Label

Jumat, 20 April 2012

RUU Perguruan Tinggi itu Produk Neo Liberalisme


Oleh: Richi Anyan

RUU PT: Sebuah Prolog

Atas dasar keinginan pemerintah Indonesia agar generasi muda bangsa siap menghadapi globalisasi dengan tetap mempertahankan moral dan budaya bangsa (yang mana sangat absurd itu) dan dengan didorong kemandirian Perguruan Tinggi (PT), maka pemerintah membuat Undang-Undang Sisdiknas yang (katanya) bisa mengakomodir tujuan tersebut. Karena itu lahirlah UU Sisdiknas No.20 tahun 2003.

Kalau saudara seperjuangan masih ingat akan eksistensi UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) pun merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Hal ini dikemukakan pada pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.

Akhir tahun 2008 dan menjelang awal tahun 2009, pemerintah Indonesia membuka gebrakan baru di dunia pendidikan dengan disahkannya Rencana Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP). Pengesahan RUU BHP telah dilakukan pada tanggal 17 Desember 2008.

Banyak pihak pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP. Mereka berbeda pendapat tentang produk hukum penyelenggaraan pendidikan formal. Fokus permasalahannya terletak pada sistem yang diatur UU BHP. Keberadaan pihak yang pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP karena di satu sisi kehadiran UU BHP dianggap merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun di sisi lain, justru kehadiran UU BHP dianggap sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan dan sebagai jalan lepas tangannya pemerintah terhadap dunia pendidikan sedikit demi sedikit.



Pemerintah sendiri mengganggap UU BHP sudah final dan isinya tidak memberatkan orang tua dan masyarakat. Di dalam UU BHP disebutkan bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional dari satu satuan pendidikan. Artinya, UU BHP membatasi biaya yang harus dikeluarkan orang tua yaitu maksimal 1/3 bagian dari biaya operasional yang dianggarkan oleh penyelenggaraan pendidikan.

Sementara bagi beberapa pihak lain, terutama dari kalangan ahli pendidikan, UU BHP sejak awal ditentang dengan keras karena diyakini adanya nuansa neoliberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai penanggungjawab dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas dan murah. Dikuatirkan privatisasi akan membuat lembaga pendidikan dikelola sebagai perusahaan yang akan berusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah. Dari kalangan pendidikan swasta, BHP ditentang karena alasan kepemilikan, di mana pemilik yayasan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam lembaga pendidikan mereka, melainkan organ representasi pemangku kepentingan yang lazim disebut Majelis Wali Amanah.

Pada April 2010 UU ini dibatalkan MK dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat. Ada beberapa alasan yang disampaiakan oleh MK dalam pembatalan UU BHP tersebut. Pertama karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan. Kedua UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik. Ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan, perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.

Setelah UU BHP dibatalkan, maka harus ada payung hukum bagi PT yang berstatus BHMN. Maka ditetapkanlah Perppu No. 66 tahun 2010 yang berlaku per tgl 28 september 2010, menetapkan 7 PT BHMN tetap dengan status BHMNnya, yaitu : UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR, UPI, USU. Diantara isi Perpu 66 tahun 2010 yang diasumsikan mengakomodir aspirasi masyarakat ketika menolak BHP:
a)      20% mahasiswa cerdas tapi miskin, harus ditampung oleh PT.
b)      60% mahasiswa dijaring melalui seleksi nasional.
c)      keuangan dikelola secara PNBP/BLU.
d)     pemimpin PT diangkat oleh menteri dengan jabatan setingkat Lektor kepala.

Untuk sekedar diingat bahwa RUU PT sudah selesai dirancang pada awal tahun 2010 sebelum BHP disahkan. Dalam Kongres Nasional PPMI ke X, kami sedikit menyinggung soal Draf RUU PT saat itu yang sudah ada ditangan kami.

Arus Liberalisasi Global dan Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Indonesia

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DITJEN-DIKTI) sebagai representasi pemerintah dalam hal ini, mengelola pendidikan tinggi di Indonesia sesuai rumusan UNESCO dan meratifikasinya menjadi Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi atau yang biasa dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Jika pada kurun waktu 1975 – 1985 (HELTS I) dan kurun waktu 1986-1995 (HELTS II), penekanan Program untuk Program Jangka Panjang (PJP) masih fokus pada penciptaan nuansa akademik dan manajemen organisasi yang professional yang diantaranya didesain melalui Sistem Akademik dan Profesi (A Dual-System Academic and Professional) berikut dengan peningkatan kualitasnya. Maka pada kurun waktu 1996-2005 (HELTS III), program untuk PJP telah mengarah pada penciptaan Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan Tinggi (New Paradigm in Higher Education Management) yang lebih dipertegas lagi dengan HELTS IV (2003-2010), dimana program untuk PJP diarahkan untuk menciptakan persaingan antar PT di dalam negeri (The Nation’s Competitiveness), menghidupkan semangat otonomi, serta penyehatan ke-Organisasian (Organizational Health). Berbagai program penguatan manajemen pendidikan tinggi ditawarkan Bank Dunia, DUE (Development for Undergraduate Education), DUE-like, QUE (Quality for Undergraduate Education), Semi-QUE, URGE, Retooling Programe/TPSDP, Program Hibah Kompetitif (PHK) A1, A2, A3, B, , dan sebagainya.

Di sisi lain, Indonesia juga telah bergabung dalam World Trade Organization (WTO) sejak diterbitkannya UU no 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Sebagai anggota WTO Indonesia juga harus menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya. Indonesia juga memiliki UU PMA (Penanaman Modal Asing) dan Perpres no. 77 tahun 2007 dan Perpres no.111 tahun 2007, yang di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74, dimasukkan sektor pendidikan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimum 49 persen.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia memang telah masuk dalam paradigma baru. Dimana paradigma baru pendidikan tinggi ini telah mengubah peran dan fungsi pemerintah, melalui Dirjen-Dikti, yang semula sebagai penanggungjawab pendidikan tinggi, menjadi hanya sekedar fasilitator saja. Misalnya untuk program HELTS IV, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar US$ 98.267.000 yang diperuntukkan untuk proyek yang terdiri atas 2 komponen: (1) Reformasi sistem pendidikan tinggi, (2) Hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi.

Untuk point yang pertama arahnya pada pengesahan UU BHP. Sedangkan poin yang kedua digarap oleh Dikti dalam bentuk penawaran program-program ke perguruan tinggi untuk dikompetisikan sebagai dana pengembangan institusi. Tentu saja proposal yang lolos hanya yang sesuai dengan tuntutan Bank Dunia sebagai penyandang dana. Dirjen-Dikti menetapkan strategi pendanaan perguruan tinggi secara sistematis dan bertahap mengarah pada sistem hibah blok yang memberi otonomi lebih luas kepada perguruan tinggi. Hibah blok yang dimaksud dialokasikan antara lain melalui skema kompetisi.

Sesuai Tahun anggaran 2007 Dikti me-lunching program hibah berbasis institusi yaitu Program Hibah Kompetisi (PHK) yang dievaluasi tiga tahun sekali. Dalam PHK berbasis Institusi (PHK-I), perguruan tinggi bertanggung jawab penuh mulai pengajuan proposal, pengelolaan program, dan mempertanggungjawabkan hasil dari pelaksanaan program-progam tersebut. Saat ini Dirjen Dikti mengelola sekitar 2.800 perguruan tinggi dan mereka inilah yang akan menjadi sasaran kompetisi.

Bagi PT yang kompetitif maka ini adalah peluang besar untuk meningkatkan daya saing bangsa. Akan tetapi lain cerita bagi PT yang tidak kompetitif, sangat berat untuk bisa tetap bertahan. Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan banyak kampus belum bisa berkompetisidi sekala nasional. Salah satunya sebabnya adalah fasilitas pendidikan yang kurang memadai, seperti komputer, buku, dan lain sebagainya.

Seharusnya, negara sebagai sebuah Institu pemerintahan memiliki tanggungjawab dalam merealisasikan visinya yaitu bangsa yang besar, tangguh, kompetitif, inovatif, sejahtera lahir dan batin. Salah satunya menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam jumlah yang cukup sehingga dapat mencetak banyak pemikir yang banyak di negri ini.

Sayangnya, samapai saat ini, pemerintah belum terlalu menyadari akan tugasnya itu. Pemerintah dari hari ke hari makin menjajah rakyatnya sendiri dengan sistem yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Sistem yang dibuat bahkan sepenuhnya disajikan pada bangsa lain.

Pada Bab V tentang Perguruan Tinggi Asing dan Kerjasama Internasional secara jelas dibukanya kran liberalisasi pendidikan tinggi. Pasal 73 ayat (1) disebutkan : Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Sedangkan Pasal 74 menyebutkan :
(1)  Perguruan     Tinggi     dapat     melaksanakan     kerjasama internasional.
(2)  Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan antara lain:
a. pertukaran dosen dan mahasiswa;
b. pengembangan kurikulum;
c. pelaksanaan kerjasama program studi;
d. pengembangan organisasi; dan/atau
e. penelitian.

Arahan Internasional : Liberalisasi Sektor Jasa

Liberalisasi jasa pendidikan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh Negara maju. Karena liberalisasi sektor ini memberikan keuntungan yang sangat besar. Disebutkan oleh Effendi bahwa ada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor  jasa  pendidikan  mencapai  sekitar  4  persen  dari  penerimaan  sektor  jasa  Negara tersebut.   Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan  bahwa  pada  1994  sektor  jasa  telah  menyumbangkan  70  persen  pada PDB  Australia,  menyerap  80  persen  tenaga  kerja  dan  merupakan  20  persen  dari  ekspor total  negara  Kangguru  tersebut,  Sebuah  survey  yang  diadakan  pada  1993  menunjukkan bahwa industri  jasa  yang  paling  menonjol  orientasi  ekpornya  adalah  jasa  komputasi, pendidikan   dan  pelatihan.   Ekpor   jasa   pendidikan   dan   pelatihan   tersebut   telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa Negara maju sangat getol menuntut adanya liberalisasi jasa pendidikan melalui WTO. Negara-negara anggota WTO akan terus ditekan untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

Sejak tahun 1995 Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Tentunya Indonesia juga harus menyepakati untuk meliberalkan sektor pendidikannya. Ada dua faktor kenapa Indonesia sangat ditarget untuk meliberalkan sektor jasa pendidikan. Pertama: Indonesia memiliki penduduk yang besar, sekitar 215 juta dengan partisipasi pendidikan tinggi rendah. Kedua Perhatian pemerintah pada sektor pendidikan lemah, sehingga mutu pendidikan secara umum rendah. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi incaran Negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Di satu sisi SDM-SDM tersebut menjadi tenaga kerja yang murah bagi mereka (negara-negara maju tersebut). Untuk mengoptimalkan ini, peran Negara dalam pengaturan urusan masyarakat terus diminimalkan. Baik dalam pendidikan ataupun penyediaan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.

Ada enam Negara yang sangat menuntut Indonesia untuk meliberalkan sector jasanya. Amerika, Australia, Jepang, Korea, China, dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, pendidikan vocasional, dan profesi.

Konspirasi liberalisasi pendidikan
Melihat strategisnya liberalisasi pendidikan oleh Negara-negara berkembang (dalam hal ini Indonesia), maka sangat dimengerti “pemaksaan/penekanan” agar hal ini segera terwujud terus dilakukan. Untuk memuluskan agenda besar ini dilibatkanlah aktor-aktor kunci dalam proses Konspirasi PT ini meliputi :
1.    Negara-negara kapitalis
Negara-negara inilah sebagai aktor utama dengan besarnya kepentingan mereka.
2.    Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, dan Bank Dunia)
Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.
WTO akan terus menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
3.    Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)
Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.
4.    Pemerintah Dunia Ketiga
Berperan sebagai pembuka pintu dan pemberi payung hukum jalannya konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi tersebut.

Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan Tinggi
1.    Dampak Ideologis
Pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam penanaman pemikiran dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh suatu bangsa. Dengan masuk dan bekerjasamanya dalam ranah strategis seperti kurikulum, akan diindikasikan kuat penanaman pemikiran-pemikiran barat terus ditancapkan. Akibatnya, inverioritas terhadap budaya asing pun terjadi dan pengetahuan akan budayanya sendiripun makin melemah.


2.    Dampak Politik
Pendidikan berfungsi sebagai tempat lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan untuk pemecahan persoalan bangsa. Dengan adanya liberalisasi PT sangat dimungkinkan besarnya pengaruh pemikiran barat dalam penyelesaian persoalan bangsa.
3.    Dampak Ekonomi
Hal ini berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Meskipun dalam RUU PT sudah disebutkan bahwa biaya yang ditanggung mahasiswa adalah maximal sepertiga dari seluruh biaya operasional PT. Namun mekanisme ini dipastikan belum menjamin mudahnya akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat
4.    Dampak Sosial
Dampak ini mengakibtkan kesenjangan kaya dan miskin semakin terbuka lebar

Solusi Sementara

Bahaya destruktif liberalisasi PT sangatlah besar. Bahakan terkait kedaulatan Negara. Karena itu pembiaran terhadapnya merupakan pembiaran terhadap hancurnya negeri ini. Upaya serius untuk menghentikan menjadi sebuah kewajiban semua pihak. Harus diseriusi dan sabar menjalani prosesnya. Karena penghentiannya tidaklah mudah. Mengingat bacaan persoalan ini melibatkan berbagai aktor yang sifatnya mengglobal (kokohnya penerapan kapitalisme).

Upaya yang dilakukan haruslah dengan perwujudan perubahan pemikiran dan pemunculan kesadaran yang benar pada seluruh segmen masyarakat. Sehingga diharapkan dorongan penolakan pada penerapan kapitalisme sang perusak pendidikan akan terwujud. Upaya penyeruan dilakukan:
(1)   kepada masyarakat.
Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.
(2)   kepada pemerintah.
Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.
(3)   kepada DPR.
Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.
(4)   kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional.
Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.
Selain itu secara pemikiran ideology juga disampaikan, meliputi:
(a) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.
(b) terhadap imperialisme. Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme yang merupakan dasar ideologi bagi ideologi kapitalisme.

###Belum Selesai###
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: