Label

Jumat, 17 Februari 2012

Tanahku Tanah Siapa


Oleh Richi Richardus P. Anyan
“Saya sudah sangat tua dan sebentar lagi akan mati. Saya tidak tahu tanah ini nantinya akan jatuh ke tangan siapa, tapi bagi saya keadilan pasti akan selalu menang”, titah Soehartoto sembari menatap ke Tembok pembatas rumahnya.

Pada zaman dahulu, tanah memiliki fungsi sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam. Namun pada perkembangannya, tanah kini sudah beralih fungsi menjadi salah satu aset kekayaan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah banyak umat manusia di muka bumi ini. Akibatnya, orang dapat melakukan apa saja untuk memperebutkan atau mempertahankan kekayaannya itu.
Pernyataan di atas sudah sangat lazim diketahui dan dibuat banyak orang, tak terkecuali Djoyo Ienggeno. Tidak terlalu banyak saya tahu soal pribadi yang akrab dipanggil Djojo Ienggeno ini. Tetapi saya merasa tertarik dengan orang ini karena kasus tanah miliknya yang menjadi perebutan hingga saat ini.
Joyo Ienggeno, nama panggilan pria ini. Menikah pada tahun 1947 dengan seorang gadis yang bernama Lamsinah. Namun bahtera rumah tangga dua insan ini tidak bertahan lama.  Tiga tahun setelah pernikahannya, tepatnya tahun 1950, keduanya bercerai. Perceraian itu dinyatakan sah sesuai dengan prosedur yang berlaku saat itu yaitu dengan surat tanda cerai dari Kantor Urusan Agama (KUA) Depok dan perangkat desa setempat.

Pada tanggal 2 Maret 1950, Pak Joyo Ienggeno dan Bu Lamsinah telah bercerai (talak ke I) sebagaimana tercatat dalam Register Talak atau Buku Talak No. 65 Tahun 1950 di KUA Kecamatan Depok (dan keduanya tidak pernah rujuk kembali). Belum ada perceraian resmi di kantor Pengadilan Agama (PA) Sleman. PA Sleman sendiri baru berdiri dan mulai melayani masyarakat pada tahun 1963. Pernikahan yang berlangsung begitu cepat membuat kedua insan ini belum sempat dikaruniai buah hati.
Kendati bahtera rumah tangganya hancur, tapi dia tetap berpikir optimis. Dia tidak hanyut dalam kegalauan. Joyo Igeno selalu memikirkan masa depannya.
Pada tahun 1953 sampai awal tahun 1980-an, duda muda ini mulai membeli tanah sebagai investasi di hari depan. 17 lahan tanah dengan ukuran dan harga yang berbeda-beda berhasil dibelinya dalam tujuh tahun. Semula pada tahun 1953 sampai dengan tahun 1982 Joyo Ienggeno membeli tanah dari Merto Ikromo dan Suwito Rejo dengan luas tanah 10.000 meter persegi dengan bukti Surat Hak Milik Tanah Model D Nomor 2701, 2727, 2767, 2793, 2794, 278, dan 2813 tahun  1982  atas nama Joyo Inggeno alias Joyo Igeno dengan alamat Widoro Ngropoh RT 05/25 Condongcatur, Depok, Sleman. Kepala desa saat itu dijabat oleh Pak Hadi Kusmanto.
Saya tidak tahu pasti apa alasan beliau membeli tanah sebanyak itu, entah untuk anak cucunya nanti atau untuk dijualnya kembali saat harga tanah makin meningkat. Namun itulah yang terjadi dalam sepuluh tahun setelah perceraiannya.
Setelah perceraian itu, beliau tidak lagi menikah dengan siapapun hingga akhir hanyatnya. Selain itu pak Joyo Igeno juga tidak memiliki anak dengan siapapun termasuk mantan Istrinya. Beliau meninggal pada tahun 1984 dengan meninggalkan tanah yang sudah dibelinya itu tanpa melimpahkan ke siapapun.
Babak baru kepemilikan tanah ini pun dimulai. Pihak keluarga, dalam hal ini semua saudara dan keponakannya menganggap tanah ini milik mereka. Sedangkan Bu Lamsinah sebagai mantan istri merasa tanah itu adalah miliknya, dengan anggaapn itu adalah harta warisanya almarhum suaminya.
Ada dua versi kepemilikan tanah yang berujung pada penjualan tanah ini. Sang mantan istri merasa bahwa tanah yang dibeli oleh mantan suaminya adalah miliknya kendati semua tanah yang dibeli oleh mantan suaminya itu saat mereka telah bercerai. Sedangkan keluarga dari Pak Joyo Ienggeno merasa bahwa tanah itu adalah harta warisan Pak Djoyo Ienggeno yang seharusnya menjadi milik mereka.
Alasan kuat dari ahli waris karena tanah ini dibeli oleh Almarhum Djoyo Ienggeno setelah mereka bercerai dan dalam pernihakan Almarhum dengan Bu Lamsiah pun tidak mempunyai anak. Karena itu pihak keluarga menamakan diri mereka sebagai pihak alih waris. Rasa kepemilikan ini tidak berujung pada penyelesaian secara kekeluargaan saja tapi sampai pada proses hukum di pengadilan.
Bagi Bu Lamsinah, harta mantan suaminya itu adalah harta bersama. Artinya harta itu adalah milik dia dan mantan suaminya. Karena itu, tanah peninggalan bekas suaminya ini dijadikan status harta Gono Gini. Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Negri (PN) Sleman No 5/ PDT/1987/Pyt. tanggal 26 November 1987 Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 929K/PDT/1988, tenggal 16 Jini 1993 Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 287 PK/PDT/1994, tanggal 23 Oktober 1997.
Dengan putusan ini Bu Lamsinah memberanikan menjual semua aset mantan suaminya itu. Empat tahun setelah kematian Pak Joyo Ienggeno, Sang Mantan Istri mulai menjual tanah milik eks suaminya ini. Tanah ini dijual kepada salah seorang pemborong sesuai prosedur jual beli tanah saat itu. Pemborong itu bernama Soehartoto.
Pak Soehartoto membeli semua tanah dengan bukti Akta Jual Beli (AJB) yang secara sah, menurut Pak Soehartoto, dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Camat Depok, Drs. Achmad Hadi. AJB itu tertanggal 4 Januari 1988 dengan Nomor 024/Jb/1988 sampai 033/Jb/1988. Pembelian semua tanah itu seharga Rp 175.000.000 dengan tiga kali pembayaran dalam tahun itu.
Akan tetapi, pembelian tanah itu mengalami kendala dalam mengurus sertifikat tanahnya. Alasan terkendalanya tanah itu karena tanah itu adalah tanah sengketa. Hal ini membuatnya kesal.
“Saya sudah mengurus sertifikat tanah dari tahun 1988, tapi selalu digagalkan oleh BPN (Badan Pertanahan Negara.Red) Sleman dengan alasan tanah itu adalah tanah sengketa.” Keluh Soehartoto ketika ditemui di rumahnya.
Karena bermasalah, Soehartoto selanjutnya masih terus berusaha berproses dengan segala cara untuk tetap menjadikan tanah yang sudah dibelinya itu menjadi miliknya tanpa ada masalah lagi. “Kalau tahu tanah itu tanah sengketa, saya pasti tidak akan membelinya,” tandasnya dengan nada yang sedikit tinggi.
Soehartoto dulunya adalah seorang pegawai negeri. Di akhir tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dia mulai belajar menjadi seorang pemborong tanah. Tidak hanya tanah Pak Joyo Inggeno saja yang dibelinya, namun tanah ditempat lainnya juga.
“Tidak hanya tanah Pak Joyo saja yang saya beli. Masih banyak tanah lain lagi seperti di Papringan dan beberapa tempat lain juga saya beli.” Demikian tutur mantan Guru Fisika ini.
Guru yang sempat mengajar di Medan, Jakarta, dan Yogyakarta ini membeli tanah-tanah itu guna menjualnya kembali saat tanah itu sudah meningkat harganya. Selain itu, menurut dia tanah itu dapat membantu dia menghidupi keluarga suatu saat nanti kalau dibutuhkannya.
“Saya membeli banyak tanah karena bagi saya, waktu itu, tanah suatu saat akan semakin meningkat harganya, apalagi di Yogyakarta. Tanah yang saya beli bisa membantu saya saat sudah tidak produktif lagi.”  Demikian cerita orang tua yang rambut dikepalanya sudah memutih ini.
Setelah membeli tanah Pak Joyo dari Bu LAmsinah, Pak Soehartoto yang sudah mulai sakit-sakitan ini tidak pernah lagi menjual tanah itu ke siapa pun. Alasannya karena tanah itu masih dalam status tanah sengketa dan dia tidak mau melibatkan orang lain dalam kasus ini.
“Saya sudah sangat tua dan sebentar lagi akan mati. Saya tidak tahu tanah ini nantinya akan jatuh ke tangan siapa, tapi bagi saya keadilan pasti akan selalu menang”, titah Soehartoto sembari menatap ke Tembok pembatas rumahnya.
Walau keputusan ini telah dibuat oleh PN Sleman bahwa tanah Pak Joyo Ienggeno dijadikan status tanah Gono Gini, pihak keluarga tetap tidak mengakuinya. Bagi mereka harta itu milik keluarga karena semua tanah itu dibeli oleh Pak Djoyoienggeno setelah bercerai dengan Bu Lamsinah. Alasan mereka pun bukan tanpa dasar. Dalam gugatan mereka di pengadilan, mereka juga menyertakan surat perceraian di tahun 1950 antara Pak Djoyo dengan Bu Lamsinah.
“Pak Joyo menikah tahun 1947 dan bercerai pada tahun 1950 sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu. Sedangkan tanah baru dibeli oleh pak Djoyo pada tahun 1953. Karena itu bagi kami tanah itu bukan kepemilikan bersama, tapi hanya milik Pak Djoyo karena mereka sudah tidak ada hubungan lagi. Tanah itu dibeli setelah Pak Joyo sudah bercerai dengan istrinya, jadi dia tidak punya hak lagi atas tanah itu.” Tegas Haji Sudiyanto yang merupakan salah satu keponakan sekaligus ahli waris dari Almarhum Pak Joyo Ienggeno.
Ketegasan H. Sudiyanto ini bukan tampa dasar.  Dalam Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tetang perkawinan menyatakan bahwa Harta Gono Gini atau harta bersama adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan.
Tanah milik Pak Joyo Ienggeno dijadikan status tanah Gono Gini di pengadilan karena bagi mereka perceraian itu belum sah secara hukum karena belum ada surat cerai dari pengadilan. “Gimana bisa ada perceraian di pengadilan. Mereka bercerai di tahun 1950. Pengadilan (PA Sleman. Red) saja baru berdiri dan mulai melayani masyarakat di tahun 1963,” demikian tutur Paulus Sugiyanto salah satu pelapor dari pihak alih waris.
Hal ini dikuatkan dengan surat dari kepala seksi Urusan Agama Islam, Drs. Tulus Dumadi, M.A., tanggal 29 Maret 2010, No. Kd. 12.04/2/PW.01/808/2010, yang menyatakan bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, prosedur talak bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dilakukan di KUA kecamatan setempat di wilayah kependudukan Istri. Surat ini ditujukan kepada kasus Djojoienggeno Alias Kamido (suami) dengan Lamsinah (istri) dalam perceraiannya telah sesuai dengan prosedur dan telah tercatat dalam pendaftaran talak di KUA Kecamatan Depok, Nomor 65 Tahun 1950.
Berdasarkan alasan-alasan di atas maka pihak keluarga mulai mengurus surat keterangan ahli waris. Usaha mereka mencapai titik cerah. Pada tanggal 31 Agustus 1991 mulai dikeluarkannya surat penetapan ahli waris oleh PN Sleman dengan nomor surat 49/Pdt.P/1991/PN.Slmn. Pada surat tersebut ditulis lengkap dengan ahli warisnya yaitu: Ny. Sastrowiardjo alias Subinah, Ny. Darmotiniyo Alias Sulbiyah, (Sudiyanto, Sumartoyo, Tri Setiawan, Suroso, Sriatun, dan Nurjoko) ahi waris dari Sastromardjno yang merupakan ahli waris dari Mbok Partodimedjo alias Mbok Parto.
Langkah mereka tidak sampai disitu saja. Mereka mulai berusaha membuat sertifikas tanah yang sudah menjadi warisan mereka. Setelah itu beberapa tanah yang merupakan warisan mereka itu mulai dijual kepada beberapa orang.
Lalu apakah Pak Soehartoto tinggal diam? Pak Soehartoto tidak tinggal diam. Dia terus berusaha dengan segala cara untuk menggugat pihak keluarga yang menyatakan diri mereka ahli waris.
“Siapa pun mereka, tapi tanah itu udah kubeli. Sering banget aku ditipu wong (orang) soal masalah tanah. Aku hanya minta pihak pemerintah bertindak tegas untuk masalah ini.” Demikian ucap Soehartoto sembari memperbaiki posisi duduknya.
Menanggapi hal ini pihak ahli waris mengatakan tidak akan pernah gentar menghadapinya. Mereka merasa bahwa tanah itu masih sepenuhnya milik mereka. Mereka siap melakukan apapun untuk mempertahankan apa yang menurut mereka adalah menjadi haknya.
“Kalau mau lewat jalur hukum pun kita siap. Kita lebih berharap kalau pada akhirnya jalan kekeluargaan yang di tempuh. Memang sempat ada mediasi secara kekeluargaan tapi tidak mencapai kata sepakat.” Titah Pak H. Sudiyanto yang dituahkan di antara ahli waris yang lainnya.
Sengketa tanah milik Pak Djoyo Inggeno tersebut sampai saat ini masih di Pengadilan Negeri Sleman. Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Kabupaten Sleman tidak mau diwawancarai ketika ditemui di Pengadilan Negeri Sleman dengan tidak memberikan alasan apapun kepada wartawan Pledoi hingga berita ini ditulis.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: