Label

Jumat, 03 Februari 2012

Budayaku Budaya Mana


Oleh: Richi Richardus P. Anyan
Mengapa saat ini banyak sekali orang yang mengagumi budaya barat dan secara tidak langsung telah merendahkan budaya sendiri?
Siang itu terasa begitu panas. Aku bersama beberapa orang teman sedang duduk bercanda gurau sembari berdiskusi. Tema diskusi kami saat itu tentang cinta. Pada diskusi itu, salah seorang teman berbicara layaknya Khairil Gibran, salah seorang penyair dari Libanon. Terkadang dia mengutip beberapa syairnya Gibran yang berbicara tentang cinta. Salah seorang teman lainnya tidak mau kalah. Kalau teman yang satunya menggunakan syair-syair Khairil Gibran sebagai landasan dia berbicara tentang cinta, teman yang satu ini mengunakan beberapa syairnya Wiliam Shakespeare.
Pada diskusi itu ada sebuah kesamaan diantara kedua orang ini. Mereka selalu mengutip syair-syair para penyair yang mereka kagumi dengan menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa Asli yang digunakan oleh penyair dalam menulis Puisinya. Awalnya biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan saya menjadi risih. Bukan karena kutipan-kutipan itu yang membuat saya merasa risih, tapi bahasa yang mereka gunakan.
Jujur saja, saat itu tidak ada satu orang pun diantara kami yang berasal dari Ingris. Kami semua dari Indonesia. Saya dari NTT (Nusa Tenggara Timur), satu orang lagi dari Kalimantan Barat, dan dua orangnya dari Jogja. Lebih aneh lagi, kami adalah mahasiswa yang sama-sama belajar pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lalu mengapa dalam diskusi itu mereka harus menggunakan bahasa Asing yang menyulitkan kami dalam berkomunikasi?
Saya mencoba mengkomunikasikan apa yang saya rasakan saat itu kepada mereka. Jawaban dari salah seorang di antara mereka katanya saya kurang gaul, saya kurang mengikuti perkembangan jaman. Lebih menyakitkan lagi ketika dia mengatakan bahwa kalau jaman sekarang, apabila mau kelihatan sebagai orang yang berintelektual, paling tidak dia harus istilah asing dalam percakapannya.
Saat itu, saya tidak banyak memperdebatkan soal masalah penggunaan bahasa ini. Saya hanya merasa kalau teman-temanku itu adalah orang-orang yang termakan sebuah konstruksi untuk meninggikan budaya barat dan menganggap budaya bangsa sebagai budaya yang lebih rendah daripada budaya barat.
Diskusi saat itu sudah berlangsung lama. Namun kejadian selalu menemaniku dalam sepinya kesendirian. Mungkin untuk sebagian besar orang mudah melupakannya atau bahkan tidak mengenangnya sama sekali. Bagiku ini bukan soal klaim bahwa diriku kurang gaul atau kurang mengikuti perkembangan jaman, tapi lebih dari itu bahwa ada hal yang lebih penting telah mereka lupakan yaitu “budaya”. Mereka secara tidak langsung telah meninggikan budaya barat dan merendahkan budaya sendiri. budaya dalam kasus adalah bahasa itu sendiri.
Setiap aku ditemani kesendirian, momentum itu selalu muncul dalam benak. Sampai ada beberapa pertanyaan muncul. Mengapa saat ini banyak sekali orang yang mengagumi budaya barat dan secara tidak langsung telah merendahkan budaya sendiri? kapan itu dimulai atau sejak kapan konstruksi itu mulai ditanamkan?
Berpikir dan terus berpikir. Berdialog dengan kesendirian. Akhirnya saya teringat akan masa sekolah di SMA dulu tentang pelajaran sejarah yang telah saya dapatkan.
Pada awal abad 21, semakin jelas kiblat manusia di bumi ini adalah arah “Barat”. Budaya naturalis dan religius yang mewarnai kehidupan manusia sekitar 300-an tahun yang lalu, semakin meredup. Dinamisme dan Naturalisme yang merupakan kepercayaan lokal manusia Indonesia sudah mulai ditinggalkan. Medan magnet mungkin telah berubah ke arah barat. Dunia merupakan Dunia Barat saat ini.
Berbicara soal budaya barat berarti kita berbicara tentang liberalisme, latar budaya barat hingga saat ini. Saat ini, gaung liberalisme telah merasuki setiap individu bahkan ketika menerapkannya sudah jauh dari cita-cita awal Renaissance atau “Masa Pencerahan”. “Masa Pencerahan” sendiri mengumandangkan pandangan hidup pada antroposentris, liberal, sekular, dan rasional.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa dunia “Barat” begitu superior saat ini? Hingga abad ke 13 belum ada superioritas di dunia atau dapat dikatakan antara budaya barat dan timur masih terjadi hubungan yang sejajr. Bahkan pada jaman Ummayah dan Abbasiyah terjadi sumbangan besar-besaran dalam hal ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat. Ilmu Pengobatan, Seni, dan Arsitektur Timur banyak dicontoh dan dipelajari oleh Barat. Kemunduran justru terjadi pada jaman Turki Usmani yang berhasil merebut konstantinopel dari pemerintah Byzantium. Pada jaman ini justru bangsa barat menanjak pesat. Hal ini ditandai dengan masuknya ke Jaman Pencerahan atau Jaman Terang Budi dan Revolusi Industri.
Pada jaman Revolusi Industri terjadi perubahan radikal, mendasar, dan menyeluruh di Eropa. Pada awalnya hanya menyangkut produksi, tapi akhirnya mempengaruhi bidang lain seperti etika, etos kerja, pola pikir, dan lain sebagainya. Pada umumnya semua bidang ikut berubah. Pelayaran dunia yang pada awalnya berorientasi pada eksploitasi rempah-rempah, bertambah menjadi perluasan pasar bagi hasil indutri yang terlalu melimpah di Eropa.
Masalah pasar selanjutnya memang menjadi problem utama bangsa barat. Ketika sudah terlalu banyak barang produksi akibat Revolusi Industri membuat terjadinya depresi di negara-negara barat. Ketidakseimbangan antara hasil produksi dengan jumlah konsumen membuat negara-negara barat harus mencari solusi yang baru. Solusinya adalah melemparkan hasil produk ke luar negaranya. Ke mana? Negara-negara kolonial di Asia, Afrika, dan Amerika menjadi tempat tujuannya. Maka terjadilah tahap awal globalisasi. Akibat dari globalisasi ke bangsa Indonesia cukup signifikan.
Globalisasi yang terjadi di Indonesia saat ini justru merugikan negara sebagai bangsa yang berkembang. Dapat kita lihat dalam hal penanaman modal asing di Indonesia. Terdapat dominasi kekuasaan sehingga investor asing berkehendak mengatur segala sesuatunya. Hal itu berbanding terbalik dengan investor lokal. Para investor lokal menjadi anak tiri di negrinya sendiri.
Pada globlisasi itu juga terjadi akulturasi budaya. Ketika proses akulturasi ini terjadi, budaya pendatang seharusnya bisa menyesuaikan dengan budaya lokal. Namun hal berbeda terjadi di Indonesia. Ketika datang suatu budaya baru, dalam hal ini budaya barat, bangsa Indonesia yang harus berjuang menyesuaikan dengan budaya barat. Dengan kata lain, di Indonesia, budaya lokallah yang menyesuaikan diri dengan budaya pendatang. Secara tidak langsung, budaya kita semakin terhimpit oleh budaya Barat.
Sebagai contoh adalah image yaitu bahwa orang kulit putih memiliki teknik yang lebih baik sehingga segala sesuatu yang datang dari budaya barat dapat dianggap baik. Hal ini akan menjadi sangat buruk apabila budaya itu diserap tampa ada penyaringan. Lambat laun budaya itu akan berkembang di Indonesia dan tampa kita sadari, budaya itu telah menyatuh dalam diri kita dan merasa bahwa budaya itu adalah sesuatu yang khas dari diri kita. Keadaan tersebut dapat membuat eksistensi budaya Indonesia semakin tenggelam.
Saat ini, eksistensi budaya Indonesia yang semakin tenggelam itu makin nyata. Salah satu contoh adalah inferioritas pada bahasa barat. Sadar atau tidak, kadang orang merasa lebih pintar atau lebih percaya diri saat berbicara dengan menggunakan bahasa asing daripada menggunakan Bahasa Indonesia.
Inferioritas terhadap budaya barat ini sudah dimulai sejak masuknya para penjajah di tanah Nusantara. Waktu itu sudah mulai di tanamkan bahwa bangsa yang menjajah adalah bangsa yang lebih beradap daripada bangsa yang dijajah. Karena itu, bangsa penjajah datang untuk memberadapkan bangsa yang dijajahnya. Inilah awal dari semua inferioritas bangsa Indonesia terhadap bangsa yang telah menjajahnya.
Akhir-akhir ini muncul banyak perlawanan terhadap inferioritas bangsa penjajah. Salah satu produk perlawanan itu adalah munculnya aliran Post Kolonial. Aliran ini mencoba mengadakan perlawanan terhadap superioritas budaya penjajah dan kembali menyadarkan bangsa terjajah akan inferioritasnya kepada bangsa yang telah menjajahnya.
Utopia dari aliran ini adalah hilangnya kesenjangan antara bangsa terjajah dan bangsa yang dijajah. Untuk menghilangkan kesenjangan ini, orang harus kembali memaknai esensi atau hakikat dari budayanya sendiri. Apabila ini sudah dilakukan, maka kewajaran akan sebuah akulturasi budaya dapat terwujud. Kewarasan yang dimaksudkan di sini bahwa budaya asinglah yang harus bisa menyesuaikan diri dengan budaya lokal. Dengan demikian kita tidak kehilagan esensi dari budaya sendiri di tengah tantangan jaman yang penuh dengan panduan budaya barat.
Mungkin kita bisa mengambil contoh dari budaya Bangsa Jepang. Seperti kata Soe Hok Gie bahwa budaya Jepang itu ibarat tanah dan budaya asing itu ibatnya padi. Apabila padi ditanam di tanah itu makan yang akan dikenal adalah padi dari tanah itu. Maksudnya adalah budaya asinglah yang harus bisa menyesuaikan diri dengan budaya lokal. Itulah utopia dari seorang Soe Hok Gie terhadap budaya bangsa Indonesia.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: