Oleh Richi Richardus P. Anyan
“Saya sudah sangat tua dan sebentar lagi akan mati. Saya
tidak tahu tanah ini nantinya akan jatuh ke tangan siapa, tapi bagi saya
keadilan pasti akan selalu menang”, titah Soehartoto sembari menatap ke Tembok
pembatas rumahnya.
Pada zaman
dahulu, tanah memiliki fungsi sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam. Namun
pada perkembangannya, tanah kini sudah beralih fungsi menjadi salah satu aset
kekayaan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah banyak umat manusia di
muka bumi ini. Akibatnya, orang dapat melakukan apa saja untuk memperebutkan
atau mempertahankan kekayaannya itu.
Pernyataan di
atas sudah sangat lazim diketahui dan dibuat banyak orang, tak terkecuali Djoyo Ienggeno.
Tidak terlalu banyak saya tahu soal pribadi yang akrab dipanggil Djojo Ienggeno
ini. Tetapi saya merasa tertarik dengan orang ini karena kasus tanah miliknya
yang menjadi perebutan hingga saat ini.
Joyo Ienggeno, nama panggilan pria ini. Menikah pada tahun 1947
dengan seorang gadis yang bernama Lamsinah. Namun bahtera rumah tangga dua
insan ini tidak bertahan lama. Tiga
tahun setelah pernikahannya, tepatnya tahun 1950, keduanya bercerai. Perceraian
itu dinyatakan sah sesuai dengan prosedur yang berlaku saat itu yaitu dengan
surat tanda cerai dari Kantor Urusan Agama (KUA) Depok dan perangkat desa setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1950, Pak Joyo Ienggeno
dan Bu Lamsinah telah bercerai (talak ke I) sebagaimana tercatat dalam Register
Talak atau Buku Talak No. 65 Tahun 1950 di KUA Kecamatan
Depok (dan keduanya tidak pernah rujuk kembali). Belum ada perceraian resmi di kantor Pengadilan Agama (PA) Sleman. PA Sleman sendiri baru berdiri
dan mulai melayani masyarakat pada tahun 1963. Pernikahan yang
berlangsung begitu cepat membuat kedua insan ini belum sempat dikaruniai buah
hati.
Kendati bahtera
rumah tangganya hancur, tapi dia tetap berpikir optimis. Dia tidak hanyut dalam kegalauan. Joyo Igeno selalu memikirkan masa
depannya.
Pada tahun 1953
sampai awal tahun 1980-an, duda muda ini mulai membeli
tanah sebagai investasi di hari depan. 17 lahan tanah dengan ukuran
dan harga yang berbeda-beda berhasil dibelinya dalam tujuh tahun. Semula pada tahun 1953 sampai dengan tahun 1982 Joyo Ienggeno
membeli tanah dari Merto Ikromo dan Suwito Rejo dengan luas
tanah 10.000
meter persegi dengan bukti Surat Hak Milik Tanah
Model D Nomor 2701, 2727, 2767, 2793, 2794, 278, dan 2813 tahun 1982 atas
nama Joyo Inggeno alias Joyo Igeno dengan alamat Widoro Ngropoh RT
05/25 Condongcatur, Depok, Sleman. Kepala desa saat itu dijabat oleh Pak Hadi Kusmanto.
Saya tidak tahu
pasti apa alasan beliau membeli tanah sebanyak itu, entah untuk anak cucunya
nanti atau untuk dijualnya kembali saat harga tanah makin meningkat. Namun
itulah yang terjadi dalam sepuluh tahun setelah perceraiannya.
Setelah
perceraian itu, beliau tidak lagi menikah dengan siapapun hingga akhir
hanyatnya. Selain itu pak Joyo Igeno juga tidak memiliki
anak dengan siapapun termasuk mantan Istrinya. Beliau meninggal pada tahun 1984 dengan
meninggalkan tanah yang sudah dibelinya itu tanpa melimpahkan ke siapapun.
Babak baru
kepemilikan tanah ini pun dimulai. Pihak keluarga, dalam hal ini semua saudara
dan keponakannya menganggap tanah ini milik mereka. Sedangkan Bu Lamsinah
sebagai mantan istri merasa tanah itu adalah miliknya, dengan anggaapn itu adalah
harta warisanya almarhum suaminya.
Ada dua versi
kepemilikan tanah yang berujung pada penjualan tanah ini. Sang mantan istri
merasa bahwa tanah yang dibeli oleh mantan suaminya adalah miliknya kendati semua
tanah yang dibeli oleh mantan suaminya itu saat mereka telah bercerai. Sedangkan
keluarga dari Pak Joyo Ienggeno merasa bahwa tanah itu adalah harta warisan
Pak Djoyo Ienggeno yang seharusnya menjadi milik mereka.
Alasan kuat dari
ahli waris karena tanah ini dibeli oleh Almarhum Djoyo Ienggeno setelah mereka
bercerai dan dalam pernihakan Almarhum dengan Bu Lamsiah pun tidak mempunyai
anak. Karena itu pihak keluarga menamakan diri mereka
sebagai pihak alih waris. Rasa kepemilikan ini tidak
berujung pada penyelesaian secara kekeluargaan saja tapi sampai pada proses hukum
di pengadilan.
Bagi Bu Lamsinah, harta mantan suaminya itu adalah
harta bersama. Artinya harta itu adalah milik dia dan mantan suaminya. Karena
itu, tanah peninggalan bekas suaminya ini dijadikan status harta
Gono Gini. Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Negri (PN) Sleman No 5/ PDT/1987/Pyt. tanggal
26 November 1987 Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, No.
929K/PDT/1988, tenggal 16 Jini 1993 Jo putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, No. 287 PK/PDT/1994, tanggal 23 Oktober 1997.
Dengan putusan ini Bu Lamsinah memberanikan menjual
semua aset mantan suaminya itu. Empat tahun setelah kematian Pak Joyo Ienggeno, Sang Mantan Istri
mulai menjual tanah milik eks suaminya ini. Tanah ini dijual kepada salah
seorang pemborong sesuai prosedur jual beli tanah saat itu. Pemborong itu
bernama Soehartoto.
Pak Soehartoto
membeli semua tanah dengan bukti Akta Jual Beli (AJB) yang secara sah, menurut
Pak Soehartoto, dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Camat Depok, Drs. Achmad Hadi. AJB itu tertanggal 4 Januari 1988 dengan
Nomor 024/Jb/1988 sampai 033/Jb/1988. Pembelian semua tanah itu seharga
Rp 175.000.000 dengan tiga kali pembayaran dalam tahun itu.
Akan tetapi,
pembelian tanah itu mengalami kendala dalam mengurus sertifikat tanahnya.
Alasan terkendalanya tanah itu karena tanah itu adalah tanah sengketa. Hal ini
membuatnya kesal.
“Saya sudah
mengurus sertifikat tanah dari tahun 1988, tapi selalu digagalkan oleh BPN
(Badan Pertanahan Negara.Red) Sleman dengan alasan tanah itu adalah tanah
sengketa.” Keluh Soehartoto ketika ditemui di rumahnya.
Karena bermasalah, Soehartoto selanjutnya masih
terus berusaha berproses dengan segala cara untuk tetap menjadikan tanah yang
sudah dibelinya itu menjadi miliknya tanpa ada masalah lagi. “Kalau tahu tanah itu tanah
sengketa, saya pasti tidak akan membelinya,” tandasnya
dengan nada yang sedikit tinggi.
Soehartoto dulunya adalah seorang pegawai negeri.
Di akhir tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dia mulai
belajar menjadi seorang pemborong tanah. Tidak hanya tanah Pak Joyo Inggeno
saja yang dibelinya, namun tanah ditempat lainnya juga.
“Tidak hanya tanah Pak Joyo saja yang saya beli. Masih
banyak tanah lain lagi seperti di Papringan dan beberapa tempat lain juga saya
beli.” Demikian tutur mantan Guru Fisika ini.
Guru yang sempat mengajar di Medan, Jakarta, dan
Yogyakarta ini membeli tanah-tanah itu guna menjualnya kembali saat tanah itu sudah
meningkat harganya. Selain itu, menurut dia tanah itu dapat membantu dia menghidupi keluarga
suatu saat nanti kalau dibutuhkannya.
“Saya membeli banyak tanah karena bagi saya, waktu
itu, tanah suatu saat akan semakin meningkat harganya, apalagi di Yogyakarta.
Tanah yang saya beli bisa membantu saya saat sudah tidak produktif lagi.” Demikian cerita orang tua yang rambut dikepalanya sudah
memutih ini.
Setelah membeli tanah Pak Joyo dari Bu LAmsinah, Pak
Soehartoto yang sudah mulai sakit-sakitan ini tidak pernah lagi menjual tanah
itu ke siapa pun. Alasannya karena tanah itu masih dalam status tanah sengketa
dan dia tidak mau melibatkan orang lain dalam kasus ini.
“Saya sudah
sangat tua dan sebentar lagi akan mati. Saya tidak tahu tanah ini nantinya akan
jatuh ke tangan siapa, tapi bagi saya keadilan pasti akan selalu menang”, titah
Soehartoto sembari menatap ke Tembok pembatas rumahnya.
Walau keputusan ini telah dibuat oleh PN Sleman bahwa
tanah Pak Joyo Ienggeno dijadikan status tanah Gono Gini, pihak keluarga tetap
tidak mengakuinya. Bagi mereka harta itu milik keluarga karena semua tanah itu
dibeli oleh Pak Djoyoienggeno setelah bercerai dengan Bu Lamsinah.
Alasan mereka pun bukan tanpa dasar. Dalam gugatan mereka di
pengadilan, mereka juga menyertakan surat perceraian di tahun 1950 antara Pak
Djoyo dengan Bu Lamsinah.
“Pak Joyo menikah tahun 1947 dan bercerai pada tahun
1950 sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu. Sedangkan tanah baru dibeli
oleh pak Djoyo pada tahun 1953. Karena itu bagi kami tanah itu bukan
kepemilikan bersama, tapi hanya milik Pak Djoyo karena mereka sudah tidak ada
hubungan lagi. Tanah itu dibeli setelah Pak Joyo sudah bercerai dengan
istrinya, jadi dia tidak punya hak lagi atas tanah itu.”
Tegas Haji Sudiyanto yang merupakan salah
satu keponakan sekaligus
ahli waris dari Almarhum Pak Joyo Ienggeno.
Ketegasan H. Sudiyanto ini bukan tampa dasar. Dalam Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974
tetang perkawinan menyatakan bahwa Harta Gono Gini atau harta bersama adalah
harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan.
Tanah milik Pak Joyo Ienggeno dijadikan status tanah
Gono Gini di pengadilan karena bagi mereka perceraian itu belum sah secara
hukum karena belum ada surat cerai dari pengadilan. “Gimana bisa ada perceraian di pengadilan. Mereka bercerai di tahun
1950. Pengadilan (PA Sleman. Red) saja baru berdiri dan mulai melayani
masyarakat di tahun 1963,” demikian tutur Paulus Sugiyanto salah satu pelapor
dari pihak alih waris.
Hal ini
dikuatkan dengan surat dari kepala seksi Urusan Agama Islam, Drs. Tulus Dumadi,
M.A., tanggal 29 Maret 2010, No. Kd. 12.04/2/PW.01/808/2010, yang menyatakan
bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama, prosedur talak bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dilakukan
di KUA kecamatan setempat di wilayah kependudukan Istri. Surat ini ditujukan
kepada kasus Djojoienggeno Alias Kamido (suami) dengan Lamsinah (istri) dalam
perceraiannya telah sesuai dengan prosedur dan telah tercatat dalam pendaftaran
talak di KUA Kecamatan Depok, Nomor 65 Tahun 1950.
Berdasarkan
alasan-alasan di atas maka pihak keluarga mulai mengurus surat keterangan ahli
waris. Usaha mereka mencapai titik cerah. Pada tanggal 31 Agustus 1991 mulai
dikeluarkannya surat penetapan ahli waris oleh PN Sleman dengan nomor surat 49/Pdt.P/1991/PN.Slmn.
Pada surat tersebut ditulis lengkap dengan ahli warisnya yaitu: Ny. Sastrowiardjo alias Subinah, Ny. Darmotiniyo Alias Sulbiyah,
(Sudiyanto, Sumartoyo, Tri Setiawan, Suroso, Sriatun, dan Nurjoko) ahi waris
dari Sastromardjno yang merupakan ahli waris
dari Mbok Partodimedjo alias Mbok Parto.
Langkah mereka
tidak sampai disitu saja. Mereka mulai berusaha membuat sertifikas tanah yang
sudah menjadi warisan mereka. Setelah itu beberapa tanah yang merupakan warisan
mereka itu mulai dijual kepada beberapa orang.
Lalu apakah Pak
Soehartoto tinggal diam? Pak Soehartoto tidak tinggal diam. Dia terus berusaha
dengan segala cara untuk menggugat pihak keluarga yang menyatakan diri mereka
ahli waris.
“Siapa pun
mereka, tapi tanah itu udah kubeli.
Sering banget aku ditipu wong (orang) soal masalah tanah. Aku
hanya minta pihak pemerintah bertindak tegas untuk masalah ini.” Demikian ucap
Soehartoto sembari memperbaiki posisi duduknya.
Menanggapi hal
ini pihak ahli waris mengatakan tidak akan pernah gentar menghadapinya. Mereka
merasa bahwa tanah itu masih sepenuhnya milik mereka. Mereka siap melakukan
apapun untuk mempertahankan apa yang menurut mereka adalah menjadi haknya.
“Kalau mau lewat
jalur hukum pun kita siap. Kita lebih berharap kalau pada akhirnya jalan
kekeluargaan yang di tempuh. Memang sempat ada mediasi secara kekeluargaan tapi
tidak mencapai kata sepakat.” Titah Pak H. Sudiyanto yang dituahkan di antara
ahli waris yang lainnya.
Sengketa tanah
milik Pak Djoyo Inggeno tersebut sampai saat ini masih di Pengadilan Negeri Sleman.
Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Kabupaten Sleman tidak mau
diwawancarai ketika ditemui di Pengadilan Negeri Sleman dengan tidak memberikan
alasan apapun kepada wartawan Pledoi hingga berita ini ditulis.