbuat lebih wajar, tidak kaku, atau dibuat-buat.

Ketiga, kumpulkan sebanyak-banyaknya catatan, lebih banyak dari yang bisa Anda pakai. Kemudia, sebelum menulis, saringlah catatan itu untuk menentukan hasil pengamatan mana yang paling efektif menangkap gambaran wajah dan watak Si subjek serta sekitarnya.

Keempat, dalam menulis, sebarkan deskripsi sepanjang cerita. Jangan dihimpun di satu bagian. Ini akan memperenak arus baca.
Kelima, ambillah jalan tengah antara terlalu banyak deskripsi dan terlalu sedikit deskripsi. Ini adalah target penulis feature. Bila ceritanya terlalu penuh dengan detail penulisan yang kurang penting. Bila cerita tidak berhasil membuat Anda “melihat” Si subjek, tambahkanlah deskripsi.

Keenam, meski penulis harus menjadi mata, telinga, dan hidung pembaca, ia tidak boleh mencoba memerankan otak pembaca dengan menyisipkan kesimpulan dan penafsirannya sendiri. Sering kesimpulan seperti itu hanyalah tanda kemalasan, mengambil jalan pendek dengan menghindari keharusan deskripsi.

Ada beberapa hal lain yang menjadi larangan dalam menulis feature yaitu tidak boleh menuliskan hal-hal yang general. Misalnya, langit begitu cerah di sore itu atau angin bertiup spoi-spoi, dan lain sebagainya. Jika itu tidak ada hubungannya dengan isi dari berita itu, maka janganlah ditulis. Jika itu punya hubngan dengan isi berita yang mau kita sampaikan, maka bolelah ditulis.

Contoh pertama, “Langit mendung sore itu di Gejayan. Pak Pati dengan cepat mendayung becaknya kembali ke rumah. Dia baru saja mendapat kabar bahwanya istrinya mengalami kecelakaan dan harus segera di bawah ke rumah sakit”. Pada contoh ini, penulis mencoba menghidupkan suasana dengan hal-hal yang general (langit mendung sore itu di Gejayan). Apa bedanya langit mendung di Gejayan dengan langit yang mendung di Mrican? Apa hubungannya dengan berita ini? Kalau tidakada hubungannya, jangan pernah memasukan hal yang general.

Contoh kedua, “Kami makan anggur kematian dan anggur itu lezat. Berair, biru kehitaman, manis, dan asam. Mereka menggantungkan setandan anggur masak di beranda belakang rumah milik muslim yang istrinya belum lama tewas oleh bom orang Sebia. Ini senja di Bosnia, langit sama birunya dengan anggur-angur itu.” 

Ini salah satu contoh jika ingin menggunakan hal-hal yang general dalam tulisan. Hal general bisa dimasukan apabila ada hubungan dengan apa yang mau kita beritakan.

Hal lain yang menjadi larangan dalam penulisan feature atau berita adalah kata sifat. Jangan pernah menggunakan kata sifat karena penulis bisa saja salah tafsir. Contoh: “Diam!” Teriak Pak Kadir dengan marahnya. Apa benar Pak Kadir marah? Atau dia hanya tegas untuk menenangkan suasana? Penulis dalam hal ini bisa saja benar, dan bisa juga salah. Ada baiknya kalau mau menggambarkan kata sifat dengan cirri-ciri gerakan tubuh yang lain. Misalnya: “Diam!” Teriah Pak Kadir dengan dahi mengerut sembari memukul meja sekuat tenaga. Pada contoh ini, pembaca sendii yang akan mengambil kesimpulan apakah Pak Kadir marah atau tidak.

ANEKDOT. Kepandaian mengisahkan cerita sering dibantu oleh adanya anekdot, yakni cuplikan kejadian yang lucu atau menarik, yang memberikan tinjauan ke dalam subjek cerita itu dan sekaligus menghibur pembaca. Dalam feature, anekdot bisa berperan sebagai “cerita dalam cerita”, berupa cerita oleh atau tentang Si subjek.

Mengumpulkan anekdot bisa lebih sulit daripada yang kita duga. Penulis feature mungkin bisa berbicara dengan banyak orang yang mengetahui Si subjek untuk mencari anekdot yang bisa menambah wawasan kita tentang wataknya.

Gudang anekdot seorang reporter merupakan sumber yang penting sekali. Ia bisa mengingat-ngingatnya bila akan menulis feature tentang pribari atau lembaga.

Misalnya cerita tenang pengalaman polisi susila menangkap pelacur di hotel.
“Kami tahu bahwa pelayan hotel menyediakan pelacur, sehingga saya berpakian sebagai tamu dan mendaftarkan diri ke resepsionis. Teman saya duduk di ruang tunggu dan dia harus berlagak seolah-olah sedang menunggu seseorang.”

“Pelayan hotel memberikan “extrservice” dan membawa wanita. Saya turun tangga dan membeli sebungkus rokok untuk memberi kode kepada kawan saya. Ia seharusnya masuk ke kamar saya dalam waktu 15 menit untuk melakukan penangkapan. Ia juga harus menangkap saya agar penyamaran berhasil.”

“Wanita itu sudah datang ke kamar saya dan saya sudah siap-siap. Setengah jam kemudian teman saya belum mncul juga. Maka, saya lakukan penangkapan sendiri. Ketika saya membawa wanita dan pelayan hotel itu turun, teman saya masih menunggu di ruang tunggu.”

“Ia sedang membaca buku komik dan tertawa”.
Maka tidak mengherankan bila banyak reporter yang menganggap anekdot sebagai permata dan menaburkan permata itu di semua bagian cerita.

KUTIPAN. Dalam menulis berita, ada dua macam kutipan yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Saya di sini tidak akan menjelaskan apa itu kutipan secara garis besar sesuai dengan apa yang ada dala EYD. Saya hanya akan menjelaskan bagian saya yaitu bentuk kutipan dalam sebuah berita.

Kutipan langsung adlah suatu alat penulisan yang paling efektif. Bagaimana pandainya seorang penulis, ia perlu pergantian langkah untuk menghilangkan gaya yang sudah monoton. Penulis novel memakai dialog untuk menghentikan kejemuan. Setelah dengan cermat menciptakan perwatakan, penulis berusaha membuat tokohnya “berbicara” dengan gaya yang pas dan cocok dengan pribadi dan latar belakang tokoh itu sendiri.
Pemakaian kutipan — baik dialog maupun monolog — memberikan selingan dan variasi dalam cerita. Selain itu juga dapat memberikan wawasan tentang si tokoh.

Meskipun nada suara tidak bisa dicatat dengan baik dalam tulisan, pemilihan kata-kata dan gaya bisa dipakai untuk menunjukan kepribadian Si subjek. Gaya kutipan  yang sesuai dengan isi cerita akan membuat pembaca seakan-akan “mendengar” sendiri ucapan yang tercantum dalam kutipan itu.

Bagi penulis feature di surat kabar, pemakaian kutipan yang terampil adalah kekuatan vital untuk menjaga agar pembaca tidak berpindah setelah membaca separuh cerita karena merasakan gaya yang itu-itu juga.

Mari kita mabil sebuah contoh kutipan:
“Diam!” kata Pak Kadir.
Kutipan yang sudah agak rutin ini memberikan informasi yang menarik kepada pembaca tentang watak pak kadir. Meski begitu, kata-katanya datar saja dan tidak mencolok.

Bentuk kutipan langsung lebih terasa keaslian kutipan itu. Kutipan ini juga menghilangkan kebosanan. Dengan menambah sedikit saja, efeknya makin besar.

“Diam!” kata Pak Kadir dengan nada tinggi.
Dengan tambahan sedikit ini, unsur nada suara jadi terasa. Telingan bagin dalam pembaca seakan-akan tergetar karena “mendengar” Pak Kadir berteriak dengan nada tinggi.

Memang kutipan mempunyai beberapa keuntungan. Namun penulis harus peka terhadap pelbagai pertimbangan etis. Kutipan bukan hanya menulis apa yang dikatakan Si subjek, tapi harus disajikan sesuai dengan apa yang dikatakannya.

“Diam!” kata Pak Kadir dengan nada tinggi sembari memukul meja sekuat tenaga. Suasana kelas saat itu sangat gaduh tidak ada seorang murid pun yang mau mendengarkan penjelasan darinya. Masing-masing asyik dengan kesibukannya sendiri.

Masih ada satu lagi yang merupakan kewajiban wartawan yaitu mempertimbangkan bagian etis terhadap catatan off the record. Misalnya dalam sebuah wawancara dengan salah seorang Dosen Sanata Dharma yang mengungkap rasa tidak senangnya pada salah seorang Kepala Program studinya.

“Yuliana adalah Kaprodi yang paling tidak bermutu dan paling malas yang pernah saya temui selama menjadi dosen” katanya. Segera setelah sadar bahwa komentarnya itu akan  menimbulkan kesulitan, dosen itu menambahkan, “Tapi ini off the record”.

Jika seorang reporter bersedia menerima informasi off the record, secara etis dia tidak boleh memuatnya.

Masih ada persoalan lain dalam pengutipan yaitu soal “merapikan” kutipan. Memang kutipan pada dasarnya adalah laporan tertulis mengenai ucapan subjek. Tapi kebanyakan repoter “merapikan” kesalahan tata bahasa karena kesantunan yang lumrah saja.

Hanya sedikit orang yang bisa menggunakan tata bahasa yang baik dalam pengucapan lisan. Orang berbicara dengan informal, bahkan juga dengan mereka yang terdidik. Seorang pejabat mungkin terlalu banyak menggunakan kata “daripada…”, atau seorang bintang memakai kata “gimana…”.

Sepanjang tata bahasa itu tidak menimbulkan akibat langsung terhadap cerita, reporter harus memperbaiki kesalahan itu. Namun tidak boleh mengubah pesan pokok atau pemilihan kata-katannya.

Perbaikan ini guna menghindari Si subjek dari rasa malu. Namun, dalam beberapa hal, reporter bisa membiarkan kutipannya sebagaimana aslinya. Misalnnya ada tokoh yang untuk mengimbau rakyatnya, dengan sengaja memakai kata-kata yang “kampungan”. Ia pasti kurang suka bila Si reporter kemudian membuatnya seperti seorang guru tata bahasa.

Dalam menulis kutipan, banyak problem teknis yang dihadapi. Kebanyakan reporter muda cendrung terlalu banyak mengutip (over-quote) atau terlalu sedikit mengutip (under-quote).

Dalam over-quote, reporter hanya sekedar menyusun kutipan, seraya kadang-kadang menyisipkan kata-kata penyambung. Cara penutipan seperti ini sering tidak bisa diterima. Sedikit orang yang mengungkapkan kata-kata secara ringka dalam percakapan. Sebagai penulis, wartawan harus mampu menyampaikan pesan itu dengan lebih jelas dan ringkas dengan cara membuat menjadi kalimat kutipan tak langsung.

Over-quote juga menghancurkan salah satu tujuan baik dalam pengutipan: menghapus kejemuan karena gaya yang sama. Dengan over-qoute, reporter hanya mengganti gaya monoton dirinya dengan gaya monoton orang lain.

Under-quote juga merusakan. Banyak reporter baru yang tidak yakin mengambil kutipan, sehingga ia selalu membuat kutipan tidak langsung. Cara ini juga dapat menghilangkan tujuan baik pengutipan.

Untuk menentukan apakah Anda akan mengutip langsung atau tidak, inilah pedomannya:

Pertama, apakah kutipan itu tidak berantakan, ringkas dan jelas? Bila jawaban tidak, Anda harus memakai kalimat tidak langsung.

Kedua, apakah kutipan langsung itu akan memperkuat efek, memperjelas siapa yang berbicara, atau menambah kesan sebagai pendapat dari orang yang memang layak dikutip? Bila jawaban ya, pakailah kutipan lanngsung.

Ketiga, apakah cerita yang mengawalinya cendrung untuk under-quote? Bila jawabannya ya, pakailah kutipan langsung. Bila over-quote, pakailah bentuk kutipan tidak langsung.

Tubuh dan Ekor

Dalam menulis berita yang diutamakan adalah pengaturan fakta-fakta, tapi dalam penulisan feature kita dapat memakai teknik “mengisahkan sebuah cerita”. Memang itulah kunci perbedaan dari berita “keras” (hardnews) dengan tulisan feature.

Penulis feature pada hakikatnya adalah pengisah atau orang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata, menghidupkan imaji pembaca, menarik pembaca agar masuk kedalam cerita itu, dan membuat pembaca seakan-akan berada di sana atau bahkan menjadi tokoh utamanya.

Bila seorang wartawan natas menulis tentang dosen yang dengan sepatu gemerlap dan kumisnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur akan marah Karena tulisan itu terlalu bertele-tele. Tapi sebaliknya, bila reporter melupakan gambar Sang dosen pada saat menulis feature, redaktur kota mungkin akan berkata, “Orangnya seperti apa? Saya tidak bisa membayangkannya”.

Penulisan featue untuk sebagian besar tetap mnggunakan penulisan jurnalistik dasar karena ia tahu bahwateknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi, bila ada aturan yang mengurangi kelincahan untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera menerobos aturan itu.

Misalkan Anda sudah punya lead yang hidup dan menarik. Problem Anda berikutnya adalah menyusun materi sehingga bisa memikat pembaca untuk mengikuti dari awal sampai akhir.

Dalam penulisan berita, hal itu lebih gampang karena setiap berita ditulis dengan: pyramid terbalik. Banyak feature yang menganut bentuk ini. Tapi sebenarnya tidak ada patokan bentuk feature yang tegas. Ini membuat penulis feature lebih sulit dalam beberapa hal, tapi bisa juga memungkinkan kreativitas dan kecakapan.
Rounded Rectangle: Penutup                        
                 Gbr.1 Piramid Terbalik                                                                Gbr.2 Piramid Feature
Dalam piramida terbalik, bahan tulisan (informasi) disusun sedemikian rupa sehingga pembaca memperoleh bagian terpenting pada aal tulisan. Materi disusun sesuai urutan pentingnya. Informasi makin ke bawah, makin kurang penting, lebih banyak detail, sementara pokoknya sdah dimuat di atas.

Dalam dunia pers, piramida terbalik memiliki dua fungsi:


Pertama, bentuk piramida terbalik itu memungkinkan editor memotong naskah dari bawah. Karena berita disusun sesuai dengan nilai pentingnya, maka, editor bisa dengan cepat memotong dari belakang sesuai dengan halaman yang tersedia.

Kedua, bentuk penulisan tersebut memungkinkan diketahui dengan cepat apakah berita itu layak dimuat atau tidak. Editor cukup membaca leadnya saja. Editor tahu unsur terpenting cerita itu ada pada lead.
Feature juga menggunakan piramida terbalik.hanya ada satu tambahan yaitu penutup atau ending tulisan. Suatu feature memerlukan —bahkan mungkin harus— penutup karena dua sebab yaitu:
Pertama, menghadapi feature, hampir tak ada alasan untuk terburu-buru dari segi redaksionalnya. Editor tidak dapat dengan seenaknya lagi memotong dari bawah. Feature mempunyai penutup yang ikut menjadikan tulisan itu menarik.

Kedua, ending bukan muncul tiba-tiba, tapi lazim merupakan hasil proses penuturan di atasnya yang mengalir. Ingat bahwa penulis feature pada prinsipnya adalah tukang cerita. Ia dengan hati-hati mengatur kata-katanya secara efektif untuk mengkomunikasikan ceritanya. Umumnya sebuah cerita mendorong untuk terciptanya suatu penyelesaian atau klimaks. Penutup tidak sekadar layak, tapi perlu bagi banyak feature. Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan tersebut terasa belum selesai.

Ada beberapa jenis penutup:
Penutup ringkasan. Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita dan menunjukan kembali ke lead.
Penyengat. Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulisa hanya menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga-duga. Penutup seperi ini mirip dengan film modern yang menutup cerita dengan mengalahkan orang “yang baik-baik” oleh “orang jahat”.

Klimaks. Penutup jenis ini serig ditemkan pada cerita yang ditulis secara kronologis seperti sastra tradisional. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional.

Tak ada penyelesaian. Penulis dengan sengaja mengakhiri sebuah cerita dengan menekankan pada sebuah pernyataan pokok yang tidak terjawab. Ia menyelesaikan cerita sebelum sampai klimaks karena penyelesaian memang belum diketahui atau karena penulis sengaja membuat pembacanya tergantung-gantung.

Menulis penutup feature sebenarnya termasuk gampang. Kembalilah kepada peran “tukang cerita” dan biarkanlah cerita Anda mengakhiri dirinya sendiri secara wajar. Seorang wartawan professional selalu berusaha bercerita dengan lancar, masuk akal, dan tidak dibikin-bikin.

Bagaimana Memulainya

Seletelah semuanya telah kita miliki, sekarang, bagaimana kita memualainya? Bukalah Alinea pertama dengan lead yang menarik. Umumnya penulis suka menggunakan lead bercerita dan lead deskriptif, atau keduanya.

Setelah kita sudah memiliki lead yang menarik, sekarang yang harus kita perhatikan lagi yaitu keefektivan kalimat. Kalimatyang tidak efektif dan terlalu “bertele-tele” hanya akan membuat pembaca bosan dan cepat beralish ke berita lain. Kalau mereka beralih ke berita lain artinya apa yang mau kamu sampaikan itu gagal Karena tidak samapai ke pembaca.

Jika Anda sudah mampu menggnakan kalimat-kaliamt efektif, Anda juga harus tahu memainkan alur cerita. Ibarat novel, alur cerita sangatlah berpengaruh untuk membuat pembaca tetap membaca novel kita.

Dalam memainkan alur ceita pun Anda harus bisa menempatkan saat-saat di mana kita menggunakan kalimat pendek dan di mana saat-saat kita menggunakan kalimat panjang. Selain itu kita juga harus menggunakan kalimat-kalimat aktif, tapi jangan takut pada kalimat pasif.

Satu lagi yang tidak boleh dilupakan adalah bermain struktur. Penulis harus memakai teknik untuk menjaga agar semuanya berada pada tempatnya. Meskipun banyak teknik untuk itu, ada tiga yang pokok.

Pertama spiral. Setiap alinea mengurai lebih rinci keterangan yang disebut alinea sebelumnya. Kedua blok. Bahan cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah secara lengkap. Ketiga mengikuti tema. Setiap alinea menegaskan leadnya.

Kebanyakan penulis professional memilih beberapa teknik, tergantung tanjang dan jalannya cerita. Ini dilakukan supaya oran gtidak bosan karena membaca teknik yang itu-itu saja.

Banyak orang yang bisa bercerita dengan baik secara lisan. Hanya sedikit orang yang bisa bercerita dengan baik melalui tulisan. Penulis feature adalah seorang pencerita melaui tulisan. Sebenarnya menulis feature bukanlah hal sulit, tapi bukan juga hal yang gampang. Paling utama dalam menulis feature adalah mengetahi tekniknya. Ibarat lead adalah kepala, struktur adalah kerangkanya, ending atau penutup adalah ekornya.

Akan tetapi, yang paling penting adalah mau memulai untuk menulis. Banyak orang pintar dalam hal teori, tapi tidak dalam praktek. Menulis ibarat beranang. Anda bisa berenang jika mau berenang. Anda bisa menulis jika mau menulis. Itulah kunci dari orang bisa menulis.


Penutup

Dikhair materi ini saya hanya bisa memberikan tambahan salah satu contoh feature. Contoh feature ini pernah aku tulis di blog pribadi terkait dengan salah soerang anak kecil yang mengidap tumor ganas. Lead feature ini sudah saya jadikan salah satu contoh dalam materi ini
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: