Oleh: Richi Richardus
P. Anyan
Mengapa
saat ini banyak sekali orang yang mengagumi budaya barat dan secara tidak
langsung telah merendahkan budaya sendiri?
Siang itu terasa
begitu panas. Aku bersama beberapa orang teman sedang duduk bercanda gurau
sembari berdiskusi. Tema diskusi kami saat itu tentang cinta. Pada diskusi itu,
salah seorang teman berbicara layaknya Khairil Gibran, salah seorang penyair
dari Libanon. Terkadang dia mengutip beberapa syairnya Gibran yang berbicara
tentang cinta. Salah seorang teman lainnya tidak mau kalah. Kalau teman yang
satunya menggunakan syair-syair Khairil Gibran sebagai landasan dia berbicara
tentang cinta, teman yang satu ini mengunakan beberapa syairnya Wiliam
Shakespeare.
Pada diskusi itu ada sebuah kesamaan diantara kedua orang ini. Mereka selalu mengutip syair-syair para penyair yang mereka kagumi dengan menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa Asli yang digunakan oleh penyair dalam menulis Puisinya. Awalnya biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan saya menjadi risih. Bukan karena kutipan-kutipan itu yang membuat saya merasa risih, tapi bahasa yang mereka gunakan.
Pada diskusi itu ada sebuah kesamaan diantara kedua orang ini. Mereka selalu mengutip syair-syair para penyair yang mereka kagumi dengan menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa Asli yang digunakan oleh penyair dalam menulis Puisinya. Awalnya biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan saya menjadi risih. Bukan karena kutipan-kutipan itu yang membuat saya merasa risih, tapi bahasa yang mereka gunakan.
Jujur saja, saat itu
tidak ada satu orang pun diantara kami yang berasal dari Ingris. Kami semua
dari Indonesia. Saya dari NTT (Nusa Tenggara Timur), satu orang lagi dari
Kalimantan Barat, dan dua orangnya dari Jogja. Lebih aneh lagi, kami adalah
mahasiswa yang sama-sama belajar pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lalu
mengapa dalam diskusi itu mereka harus menggunakan bahasa Asing yang
menyulitkan kami dalam berkomunikasi?
Saya mencoba
mengkomunikasikan apa yang saya rasakan saat itu kepada mereka. Jawaban dari
salah seorang di antara mereka katanya saya kurang gaul, saya kurang mengikuti
perkembangan jaman. Lebih menyakitkan lagi ketika dia mengatakan bahwa kalau
jaman sekarang, apabila mau kelihatan sebagai orang yang berintelektual, paling
tidak dia harus istilah asing dalam percakapannya.
Saat itu, saya tidak
banyak memperdebatkan soal masalah penggunaan bahasa ini. Saya hanya merasa
kalau teman-temanku itu adalah orang-orang yang termakan sebuah konstruksi
untuk meninggikan budaya barat dan menganggap budaya bangsa sebagai budaya yang
lebih rendah daripada budaya barat.
Diskusi saat itu sudah
berlangsung lama. Namun kejadian selalu menemaniku dalam sepinya kesendirian.
Mungkin untuk sebagian besar orang mudah melupakannya atau bahkan tidak
mengenangnya sama sekali. Bagiku ini bukan soal klaim bahwa diriku kurang gaul
atau kurang mengikuti perkembangan jaman, tapi lebih dari itu bahwa ada hal
yang lebih penting telah mereka lupakan yaitu “budaya”. Mereka secara tidak
langsung telah meninggikan budaya barat dan merendahkan budaya sendiri. budaya
dalam kasus adalah bahasa itu sendiri.
Setiap aku ditemani
kesendirian, momentum itu selalu muncul dalam benak. Sampai ada beberapa
pertanyaan muncul. Mengapa saat ini banyak sekali orang yang mengagumi budaya
barat dan secara tidak langsung telah merendahkan budaya sendiri? kapan itu
dimulai atau sejak kapan konstruksi itu mulai ditanamkan?
Berpikir dan terus
berpikir. Berdialog dengan kesendirian. Akhirnya saya teringat akan masa
sekolah di SMA dulu tentang pelajaran sejarah yang telah saya dapatkan.
Pada awal abad 21,
semakin jelas kiblat manusia di bumi ini adalah arah “Barat”. Budaya naturalis
dan religius yang mewarnai kehidupan manusia sekitar 300-an tahun yang lalu,
semakin meredup. Dinamisme dan Naturalisme yang merupakan kepercayaan lokal
manusia Indonesia sudah mulai ditinggalkan. Medan magnet mungkin telah berubah
ke arah barat. Dunia merupakan Dunia Barat saat ini.
Berbicara soal budaya
barat berarti kita berbicara tentang liberalisme, latar budaya barat hingga
saat ini. Saat ini, gaung liberalisme telah merasuki setiap individu bahkan
ketika menerapkannya sudah jauh dari cita-cita awal Renaissance atau “Masa Pencerahan”. “Masa Pencerahan” sendiri
mengumandangkan pandangan hidup pada antroposentris, liberal, sekular, dan
rasional.
Lalu muncul
pertanyaan, mengapa dunia “Barat” begitu superior saat ini? Hingga abad ke 13
belum ada superioritas di dunia atau dapat dikatakan antara budaya barat dan
timur masih terjadi hubungan yang sejajr. Bahkan pada jaman Ummayah dan
Abbasiyah terjadi sumbangan besar-besaran dalam hal ilmu pengetahuan dari Timur
ke Barat. Ilmu Pengobatan, Seni, dan Arsitektur Timur banyak dicontoh dan dipelajari
oleh Barat. Kemunduran justru terjadi pada jaman Turki Usmani yang berhasil
merebut konstantinopel dari pemerintah Byzantium. Pada jaman ini justru bangsa
barat menanjak pesat. Hal ini ditandai dengan masuknya ke Jaman Pencerahan atau
Jaman Terang Budi dan Revolusi Industri.
Pada jaman Revolusi
Industri terjadi perubahan radikal, mendasar, dan menyeluruh di Eropa. Pada
awalnya hanya menyangkut produksi, tapi akhirnya mempengaruhi bidang lain
seperti etika, etos kerja, pola pikir, dan lain sebagainya. Pada umumnya semua
bidang ikut berubah. Pelayaran dunia yang pada awalnya berorientasi pada
eksploitasi rempah-rempah, bertambah menjadi perluasan pasar bagi hasil indutri
yang terlalu melimpah di Eropa.
Masalah pasar
selanjutnya memang menjadi problem utama bangsa barat. Ketika sudah terlalu
banyak barang produksi akibat Revolusi Industri membuat terjadinya depresi di
negara-negara barat. Ketidakseimbangan antara hasil produksi dengan jumlah
konsumen membuat negara-negara barat harus mencari solusi yang baru. Solusinya
adalah melemparkan hasil produk ke luar negaranya. Ke mana? Negara-negara
kolonial di Asia, Afrika, dan Amerika menjadi tempat tujuannya. Maka terjadilah
tahap awal globalisasi. Akibat dari globalisasi ke bangsa Indonesia cukup
signifikan.
Globalisasi yang
terjadi di Indonesia saat ini justru merugikan negara sebagai bangsa yang
berkembang. Dapat kita lihat dalam hal penanaman modal asing di Indonesia.
Terdapat dominasi kekuasaan sehingga investor asing berkehendak mengatur segala
sesuatunya. Hal itu berbanding terbalik dengan investor lokal. Para investor
lokal menjadi anak tiri di negrinya sendiri.
Pada globlisasi itu
juga terjadi akulturasi budaya. Ketika proses akulturasi ini terjadi, budaya
pendatang seharusnya bisa menyesuaikan dengan budaya lokal. Namun hal berbeda
terjadi di Indonesia. Ketika datang suatu budaya baru, dalam hal ini budaya
barat, bangsa Indonesia yang harus berjuang menyesuaikan dengan budaya barat.
Dengan kata lain, di Indonesia, budaya lokallah yang menyesuaikan diri dengan
budaya pendatang. Secara tidak langsung, budaya kita semakin terhimpit oleh
budaya Barat.
Sebagai contoh adalah
image yaitu bahwa orang kulit putih memiliki teknik yang lebih baik sehingga
segala sesuatu yang datang dari budaya barat dapat dianggap baik. Hal ini akan
menjadi sangat buruk apabila budaya itu diserap tampa ada penyaringan. Lambat
laun budaya itu akan berkembang di Indonesia dan tampa kita sadari, budaya itu
telah menyatuh dalam diri kita dan merasa bahwa budaya itu adalah sesuatu yang
khas dari diri kita. Keadaan tersebut dapat membuat eksistensi budaya Indonesia
semakin tenggelam.
Saat ini, eksistensi
budaya Indonesia yang semakin tenggelam itu makin nyata. Salah satu contoh
adalah inferioritas pada bahasa barat. Sadar atau tidak, kadang orang merasa
lebih pintar atau lebih percaya diri saat berbicara dengan menggunakan bahasa
asing daripada menggunakan Bahasa Indonesia.
Inferioritas terhadap
budaya barat ini sudah dimulai sejak masuknya para penjajah di tanah Nusantara.
Waktu itu sudah mulai di tanamkan bahwa bangsa yang menjajah adalah bangsa yang
lebih beradap daripada bangsa yang dijajah. Karena itu, bangsa penjajah datang
untuk memberadapkan bangsa yang dijajahnya. Inilah awal dari semua inferioritas
bangsa Indonesia terhadap bangsa yang telah menjajahnya.
Akhir-akhir ini muncul
banyak perlawanan terhadap inferioritas bangsa penjajah. Salah satu produk
perlawanan itu adalah munculnya aliran Post Kolonial. Aliran ini mencoba
mengadakan perlawanan terhadap superioritas budaya penjajah dan kembali
menyadarkan bangsa terjajah akan inferioritasnya kepada bangsa yang telah
menjajahnya.
Utopia dari aliran ini
adalah hilangnya kesenjangan antara bangsa terjajah dan bangsa yang dijajah.
Untuk menghilangkan kesenjangan ini, orang harus kembali memaknai esensi atau
hakikat dari budayanya sendiri. Apabila ini sudah dilakukan, maka kewajaran
akan sebuah akulturasi budaya dapat terwujud. Kewarasan yang dimaksudkan di
sini bahwa budaya asinglah yang harus bisa menyesuaikan diri dengan budaya lokal.
Dengan demikian kita tidak kehilagan esensi dari budaya sendiri di tengah
tantangan jaman yang penuh dengan panduan budaya barat.
Mungkin kita bisa
mengambil contoh dari budaya Bangsa Jepang. Seperti kata Soe Hok Gie bahwa
budaya Jepang itu ibarat tanah dan budaya asing itu ibatnya padi. Apabila padi
ditanam di tanah itu makan yang akan dikenal adalah padi dari tanah itu.
Maksudnya adalah budaya asinglah yang harus bisa menyesuaikan diri dengan
budaya lokal. Itulah utopia dari seorang Soe Hok Gie terhadap budaya bangsa
Indonesia.