Label

Selasa, 27 Desember 2011

TERPEROSOK DI SUDUT KOTA


Oleh: Richi Richardus P. Anyan

Keresahan selalumuncul di pagi hari setelah melewati mimpi buruk yang terusmendampingi sejak raga terlena dalam buaian malam hari. Mungkin akuhanyalah pikiran diam yang tersembunyi di pojok-pojok kelupaan. Namunhari ini aku menjadi suara yang amat kuat menggemakan cakrawala.

Namaku Sri. Akuhanyalah seorang pengemis tua dengan kulit keriput melekat padatubuhku. Aku dilahirkan dari seorang pengemis karena kejahatankelamin akibat bencana sosial. Aku dididik dalam sebuah keterbatasan;dibesarkan dalam sebuah budaya, budaya tanpa kebudayaan; teperosokdalam sebuah kehidupan di antara orang-orang yang terpinggirkan.Namun setidaknya aku berbangga dengan namaku karena dari namakulahharapan ibuku muncul. Harapannya sederhana, semoga suatu saat akuakan dipuja karena memanen banyak makanan. Laiknya seorang dewi padi.Akan tetapi… ya beginilah hidupku.

Mentari terbangundari peraduan setelah mantol hitam yang dihiasi pernak-pernik bintangdan bulan menyelimutinya. Aku dikagetkan dari mimpi burukku akibatbisingnya lalu-lalang kesibukan orang-orang. Seperti biasa, tak bisakutepis rasa itu. Aku selalu bertanya dalam hatiku, “dapatkah akumakan hari ini?”

Aku mulai bangkitberdiri, memulai hari dengan seribu tanya. Kususuri jalan setapakmenuju sebuah persimpangan kota. Langkahku tehenti di sebuah lampumerah. Satu per satu mobil kudatangi, mencoba mengadu nasib atas ibaorang lain. “Berbelaskasihlah pada aku orang miskin ini. Kiranyatuan berbaik budi, berilah sedekah untuk aku dapat menyambung hidup„paling tidak, sampai besok,” kataku sambil senyum. “Hidupkukemarin dan hari ini, semoga tidak untuk esok sangatlahberkekurangan,” lanjutku. Aku selalu meminta dengan senyuman.Itulah salah satu warisan yang ditinggalkan oleh mediang ibuku.

Akan tetapi, apayang aku dapatkan? “Tidakkah kau bisa bekerja yang lebih pantasdari pada harus menjadi seorang peminta-minta?” Kata seorang dalammobil dengan menggunakan jas coklat dan kaca mata hitam tanpa mausedikit pun memandang wajahku. Lalu aku menjawab, “kalau tuan maumengajarkan aku untuk tidak menjadi seorang peminta-minta, tapimenjadi seorang yang tuan anggap lebih baik, aku pun mau agar hidupkulebih baik dari hari kemarin,” namun senyumku mulai meredup.

Ada yang lain lagiberkata, “Hai kau yang miskin dan terpinggirkan, tidakkah kaumerasa hina dengan apa yang kau kerjakan? Sudah seharsnya tidak adalagi orang seperti kau dan kaummu di bumu kami ini.” Aku mulaitertunduk lemas. “Aku dan kaumku masih dan tetap ada selamakeegoisan orang masih terus ada dalam darahnya. Bahkan aku dan kaumkuakan semakin banyak selama kerakusan akan harta dan kekuasaan masihterus merong-rong jiwa manusia,” jawabku dengan terus memandangpenuh harapan “semoga aku bisa mendapat sedekah dari mereka yangberkecukupan.”

Berapa kali sudahlampu merah menyala, tapi tak satu pun dari orang-orang yang adadalam mobil yang mewah mau memberikan sedekah padaku, wanita tua ini.Perutku mulai menusuk karena belum diisi sesuatu. Sang raja siang punmulai menyengat kulit keriput ku ini. Aku merasa harus berpindah ketempat lain yang mungkin bisa mendatangkan sedekah.

Kususur tepi jalandi antara keramaian kota. Perutku terus meringis kesakitan. Akantetapi beberapa gedung mampu kulewati. Aku berhenti di sebuahbangunan megah tempat perbelanjaan. Aku duduk di tepi tangga denganmembuka tangan ke depan, di antara lalu-lalang orang-orang yangkeluar masuk tempat perbelanjaan itu. Ada banyak sekali orang yangmenggunakan pakaian, bahkan sepatu dan sandal yang tak mungkin bisakupunya. Sekali lagi aku mau mencoba mengadu nasib di sini.

Tanpa terasa haripun sudah mulai sore. Tak ada sedikit pun makanan yang masuk keperutku. Aku mencoba untuk menahan rasa laparku. Namun perih yang adadi perutku tak tertahan lagi. Serasa aku kehabisan tenaga, bahkanuntuk berbicara pun hampir tak mampu. Sekilas mataku tertuju padasebuah mobil hitam ber-plat merah, aku mencoba menghibur diriku bahwaada harapan dari mobil hitam yang baru saja parkir itu.

Di dalam mobil ituada seorang wanita mungil dan seorang pria ber-jas hitam, berdasihitam, bahkan sampai celana dan sepatunya pun berwarna hitam. Priaitu turun dari mobil dan segera merangku anak kecil itu digendogannya, namun anak itu mencoba untuk melepaskan gendongan itudan meminta untuk berjalan. Pria itu menuruti, tapi tetap merangkulgadis cilik itu. Sepertinya pria berpakaian sebahitam itu adalahayahnya. Mungkin da seorang pejabat pemerintahan.

Mereka berjalanmelalui depanku. “Tuan, berbelas kasihlah kepada aku orang miskinini. Sudah seharian aku belum makan,” aku mencoba meminta denganpenuh harapan. Akan tetapi pria itu mencoba menatapku dan berkata,”aku bekerja membanting tulang untuk kepentingan banyak orang agarmendapat penghidupan yang layak. Karena itu, aku juga digaji olehuang banyak orang dengan secukupnya agar aku bisa menghidupikeluargaku, jadi aku tidak punya cukup uang untuk diberikankepadamu.” Aku mencoba menjawab pernyataannya itu. “Aku hanyalahgambaran segelintir orang dari beribu orang lain, hasil kerja kerasmuyang ada di kota ini. Aku hanyalah aku, hanya salah satu korban darikeegoisan para penguasa yang haus akan harta dan kekuasaan.”kataku. Lalu ia berkata, “Irikah engkau ketika melihat aku hidupberkecukupan?” sambil pergi meninggalkanku. Aku menatapkepergiannya dengan penuh marah di dalam dada.

Tak berapa lamasetelah itu, ada tiga orang laki-laki ang lewat di depan emperanbangunan megah itu. Di antara mereka bertiga, ada yang memegang buku,ada yang memakai tas, dan yang lain lagi menggantung kamera dilehernya. Aku melihat mereka asyik dengan diskusinya.

“Inilahwajah-wajah suram republik ini yang terus-menerus dirundung petaka.Petaka yang diciptakan oleh ‘mereka’ yang menyebut dirinya’dipertuan uang’. Mereka ini seharusnya memohon ampun kepadarakyat karena amanat untuk menyejahtrakan rakyat diselewengkan untukmembangun kesejahtraan keluarga dan rezimnya sendiri. Namun yangterjadi mereka bukan memohon ampun, tetapi rakyat dimintan untukprihatin puasa Senin-Kamis,” kata salah orang yang memegang buku ditangannya sambil membuka bukunya.

“Kemarin kitamengikuti nabi-nabi dan tukang-tukang sihir yang lalim. Namun hariini, waktu telah berubah dan ia telah merubah kita. Kita sekarangberani menentang matahari dan mendengarkan nyanyian laut, tidak adayang dapat menggoncangkan samudra kecuali badai topan,” kata orangyang memegang tas sembari mengeluarkan botol minuman dari dalamtasnya.

“Kemarin kitamerunduk-runduk kepada sang raja dan menundukan kepala kita dihadapan sultan, tetapi hari ini kita tidak menaruh hormat kecualikepada kebenaran, dan tidak mengikuti seorang pun kecuali keindahandan cinta,” kata orang yang menggantung karma di lehernya.

“Begitu banyakkata cinta yang kau tulis tidak akan unya arti apabila engkau tidakterlibat dala cinta itu sendiri,” kata orang yang memegang buku itusambil matanya tertuju pada orang yang menggantungkan kamera dilehernya.

Aku mencoba mendekatkea rah mereka. Aku begitu yakin kalau mereka inilah orang-orang yangdengan serius memperjuangkan orang seperti aku ini. “Berbelaskasihlahkepada aku orang miskin ini. Sudah seharian ini aku belu mengisiperutku dengan makanan apapun,” kataku sambil menyodorkan tangan kedepan. “Kalian tidak memahami kami, tetapi kami menawarkan simpatikepada kalian. Kalian sedang berpacu dengan arus kehidupan dan tidakmemandang kami; tetapi kami sedang duduk di tepi kota, menatap danmendengarkan suara-suara aneh kalian,” lanjutku.
Kata seorang darimereka, “Tenang, kami sedang memperjuangkan kaummu bukan hanyadengan kata-kata supaya kamu mendapat penghidupan yang setara dengansemua orang.” Lalu mereka pergi tanpa meninggalkan apa-apa selainbotol minuman yang sudah kosong itu.

Aku hanya berdridiam, terpaku menatapi kepergian mereka. Tanpa sadar, aku dihampirisalah seorang tukang becak yang diam-diam memperhatikan aku daritadi. Dia memberikan sebungkus makanan tanpa banyak bicara. Akumenerima bungkusan itu lalu berkata, “Terberkatlah engkau dihari-harimu. Engkau memberi tanpa meminta apapun dari diriku yanghina ini. Doaku selalu menyertaimu karena doaku adalah irama hatiyang akan senantiasa menerbangkanmu ke singgasana Tuhan walaupun tertindas di antara ratap tangis seribu jiwa.” Lalu aku pun membuka bungkusan itu.

Kata tukang becakitu “Betapa indah hidup ini, cinta, seperti hati penyair yang penuhdengan cahaya dan kelembutan hati,” lalu pergi meninggalanku.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: