Label

Senin, 11 Juni 2012

Aksi BBM Dari, oleh, dan Untuk Rakyat

Oleh: Richi Richardus P. Anyan
Siapa yang sudah lupa dengan berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat menanggapi isu naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM)? Tentu masih ingat. Hampir semua media memberitakan berbagai aksi demonstrasi itu sebagai headline news. Bagai mana tidak? Hampir seantero negeri ini melakukan berbagai aksi penolakan terhadap naiknya isu BBM tersebut.
Berbagai aksi itu dilakukan sebagai bentuk menyuarakan aspirasi rakyat yang  belum sempat disuarakan oleh mereka yang menamakan diri mereka wakil rakyat. Lalu dimana peran wakil rakyat saat itu? Wakil rakyat sepertinya lebih takut pada partai dan duduk bungkam seribu bahasa daripada melawan partai mereka dengan menyuarakan suara rakyat.
Lain lagi dengan partai. Partai yang biasanya mengkader para calon wakil rakyat malah menggunakan kekuasaan yang mereka punya untuk melawan rakyat. Partai menggunakan aparat polisi untuk membumkan rakyat atau golongan organ yang berusaha menyuarakan suara rakyat. Polisi menggunakan senjata dan kekerasan untuk menyerang siapapun yang mau menyuarakan suara rakyat. Suara dari lubuk derita yang dialami oleh rakyat.
Pertanyaan pun bermunculan. Apakah alasan rasional polisi saat melakukan kekerasan tersebut? Apakah dengan melakukan kekerasan, aparat polisi tidak melanggar HAM? Lalu apa hukuman bagi mereka? Tidak adakah cara lain dari pihak kepolisian dalam menangani para masa aksi?

Saya menjadi teringat akan harian KOMPAS, Rabu, 28 Maret 2012 menerbitkan headline beritanya. Berita itu berisi tentang dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menangani demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM sehari sebelumnya.
Sudah barang tentu bukan baru kali ini pihak kepolisian dituduh melakukan pelanggaran HAM. Sudah sangat sering, perilaku polisi yang nampak sewenang-wenang dalam membubarkan demonstrasi dikritik masyarakat. Beberapa oknum polisi memang telah ditindak oleh kesatuannya sebagai sanksi. Namun biasanya, hanya mereka para oknum di lapangan yang dijadikan korban. Petugas-petugas lapangan ini biasanya dituduh melanggar Protab yang telah ditentukan Mabes Polri. Dengan demikian, pelanggaran prosedur yang seringkali bersamaan dengan pelanggaran HAM, hanya merupakan kesalahan teknis di lapangan.
Ini sebuah kejadian lucu. Pelanggaran HAM dianggap sebagai sebuah kesalahan teknis di lapangan. Kalau seperti ini adanya maka oknum polisi yang membunuh oorang saat menangani masa aksi pun dapat dianggap sebagai sebuah kesalahan teknis. Dengan kata lain, menghilangkan hak hidup seseorangpun dapat dianggap sebagai sebuah kesalahan teknis.
Tetapi apakah memang sesederhana itu? Apakah mungkin seorang petugas lapangan berani melanggar protab? Dalam banyak kasus, para pengamat melihat bahwa kesalahan tidak terletak pada petugas lapangan. Seringkali, ada semacam 'petunjuk' dari atasan untuk melakukan aksi tertentu di lapangan, tanpa secara terbuka disampaikan kepada publik. Dalam pengertian ini, maka bukannya pihak Mabes yang kecolongan dalam mengendalikan anak buahnya di lapangan. Para otak di Mabes inilah yang mengatur dan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan atau tidak melakukan aksi tertentu. Kecurigaan publik kemudian mengarah pada kesalahan teknis oknum lapangan. Bukankah pelanggaran HAM yang terjadi dalam penanganan demonstrasi lebih mencerminkan tindakan sengaja yang diperintahkan institusi secara tersembunyi?
Pada aspek yang lain, polisi seringkali menggunakan alasan menjaga ketertiban umum sebagai dalih aksi represif mereka terhadap para demonstran. Lantas bagaimana kita harus memaknai 'ketertiban umum'? Apakah ketertiban umum memang selalu bertentangan dengan 'kebebasan berekspresi'? Lalu bagaimana juga kita memaknai 'kebebasan berekspresi, dalam hal ini demonstrasi, itu sendiri? Batasan apa yang bisa digunakan untuk melihat sebuah aksi melanggar ketertiban umum maupun tindakan polisi yang melanggar HAM? Mengapa praktik penanganan demontrasi oleh polisi masih sering terindikasi melanggar HAM? Mari kita bahas satu per satu.

Kurang tepatnya Pola Penanganan Demontrasi
Demontrasi itu dijamin oleh konstitusi. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 merupakan konstitusi yang memberikan jaminan hak berpendapat. Dalam undang-undang tersebut ditekankan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan perwujudan hak atas kebebasan berpendapat dan melakukan penyampaian pendapat di muka umum.
Undang-undang tersebut memberikan koridor bahwa aksi massa dalam undang-undang tersebut dikategorikan ke dalam unjuk rasa, demonstrasi, pawai dan mimbar bebas. Tugas institusi kepolisian itu memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan atas kebebasan berekspresi pendapat setiap orang. Persoalannya dalam institusi kepolisian itu sendiri. Mereka selalu melahirkan stigma dalam diri mereka sendiri bahwa demonstrasi itu cendrung vandalis.
Lalu bagaimana institusi kepolisian melakukan penanganan aksi massa selama ini? Dalam menangani berbagai aksi massa selama ini, pihak kepolisian bekerja sesuai dengan Standar Operasional Prosedur yang mereka punya.
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang digunakan dalam penanganan aksi masa tidak pernah berubah. Ada cara preventif dan reaktif, tapi sayang SOP ini tidak pernah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berbeda. Lucunya, ini diterapkan dengan kaku di setiap daerah dengan situasi yang berbeda-beda. Logisnya, SOP tersebut jika diterapkan pada situasi yang berbeda, maka secara teknispun menjadi berbeda. Apalagi SOP ini lebih bersifat reaktif daripada preventif atau mencegah. Polisi juga menjadi kerepotan dalam menangani aksi masa ini karena standar operating prosedurnya kurang aplikatif dalam menangani aksi masa. SOP yang lebih bersifat reaktif daripada preventif menjadikannya tidak aplikatif dan kurang strategis dalam bekerja.
Selain SOP, kurangnya analisis sosial yang coba dibuat di institusi kepolisian menjadi salah satu kendala dalam menangani aksi massa. Mereka sering memisahkan diri dari masyarakat. Itu sudah terjadi sejak masih berada di Akademi Kepolisian. Kurang berbaurnya polis dengan masyarakat ini mengakibatkan sekat-sekat baru antara masyarakat dengan polisi. Sekat yang tampa sengaja dibuat itu akhirnya melahirkan eksklusivitas di kepolisian.
Eksklusivitas yang dibangun sejak dini oleh para perwira ketika beradadi Akademik Kepolisisan menjadikan mereka sendiri susah membaca situasi sosial yang sedang terjadi. Hal ini membuat masyarakat merasa berbeda dengan polisi. Polisi bukan teman dari masyarakat, tapi menjadi orang asing bagi masyarakat.
Hal ini membuat aparat kepolisian lebih sering musuh dalam aksi massa. Apalagi aparat kepolisian sering dimanfaatkan oleh para penguasa untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat padahal merekalah yang seharusnya memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Selain itu, mereka juga seharusnya melindungi massa aksi dari berbagai profokator yang sengaja dibuat oleh penguasa untuk tetap melanggengkan kekuasaannya.
Seharusnya aparat kepolisian banyak mempelajari langsung soal analisis sosial sejak dini. Berbaur dengan masyarakat menjadi salah satu solusi yang baik. Dengan berbaur dengan masyarakat, mereka dapat melihat dan merasakan apa yang benar-benar terjadi di masyarakat.

Kultur Kepolisian
Kultur suatu intitusi sangat berpengaruh dengan apapun yang berhubungan dengan institusi itu. Ibarat manusia, kultur atau buadaya yang ada pada lingkungannya akan sangat berpengaruh dengan sifat dan cara dia bergaul. Kultur yang baik akan membawa institusi itu ke arah yang baik. Namun sebaliknya, kultur yang buruk akan membawa institusi itu pada sebuah jalan yang salah.
Problem utama di institusi kepolisian adalah adanya kultur yang sangat tergantung pada pimpinan. Peran seorang pemimpin dalam kepolisian sangatlah besar. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seorang pemimpin akan berpengaruh pada anak buahnya. Ibaratnya ganti Kapoltabes, ganti kebijakan. Rotasi kepemimpinan ini sangat berpengaruh. Karena itu, personalitas seorang pemimpin dalam institusi kepolisian ini akan sangat berpengaruh pada institusi kepoliasian itu. Intinya, arah institusi kepolisian saat ini sangat bergantung pada personalitas seorang pemimpin.
Kedua, lemahnya menajemen institusi kepolisian. Kenaikan pangkat tergantung pada kedekatan dengan atasan, bukan pada kemampuannya. Institusi ini tidak bekerja secara koordinatif. Keterpilihan seorang yang duduk pada posisi yang penting tergantung sejauh mana dia dekat dengan pemimpinnya. Ukuran kinerja dan kemampuan bukanlah menjadi sebuah patokan untuk mendapat posisi yang penting dalam institusi kepolisian.
Kedua, institusi kepolisian ini lemah pada aspek manajemennya, kenaikan pangkat tergantung pada kedekatan dengan atasan, bukan pada kemampuannya. Institusi ini tidak bekerja secara koordinatif dan ini membuat kenaikan posisi, keterpilihan seseorang duduk dalam posisi yang penting, itu kita tidak tahu apa yang kemudian dijadikan ukuran kinerjanya.
Bagaimana kita tercengang ketika Pak Timur tiba-tiba diangkat menjadi Kapolri. Hal ini sunggu mengagetkan karena masih ada banyak orang lain yang memiliki kompetensi dan pangkat yang lebih tinggi. Orang tercengang bukan karena Pak Timurnya, tapi karena masih ada banyak orang lain lagi yang berkompoten dalam menduduki jabatan itu. Hal ini mungkin saja akan menimbulkan kecemburuan. Beliau angkatan yang muda membawahi angkatan yang lebih tua. Rotasi kepemimpinan dalam institusi kepemimpinan ini sebenarnya sangat penting sekali. Keadaan seperti ini rentan sekali diintervensi secara politis, dan rentan sekali untuk disalahgunakan.
Akibat dari semuanya ini membuat orang-orang yang baik dari segi kompetensi menjadi orang terpinggirkan. Hal ini bisa membuat institusi ini tidak bisa melahirkan hal-hal baru dalam hal merevormasi institusi ini. Apalagi kenijakan-kebijakannya tidak mampu mewadahi orang-orang yang punya kemampuan itu.
Contohnya Kapolres Semarang yang dulu waktu dia dia menjabat sebagai Kapolres di Jakarta, adalah satu-satunya orang yang berani menangkap Hercules. Ketika menjadi Kapolres Semarang dia menangkap Syekh Puji. Sekarang dia hanya jadi guru Pengantar Ilmu Hukum di Akpol. Betapa ada orang hebat dan berani, kemudian bukan dimanfaatkan, justru disingkirkan. Ada orang-orang baik di dalam institusi kepolisian, namun apakah orang-orang baik itu mendapatkan dukungan politik dari dalam.

Solusi
Aksi massa bukanlah sebuah hal yang salah. Aksi massa adalah salah satu bentuk luapan emosi masyarakat atas ketidakadilan yang mereka dapatkan.
Aksi BBM merupakan salah satu contoh luapan emosi masyarakat atas ketidakadilan yang mereka dapatkan. Tidaklah heran kalau aksi BBM itu begitu menasional karena naiknya harga BBM berdampak sangat buruk bagi perekonomian masyarakat kelas bawah.
Aksi BBM ini juga tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa saja, tapi datang dari berbagai kalangan. Karena itu, banyak yang mengatakan kalau Aksi menolak naiknya harga BBM itu dari, oleh, dan untuk rakyat.
Akan tetapi, terkadang polisi lupa akan tugas mereka yang seharusnya membela rakyat. Mereka juga ada karena adanya rakyat. Mereka juga adalah rakyat. Penyadaran inilah yang perlu kembali di bangun dalam tubuh institusi kepolisian.
Bukanlah yang mudah untuk melakukan perubahan yang ada dalam internal institusi kepolisian. Ada beberapa faktor penyebabnya. Ketergantungan terhadap personal pemimpin. Selain itu kultur yang sudah lama dibangun dalam institusi kepolisian menjadi salah satu kendala besar.
Ketergantungan terhadap personal pemimpin yang sekarang ada harus dirubah. Budaya kepatuhan terhadap personal seorang pemimpin bisa menghambat sebuah perubahan. Apabila ada kesalahan dalam institusi itu, pihak bawahan tidak berani untuk memprotes. Hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana polisi nantinya menangani aksi massa nantinya. Karena perintah dari atasan, bisa saja masalah kemanusiaan diabaikan.
Sebagai contoh kasus pengamanan aksi massa di “Pertigaan Revolusi”, sebuatan lain dari pertigaan jalan solo, utara kampus UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Waktu itu aksi massa tiba-tiba diserang sama aparat kepolisian yang berada di situ. Kalau ini dibilang sebagai oknum, berarti tidak masuk akal. Hampir di semua media massa menayangkan soal kejadian itu. Aksi massa di serang oleh semua aparat kepolisian yang ada di situ. Selain aparat yang ada saat itu, ada tambahan pasukan lagi yang datang untuk membantu mengamankan aksi massa saat itu. Kacaunya, ada banyak sekali massa aksi yang ditangkap di dalam area kampus. Apa aparat kepolisian sudah lupa akan hukum? Selain contoh agresivitas polisi di “Pertigaan Revolusi” ini, masih ada banyak contoh lain lagi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada saat mereka “mengamankan” aksi massa.

Selain ketergantungan pada personal pemimpin, kultur yang sudah lama dibangun dalam institusi kepolisian menjadi salah satu kendala besar. Mengeksklusifkan diri dari masyarakat dapat menimbulkan rasa benci yang besar dari masyarakat pada pihak kepolisian itu sendiri. Para kawulo muda kepolisian atau lebih tepatnya para peserta didik yang berada di Akpol perlu melatih diri untuk mengenal masyarakat secara lebih dekat. Hal ini sangat penting ke depannya. Pada saat mereka menjadi salah satu pemimpin dalam institusi kepolisian, mereka tahu dari mana mereka berasal dan untuk siapa mereka bekerja. Jawabannya adalah rakyat. Mengapa rakyat? Karena mereka ada untuk membela rakyat.
Bagi para pengajar yang berada di Akpol pun seharusnya menyiapkan sebuah kurikulum khusus bagi para peserta didik yang berada di Akpol untuk bisa live in di masyarakat. Pendidikan sudah seharusnya tidak terlampau jauh dari realita hidup. Begitu pula dengan pendidikan yang ada di Akpol.
Terkait dengan aksi massa, Ansos tersebut sangat dibutuhkan. Aksi massa tidak perlu dibubarkan dengan kekerasan kalau pihak kepolisian bisa membaca situasi yang ada. Semuaya dapat didialogkan dengan baik.
Ambil contoh Kombes Mustaqim, Kapolres D.I Yogyakarta. Beliau coba menghubungi Koordinator Lapangan ARB pada saat aksi menolak kenaikan BBM di depan Gedung Agung, seminggu setelah terjadinya kasus di UIN Yogyakarta. Dia mengatakan bahwa beliau tidak melarang adanya aksi massa asalkan aksi massa itu berdampak baik bagi masyarakat.
“Kalian membela masyarakat, kami juga menjaga kenyamanan masyarakat. Marilah kita bekerja sama.” Demikian beliau memberi saran kepada Koordinator Lapangan ARB. Hal ini bisa dijadikan contoh bagi para pemimpin lain yang berada di institusi kepolisian.
Comments
1 Comments

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tolong ya ci, foto pantai trisik kulon progo dikasi copyright... majalah natas dan fotografernya, inisialnya GAC. hahahaha