Label

Rabu, 06 Juni 2012

Hakikat Gerakan Pers Mahasiswa

Oleh : Richi Anyan
 
Kami Kritis, Kami menulis


Musyawaah kota (Muskot) PPMI Dewan Kota Yogyakarta baru saja dilaksanakana pada tanggal 2-3 Oktober 2010 FH UII Yogyakarta. Ada banyak sekali masalah yang dibahas di Muskot saat itu, baik itu masalah PPMI Nasiona maupun masalah PPMI Dewan Kota Yogyakarta.
Adapun beberapa  hal yang menjadi rekomendasi dari PPMI Dewan Kota Yogyakarta untuk PPMI nasional yaitu terkait arah PPMI kedepannya, DEN, dan PPMI nasional. Setelah saya selaku Sekjen PPMI Dewan Kota Yogyakarta yang belum memiliki kepengurusan kota secara formal dan beberapa anggota besarta calon Pengurus Divisi Advokasi Nasional berunding, kami memutuskan untuk beberapa hal ini patut kita diskusikan secara besama-sama di Mukernas ini. terkait beberapa  hal  ini akan kita bahas satu per satu.


Arah Gerak PPMI

Sebelum kita membahas banyak hal terkait dengan PPMI ke depannya akan seperti apa, ada baiknya kita membahas terlebi dahulu arah PPMI kedepannya. Ada tiga arah gerak PPMI yaitu profesi, kaderisasi, dan gerakan. Ketiga hal ini bisa dijalankan secara bersamaan, tapi kita harus ada fokus secara jelas terkait arah mana yang akan menjadi prioritas ke depannya.
Misalnya kita menyepakati ke depannya kita ingin PPMI diarahkan sebagai sebuah organisasi profesi, maka kita harus benar-benar menjunjung tinggi Kode Etik PPMI. Selain itu, semua pengurus, baik itu pengurus nasional maupun kota, harus bekerja keras untuk tertib dalam keadministrasian dan lain sebagainya.
            Akan tetapi, terkait hal ini, kami pikir sudah harus selesai di tataran pengurus PPMI. Misalnya semua divisi harus punya SOP yang jelas, Litbang harus menjadi sumber data dan informasi baik itu bagi pengurus divisi pada khususnya maupun bagi anggota PPMI pada umumnya.
            Berbeda lagi apabila kita menyepakati agar PPMI ke depannya akan memfokuskan  diri sebagai organ kaderisasi. terkait hal ini, kami PPMI Dewan Kota Yogyakarta menyepakati untuk PPMI Dewan Kota Yogyakarta ke depannya akan mengarah ke kaderisasi. Kami merasa hal ini sangat penting karena PPMI sebagai sebuah organ bersama harus mampu mewadahi anggota-anggotanya.
Sebenarnya ini terkait dengan permasalahan kompleks yang ada di Dewan Kota Yogyakarta. Ada LPM-LPM anggota PPMI yang besar di Yogyajarta, tapi ada juga LPM-LPM kecil yang masih perlu didampingi secara intens, apalagi LPM-LPM yang masih berada di bawah Lembaga Eksekutif Mahasiswa. LPM-LPM seperti ini masih rawan sekali untuk dibredel. Padahal sebagai sebuah organisasi Pers Mahasiswa yang menjunjung tinggi kebebasan Pers dan hidup dalam sebuah Negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, ternyata masih banyak orang yang tidak menyukai kebebasan pendapat dari orang lain dan dengan egonya ingin menjadi penguasai bagi sesamanya. Inilah wajah suram bangsa kita.
Arah gerak  PPMI ini sangat perlu kita bahas secara awal agar kita dapat menyesuaikan kerja tiap divisi dan kota sesuai dengan arah PPMI kedepannya. Akan tetapi, ketiga arah  ini perlu dipertimbangka berdasarka kebutuhan anggota PPMI dan isu apa yang mau diangkat oleh nasional.
***
Mahasiswa dari masa ke masa mengemban tugas sebagai agen perubahan. Namun pada fase tertentu, mahasiswa akan mengalami fase pembongkaran. Fase pembongkaran ini c oba aku namai lagi sebagai fase pembenahan kembali di mana mahasiswa akan mengalami masa disorientasi. Mengapa? Karena hal yang nampaknya sepele ini telah menjebak sekian mahasiswa untuk berkutat pada realitasnya sendiri sebagai “kaum intelektual”.
Siapa sebenarnya mahasiswa itu? Dalam struktur sosial Marx, mahasiswa bukanlah termasuk golongan borjuis ataupun proletar. Ia adalah kelas menengah atau semiborjuis. Ya semiborjuis. Semiborjuis yaitu sekelompok masyarakat sosial yang memiliki nilai intelektual tinggi, tertindas secara sistemik terlepas ia mempunyai alat produksi atau tidak. Dalam istilah awam ia tergolong kelas menengah, karena berada pada dua sisi klas yang kontradiktif dan menemui kesukaran untuk mendefinisikan eksisitensinya.

Gerakan Mahasiswa

Gerakan merupakan tanda bahkan penanda baru untuk memulai sebuah iklim yang dinamis. Dinamis untuk menuju pada sebuah perubahan, terutama perubahan sosial. Karena di dalam struktur sosial masyarakat dapat dilihat titik-titik pangkal perilaku manusia secara kelompok maupun individu beserta kualitasnya. Apakah masih irasional, sudah rasional, bahkan mungkin sering melakukan otokritik terhadap pribadi/kelompok secara falsafi. Menyoal mahasiswa dan gerakan adalah permasalahan bagaimana ia dalam posisi yang ambivalen (tidak dalam struktur klas, tapi punya status sosial) melakukan pembacaan terhadap kualitas pribadi dan kondisi yang menjadi habitusnya.
Dari pembacaan tersebut paling tidak telah membawa mahasiswa untuk mengenali lebih jauh realitas apa sebenarnya ia harus berada dan bagaimana melakukan suatu perubahan itu. Oleh Gramsci ditegaskan bahwa kaum intelektual muda dibabtiskan menjadi garda depan menuju perubahan yang sifatnya tidak bisa tidak (conditio sine qua non).     
Mungkin perlu sedikit diuraikan mengenai praktik gerakan mahasiswa Indonesia dalam wilayah sosial-politik, termasuk anatomi gerakannya sebelum lebih jauh mengulas gerakan pers mahasiswa Indonesia. Karena dinamika pers mahasiswa tidak bisa lepas dari dinamika gerakan mahasiswa. Di Indonesia sendiri gerakan itu sudah mulai ada sejak zaman kolonialisme. Mungkin sudah menjadi memori kolektif ketika Dr. Sutomo dan kawan-kawan pada 1908 menjadi kaum intelektual pertama yang mencoba mengawali gagasan awal kebangsaan dan rasa di ranah pemikiran daripada perlawanan secara fisik. Begitu juga dengan persatuan kaum muda tanah air dengan sumpah pemuda 1928 yang menjadi titik awal tumbuhnya hibriditas sosial, dan nilai kesadaran kolektif. Sampai pada masa perebutan kemerdekaan yang tidak bisa tidak kaum  muda terlibat aktif di dalamnya.
Pada era kemerdekan dan kepemimpinan tunggal Soekarno (1959-1965), mulailah terjadi segmentasi politik dalam tubuh gerakan mahasiswa. Sebut saja Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang merupakan kumpulan organisasi mahasiswa yang memainkan peranan penting dalam usaha melakukan upaya Desukarnoisasi dan pengikisan secara menyeluruh atas ideologi Komunis. Sedangkan di sisi lain barisan mahasiswa pendukung Soekarno, yang note bene dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) melakukan kontrol terhadap inisiatif anti komunisme dengan tetap mendukung kepemimpinan Soekarno.
Lebih jauh lagi untuk melihat sejauh mana praktik gerakan mahasiswa di ranah gerakan sosial- politik yang berimbas pada perubahan sosial bangsa Indonesia, kita petakan terlebih dahulu letak transisi demokrasi yang pernah terjadi di Indonesia. Terutama pada masa yang lebih menitik beratkan pada kekuatan rasional intelektualita dan pembentukan kultur demokrasi sebagai simbol dari negara modern.

Awal Konsolidasi Orde Baru

Jatuhnya kepemimpinan Soekarno secara bertahap diambil alih oleh kekuatan militer dengan figur seorang Soeharto. Hal ini membawa dampak yang signifikan terhadap pola gerakan mahasiswa dan pers mahasiswa. Karena terjadi perpecahan kubu di dalam tubuh militer sendiri dan hal ini dipergunakan mahasiswa eksponen 66 untuk melancarkan ideologi pembangunan dan modernisasi, kemudian menghantarkan bangsa ini pada awal pembentukan orde baru.
Dengan strategi rekan kerja yang dipergunakan mahasiswa eksponen 66, maka dukungan terhadap pemerintahan berjalan sesuai misi awal. Namun ketika praktik kenegaraan yang diterapkan oleh Soeharto mulai tidak sesuai dengan misi dan visi modernisasi, gelombang protes pun menyeruak ke permukaan, mulai isu politik pemerintahan, sampai pada penolakan terhadap bantuan modal asing dan proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Bulan madu antara mahasiswa dan orde baru berakhir dengan peristiwa malari (malapetaka 15 Januari) 1974, karena pemerintah tidak mau mengambil resiko lebih jauh berhadapan dengan mahasiswa yang selalu protes. Aksi penangkapan, pemenjaraan aktivis mahasiswa mulai dilakukan untuk membungkam kekuatan masa.

Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Orde Baru

Merupakan sebuah keniscayaan bahwa bagaimanapun cara penguasa untuk mengeliminir kekuatan agitasi gerakan mahasiswa. Ia tetap bertahan dalam keadaan yang terburuk. Politik departaisasi yang diikuti dengan depolitisasi kampus, diupayakan untuk menjauhkan jarak antara penguasa dan kontrol sosial yang dilakukan mahasiswa di luar kampus. Ditambah lagi dengan formula Normalisasi Kegiatan Kampus/ Badan Koordinasi Mahasiswa 1978. Mahasiswa diharamkan untuk berpolitik praktis dan harus melulu berkegiatan yang sifatnya sesuai dengan basis pedidikannya. Untuk mengatasi gerakan mahasiswa di luar kampus, pemerintah mewajibkan semua organisasi kepemudaan untuk masuk ke dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Situasi obyektif yang sedemikian rupa, membuat para aktivis kampus bergerak di luar kampus bergabung dengan kelompok studi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Akibat strategi ekonomi yang bergantung pada minyak mentah, pada repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) ke III 1982-1983 harga minyak turun drastis di pasar internasional. Krisis kali pertama tidak terelakkan. Hal  yang sama repelita yang selanjutnya, repelita IV.
Langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi hal itu adalah melakukan regulasi/deregulasi ekonomi untuk merangsang investasi swasta asing masuk dengan mudah ke Indonesia. Kebijakan tersebut akhirnya menuai kritik langsung dari aktivis LSM, walaupun sebenarnya fokus permasalahan masih berada pada wilayah intern kampus.

Pers Mahasiswa Sebagai Entitas Gerakan

Setelah gerakan mahasiswa terpetakan dalam setiap dimensi obyektif dan subjektifnya pada setiap kondisi jaman, maka pertanyaannya di manakah Pers Mahasiswa saat itu? Sebelum menuju pergulatan pers mahasiswa dari masa ke masa, kita lihat pengertian dasar yang menyangkut pers mahasiswa Indonesia. Pers dalam pengertian yang luas adalah seluruh alat komunikasi masa seperti radio, televisi, surat kabar, majalah dan lain sebaginya. Dalam pengertian yang sempit adalah surat kabar dan majalah-untuk dapat disebut sebagai pers, ia harus memenuhi syarat-syarat publista (tersebar luas, terbuka), terbit secara periodik, bersifat umum dan aktual.
Pada masa Kolonial Belanda (1914-1941), pers mahasiswa lahir seirama dengan munculnya gerakan kebangkitan nasional yang justru dipelopori oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pers mahasiswa kala itu menjadi alat bagi penyebaran ide-ide pembaharuan dan perjuangan yang sadar akan pentingnya arti kemerdekaan.
Kebangkitan nasional (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) mempunyai pengaruh yang amat berarti bagi kelahiran pers mahasiswa. Pada Zaman Pendudukan Jepang (1941-1945) sulit untuk bisa mebedakan peranan pers mahasiswa ataukah pejuang pemuda yang melakukan aksi informasi dalam bentuk brosur dan stensilan. Karena saat itu kaum muda terlibat secara fisik melakukan perjuangan merebut kemerdekan, di samping melakukan perjuangan politik.
Pers mahasiswa Indonesia, setelah kemerdekan R.I dan tiap transisi demokrasi yang ada, tidak terlepas dari dinamika gerakan mahasiswa. Pada era kepemimpinan Soekarno (demokrasi terpimpin), seruan agar semua organisasi masa bergabung dengan partai politik, membuat pers mahasiswa hanya terlihat tidak lebih dari sekedar perpanjangan corong partai dan golongan saja. Sikap kritis, obyektif dan kesan intelektualnya menjadi hilang, tergerus oleh kepentingan politik kekuasaan. Mereka lebih cenderung terkesan agitatif dan propagandis pada satu pnedekatan kepentingan. Kemudian pada tahap penurunan Soekarno dan beralih pada masa pemerintahan Soeharto (era Konsolidasi Orde baru 1966-1974), perlahan-lahan pers mahasiswa ikut mengambil peran yang sangat besar dalam menetukan perspektif ideal dari bangunan sebuah state (caracter nation building). Koran mingguan group “Tamblong” Bandung “mahasiswa Indonesia”, yang terbit secara nasional dengan oplah lebih dari 10.000 eksemplar telah menjawab; betapa Indonesia selama 20 tahun setelah merdeka mengalami keterbelakangan dan kemunduran. Oleh karena itu ide-ide pembangunan dan modernisasi kental dengan citra koran mingguan ini, sangat berpengaruh untuk membentuk pola kenegaraan era orde baru di kemudian hari.
Sudah diurakan di atas bahwa partnership atau jaringan kerja antara gerakan mahasiswa dengan penguasa berakhir ditandai dengan peristiwa Malapetaka 15 januari 1974 (Malari). Sebuah aksi penolakan terhadap konsorsium Jepang atas proyek mercusuar pembuatan miniatur Indonesia (TMII).
Akhirnya pers mahasiswa merasakan dampak dari peristiwa itu. Pembredelan koran kampus dan majalah mahasiswa serta penangkapan aktivisnya pun dilakukan. untuk seterusnya pada dinamika orde baru dan gerakan mahasiswa yang dikebiri dengan adanya depolitisasi kampus dan formulasi NKK/BKK, menjadikan pers mahasiswa sebagai sebuah gerakan alternatif.

Fungsi dan Peran Pers Mahasiswa

Potret pergulatan pers mahasiswa dari masa ke masa yang selalu mencoba memposisikan dirinya pada wilayah oposisi terhadap kekuasaan, membuat aktivitas kelembagaan cenderung sebagai instrumen politik. Terlepas dari ideologi apa yang digunakan oleh pegelolanya, pers mahasiswa relatif tidak independen karena pengelolanya melakukan seleksi terhadap bahan agar sesuai dengan aspirasi politiknya. Inilah karakter pers mahasiswa dari masa ke masa.
Namun demikian keterlibatan pers mahasiswa dalam mamaknai permasalahan sosial tidaklah diragukan. Simpathy, compassion selalu ada dalam diri aktivitas pengelolanya. Tingginnya kemampuan jurnalistik untuk merefleksikan keresahan sosial, dalam bentuk tajuk rencana/editorial dan berita-berita utama menjadi hal yang sangat diperhitungkan.
Pers mahasiswa saat itu mengambil peran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tugas dan Fungsi persma itu ada tiga yaitu pers mahasiswa sebagai alat perjuangan, melakukan control sosial, dan pers alternatif. Berikut aku mencoba  untuk memaparkan satu per satu fungsi dan tugas pers mahasiswa tersebut.

Pers Mahasiswa Sebagai Alat Perjuangan

Pers mahasiswa yang merupakan istilah gabungan dari dua organ strategis untuk melakukan suatu perubahan. Kata “pers” yang mensyaratkan pada pilar keempat demokrasi sebagai penyeimbang sebuah sistem pemerintahan. Wacth dog atau “anjing penjaga” yang selalu setia mengontrol keterseimbangan sosial dan siap menggonggong apabila ada praktik kenegaran yang menyimpang dari cita-cita bangsa.
Sedangkan kata “mahasiswa” sendiri yang berarti sekelompok masyarakat intelektual yang mengambil posisi depan untuk menyikapi setiap permasalahan sosial. Perlu diingat sekali lagi bahwa tugas mahasiswa adalah sebagai agen perubahan.
Pers mahasiswa yang secara historis tidak bisa terlepas dari setiap perubahan zaman. Mahasiswa telah dibabtiskan menjadi motor penggerak. Bukan hanya sebagai pelaku intelektual saja, tapi lebih dari itu mereka menjadi pelaku perubahan sosial-politik yang menentukan paradigma bangsa Indonesia.

Kontrol Sosial

Dalam melakukan pembacaan terhadap realitas sosial, pers mahasiswa mempunyai nilai strategi dan taktik sendiri untuk mengartikulasikannya di ruang publik. Adanya pemahaman secara teoritikal atas sebuah kondisi sosial oleh pers mahasiswa dan ternyata menemui kontradiksi pada tataran realitasnya (social reality). Hal ini yang kemudian menumbuhkan kesadaran yang mendasari rasa kepedulian dan keberpihakan terhadap kaum lemah (sense of belonging). Hal ini berujung pada terjadinya radikalisme pemikiran dan bermuara pada radikalisme gerakan mahasiswa.
Adanya depolitisasi kampus pada masa Orba menyebabkan gerakan mahasiswa berpindah pada gerakan yang berbasis pada masa dan gerakan yang berbasis pada ide. Protes yang biasa dilakukan oleh komite aksi dan parlemen jalanan, berpindah pada kelompok-kelompok studi untuk tetap menyuplai materi aksi. Pers mahasiswa menemukan dirinya berada pada wilayah kontrol social. Hal ini disebabkan karena ketimpangan sosial yang terjadi sampai pada kekerasan terhadap publik berakar pada kondisi subyektif negara yang berwenang untuk mengekang kepentingan rakyatnya.
Pisau analisa yang digunakan dalam praktek kontrol tersebut adalah pada ragam jurnalisme yang diterapkan. Jurnalisme transformati adalah salah satu bentuk metode analisis yang bertujuan mencapai kesejahtraan sosial. Bentuk keberpihakannya terhadap kaum marginal dan tertindas. Adanya relasi kekuasaan yang beroperasi dalam struktur masyarakat diproduksi oleh negara atau kekuasaan itu sendiri. Hal ini menyebabkan wacana dominan dan menciptakan kelompok-kelompok dominan. Tetapi dengan adanya struktur yang dominan itu, telah menciptakan pula struktur yang tidak dominan atau pinggiran ata yang sering kita sebut kaum minoritas. Posisi dominasi tersebut lebih pada subyek dan obyek (penindasan kelas dominan pada kelas minoritas). Kepentingan yang ada adalah milik kelas dominan. Praktek kekuasaan inilah yang coba diruntuhkan bangunannya oleh pers mahasiswa dari masa ke masa.

Pers Alternatif

Kenapa harus pers? Kata pers yang berarti sebuah organisasi yang membuat sebuah media jurnalistik yang kemudian dipublikasikan. Lebih jauh lagi, pers adalah sebuah institusi sosial yang ada sebagai penyeimbang kekuasaan dan praktik kenegaraan. Mitosnya bahwa pers adalah sebagai pilar keempat penyangga demokrasi.
Daniel Dhakidhae mengatakan bahwa negara selalu cemburu dengan keberadaan pers dan siapapun yang berada dekat dengannya. Ia hanya boleh dimiliki oleh aparatus negara, yang lain tidak. Hal ini riil terjadi pada praktik kenegaraan di masa orde baru di mana struktur kekuasaan militer begitu berpengaruh luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyelenggaraan kepentingan bersama untuk rakyat dilaksanakan dengan modus yang militeristik. Semua praktik demokrasi harus selalu melalui mekanisme birokrasi yang ruwet. Semua institusi sosial termasuk pers harus masuk dalam struktur pengawasan negara. Hak untuk menerbitkan surat kabar atau majalah dan media umum sejenisnya dimiliki oleh negara. SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) sebenarnya merupakan masalah prosedur administrasi. Namun dibalik semuanya itu, SIUPP dijadikan alat yang sangat efektif untuk “menghidupkan” dan “mematikan” sebuah perusahaan pers. Pembredelan Majalah Tempo dan Majalah Detik adalah contoh konkrit dari efektifnya SIUPP tersebut.
Secara keprofesian pun pers dan wartawannya harus dalam satu wadah organisasi  tunggal. Saat itu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) menjadi satu-satunya lembaga kewartawanan yang dimiliki. Tidak hanya sampai pada praktik penguasaan negara terhadap pers secara institusional, orde baru telah melegitimasi kekerasan sebagai insterumen rasional untuk menciptakan stabilitas nasional. Stabilitas nasional adalah sebuah tautologi represif yang produksi oleh negara pada orde baru untuk membentuk karakter kebangsaan yang militeristik. Kematian Udin wartawan Bernas adalah sebuah insiden besar terhadap wujud stabilitas nasional. Hal ini menyebabkan pers umum waktu itu, dilihat dimensi obyektif dan subyektifnya, tidak mempunyai kuasa lebih untuk berbicara mengenai kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Mereka dibungkam….
Tekanan dari pemerintah yang begitu kuat terhadap pers tersebut membuat kita akhirnya sadar kalau pemerintah memiliki phobia terhadap media masa. Ketakutannya adalah ketika praktik kuasanya coba dikritisi dan diawasi oleh Pers umum serta diketahui publik.
            Dengan kondisi obyektif bahwa tidak mungkin pers umum untuk meliput masalah-masalah ketimpangan sosial dan penyimpangan pada sebuah praktik kenegaraan, maka pers mahasiswa saat itu memiliki keberanian lebih untuk bisa mengungkap kasus-kasus publik. Namun secara normatif, pers mahasiswa dibelenggu dengan keberadaan NKK/BKK dan kepemilikan Surat Ijin Terbit (STT) sebagai syarat mutlak untuk mengelola sebuah lembaga Pers mahasiswa. Perlu untuk diketahui bahwa STT memiliki kesamaan fungsi dengan SIUPP, yaitu syarat administrasi lembaga Pers/penerbitan yang dipolitisir untuk membatasi ruang gerak informasi dan kebebsan berpendapat.
            Meskipun demikian, praktik penyelanggaraan pemerintahan orde baru tetap menuai kritik sosial. Jika pada tahun 1987 mahasiswa memprotes masalah intern kampus dan pada 1988 mempermasalahkan aturan-aturan yang dianggap membelenggu aktivitas politik mahsiswa, yakni NKK /BKK, memasuki tahun 1989 protes mahasiswa mulai mengangkat masalah-masalah sosial yang bersifat lokal. Seperti kasus tanah Badega, Cimacan, Kacapiring, Kedung Ombo dan penggalian pasir Mojokerto. Semua masalah ini sebenarnya merupakan pembelaan mahasiswa kepada petani. 
            Di saat Pers Umum mengalami kemandulan informasi dan pendapat, maka di saat yang sama Pers mahasiswa memberikan pilihan lain atas sebuah fakta keresahan sosial yang tak terbantahkan kebenarannya. Ketertindasan itu memang ada dan benar adanya….
***
            Tidak hanya Pers mahasiswa saat itu sajalah yang menjalankan fungsinya sebagai pers alternatif, tapi saat ini pun pers mahasiswa masih melakukan hal yang sama. Isu atau wacana yang sering diangkat oleh pers mahasiswa saat ini banyak sekali membicarakan soal isu-isu yang jarang bahkan tidak sempat diangkat oleh media umum. Sebagai contoh beberapa persma yang berani mengangkat soal isu tambang yang terjadi di Yogyakarta. LPM natas yang mengusung isu tambang pasir di pantai selatan Kulon Progo, LPM pendapa yang saat ini sedang menggarap isu tambang kapur di Gunung Kidul, dan lain sebagainya. Contoh kedua isu di atas merupakan salah satu contoh pers mahasiswa tetap mengambil perannya dalam mengusung isu-isu alternatif.
            Ada satu fenomena baru yang terjadi di pers mahasiswa saat ini. Pers mahasiswa yang dulunya hanya mengadvokasi melalui tulisan saja, kini sudah sedikit mengalami kemajuan dengan selain menulis juga ikut mengadvokasi permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini dilihat dari beberapa LPM yang ikut aktif dalam mengadvokasi kasus-kasus yang menekan masyarakat kecil. Bagi saya  ini merupakan sebuah kemajuan. Ingat persma itu adalah media pergerakan. Artinya tidak hanya menyediakan data-data untuk bergerak atua sebagai aktor belakang layar saja, tapi juga ikut dalam memainkan peran utama pergerakan itu.
            Tulisan ini hanya merupakan sebuah refleksi tentang keadaan pers mahasiswa saat ini. Saya sangat berharap terjadi banyak diskusi tentang tulisan ini guna menambah wawasan saya yang begitu sedikit tentang pers mahasiswa.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: