Label

Sabtu, 22 Desember 2012

Salam Perpisahan dari Bima

Oleh Richi Anyan
Waktu menunjukan pukul 10.10. Tilong Kabila perlahan mulai bersandar di pelabuhan Bima. Kapten kapal dengan sangat teliti dan hati-hati menyandarkan  kapal secara perlahan di dermaga.
Penumpang yang akan segera turun sudah menumpuk di pintu keluar sebelah  kanan. Penumpang  yang akan segera na ikpun sudah berdesakan di gerbang masuk dari terminal penumpang menuju kapal.
Aku masih asyik bercerita dengan Tom. Tom adalah Turis yang berasal dari lyon, Perancis. Dia berencana  untuk berada di Indonesia selama tiga bulan. Sudah hampir dua bulan dihabiskannya untuk mengelilingi Daerah Sumatra, Jawa, dan Bali. Dia banyak bercerita tentang Aceh. Saya sangat antusias mendengar ceritanya tentang Aceh dan Sumatra. Jujur saja, saya sangat belum  pernah ke Sumatra, tapi sudah banyak cerita yang saya dengar tentang Sumatra. Dia begitu bersemangat menceritakan tentang indahnya budaya Aceh, tapi tidak untuk  pantainya.

Berbicara budaya Aceh memang tidak bisa lepas dari syair dan pantun indah  yang sudah mengakar. Orang Aceh dapat membuat puisi dan syair yang begitu indah dalam seketika. Entah apa yang mereka tulis, tapi rangkaian kata yang dibuat sangat indah.
Mungkin banyak yang sudah tahu tentang “Hikayat Perang Sabil”. Puisi ini seperti mantra yang dapat menyulap semangat orang Aceh. Puisi inilah  yang membangkitkan semangat orang Aceh dalam berperang mengusir penjajah Belanda selama bertshun-tahun lamanya. Conon ceritanya, puisi ini  pula yang dipergunakan  oleh Teungku Umar dan isntrinya Cut Nya Dien untuk membangkitkan semangat rakyat Aceh dalam melawan penjajah. Dalam buku Sastra Aceh karangan L.K Ara menceritakan bagaimana Teungku Umar dan Cut Nya Dien selalu memebacakan “Hikayat Perang Sabil” di malam hari bagi rakyat aceh saat itu.
Tak haya “Hikayat Perang Sabil”, berbicara Aceh, kita tidak begitu saja melupakan Sultan Iskandar Muda dan Kerajaan Sriwijaya. Sulta Iskandar Muda adalah salah satu Raja Kejayaan Sriwijaya. Pada masanyalah, Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya. Bahkan pada masa kepemimpinannyalah, Aceh menjadi salah satu pusat peradaban dunia.
Aceh juga merupakan salah satu kerajaan yang memiliki pasukan maritime terkuat di Dunia. Sultan Iskandar Muda sangat pintar dalam mengatur pasuka maritimnya. Pada masa itu, bajak laut masih sangat ditakuti di Dunia. Sultan Iskandar Muda memanfaatkan kehebatan para bajak laut. Beliau bekerja sama dengan semua bajak laut guna memperkuat pasukan maritimnya. Apabila ada kerajaan yang ingin menyerang Sriwijaya, maka yang akan mereka hadapi pertama adalah para bajak laut. Akibatnya, pasukan dari kerajaan lain itu sudah sangat lemah ketika berhadapan dengan Pasukan Maritim Kerajaan Sriwijaya. Itulah strategi perang dari kerajaan Sriwijaya.
Hal ini membuat gerah banyak kerajaan dari Negara lain seperti Inggris, Prancis, dan Belanda. Karena itu,  untuk mengalahkan pasukan maritime kerajaan Sriwijaya, mereka harus bekerja sama guna mengalahkan kerajaan Sriwijaya. Caranya sederhana. Mereka membuat suatu aturan bahwa bajak laut harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Setelah bajak laut dihancurkan, barulah kerajaan Sriwijaya dapat dikuasai. Hasilnya memuaskan. Kerajaan Sriwijaya hancur.
Kendati demikian, Kerajaan Sriwijaya pernah mencatat namanya di pentas Dunia menjadi salah satu Negara yang sangat ditakuti kekuatan maritimnya. Inilah kerajaan terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Aceh juga kini dikenal sebagai Serambi Mekah. Aceh, Islam, dan Budaya Aceh adalah ketiga hal yang tidak dapat dipisahkan. semuanya tak bisa lepas dari sejarah masa lalu. Islam pertama kali masuk ke nusantara melalui Aceh. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penemuan sejarah masa lampau. Itulah keitimewaan aceh bagiku.
Akan tetapi, pada masa kekinian, kejayaan aceh hanya merupakan propinsi yang biasa-biasa saja. Aceh hanya menjadi lahan penenan subur bagi para kapitalis. Aceh hanya dieksploitasi kekayaan alamnya saja. Masyarakat Aceh tidak pernah menikmati hasil kekayaan alamnya. Tak heran jika GAM muncul sebagai alter ego masyarakat Aceh yang memberoktak. GAM hadir karena ketidak adilan yang mereka dapatkan.
Tak terasa rokok ditangan sudah hampir habis. Saya tersadar dari lamunan dan menatap Tom yang masih asyik bercerita. Tom mungkin tidak terlalu banyak tahu tentang Aceh, begitu pun dengan saya. Saya hanya tahu Aceh dari beberap cerita dan referensi yang saya baca. “Aceh very nice” simpulnya mengakhiri cerita tentang Aceh.
Tom, kini, melanjutkan ceritanya tentang pesona Danau Toba dan medan. Danau Toba merupakan salah satu tempat yang menawarkan sejuta keindahan alamnya. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau ada celutuk yang mengatakan bahwa jangan bilang pernah ke Medan kalau belum singgah Danau Toba. Dia juga bilang kalau orang batak itu sangat ramah. Baginya, logat bicara Orang Batak berbeda dengan sikap mereka yang sangat menghargai orang lain.
Tom juga menceritakan perjalanannya di Pulau Dewata. Baginya Bali sangat indah alamnya, tapi tidak untuk dunia malamnya pantai Kuta.
Memang apa yang dikatakan oleh Tom itu ada benarnya. Bali selain sebagai kota wisata alam, Bali juga merupakan kota wisata budaya. Ada banyak tawaran hiburan budaya di Bali. Tarian, opera tentang cerita rakyat, dan lain sebagainya merupakan tawaran hiburan di Bali.
Memang Kuta hanyalah sebagian kecil dari Bali. Akan tetapi, Kuta sangat jauh berbeda dengan Bali pada umumnya. Apabila Anda bermain ke Kuta pada malam hari sangatlah mencengangkan. Dunia malam Kuta adalah Eropa mini. Mungkin benar kalau sebagian orang mengatakan kalau Kuta bukan Bali. Pesta pora dan berjualan mnuman keras menjadi legal di Kuta. Berciuman bibir di depan umum menjadi hal yang sangat lumrah di sana. Bukan  hanya itu saja, tawar menawar layaknya di tempat lokalisasi menjadi hal yang sangat biasa.
Lalu, dimanakah sisi budaya yang ditawarkan oleh Bali pada malam hari di Kuta? Tidak adakah hiburan lain yang bisa ditawarkan oleh Bali pada malam hari di Kuta? Dimanakah suara para pemangku adat di Bali? Dimanakah Pemerintah Bali yang seharusnya menjaga budaya dengan berbagai peraturan hukumnya? Apakah malam dapat menjadi alasan ketidaktahuan mereka?
Ini sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak ada alasan untuk tidak tahu soal keadaan malam di Kuta. Malam di kutapun tidak dapat menahan teriak isak tangis budaya Bali.
Mungkin tom adalah salah seorang anomaly dari banyak turis yang berkunjung ke Kuta Bali. Dia tidak merokok dan meminum minuman keras. Dia tidak senang dengan budaya pesta pora. Ada banyak kesibukan Tom di negaranya Napoleon Bonaparte. Hal itulah yang membuat dia tidak terlalu senang dengan Dunia malam di Pantai Kuta.
Belum selesai Tom bercerita, kami sudah dikagetkan oleh orang-orang yang berebut tempat di kapal. Desak-desakan mencari tempat merupakan hal  yang biasa. Suasana di kapal bak Malioboro di malam tahun baru. Ada banyak sekali orang di kapal, bahkan untuk bergerak saja sudah sagat susah. Kamar tidur penumpang juga sudah penuh dengan penumpang sejak di Mataram. Saya memang dari pertama memilih untuk tidak berada di kamar tidur penumpang. Saya berada di sisi  kanan kapal, dua meter dari tepi kapal deg VII. Beberapa kursi yang tadinya kosong kini hampir tak kelihatan lagi karena ditutupi  oleh badan-badan manusia.
Tak terasa baju yang saya pakai sudah bercucuran keringat. Basak kuyup bak orang kuhujanan. Cuaca begitu panas. “Wah panas…, ada dua Matahari di sini kah?” Demikian celetuk salah saorang pria berambut ikal yang berdiri beberapa centi di depan saya duduk.
Saya bukan tipe orang yang betak dengan keramaian. Saya juga bukan  orang yang sangat betah dengan desak-desakan, himpit-himpitan, apalagi cuaca begitu panas. Saya perlahan mulai berdiri, menyelipkan bada saya di anatara orang-orang yang bedasakan dan samapailah saya tepat berada di tepi kapal. Mungkin ini sedikit lebih nyaman dari posisi saya semula. Sedikit susah dan tak dapat dilakukan oleh orang berbadan besar seperti Tom. Maklum badan saya kecil. Walau jarak hanya dua meter dari keberadaan Tom, namun dia hampir tak kelihatan dari pandangan saya.
Walau panas, namun saya begitu tercengang melihat pemandangan di sekitar. Membuang  pandangan ke atas, saya melihat barisan mega putih yang dilapisi awan hitam yang tipis. Membuang pandangan jauh ke depan, ada hamparan bukit gundul yang menjemukan mata. Membuang pandangan ke samping kiri, anak bayi menangis di gendongan seorang ibu yang terjebak kerumunan. Membuang pandangan ke kanan, seorang pak tua sedang memandang ke bawah sembari menghembuskan asap rokoknya.
Mengalihkan  pandangan sedikit kea rah bawah, aku melihat barisan manusia yang tak rapih. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sedang mengantar sanak keluarga yang mengantar para penumpang. Mengalihkan lagi pandangan ke bawah, kira-kra 30cm dari jari kaki, saya melihat desak-desakan para penumpang yang naik. Barisan manusia yang naik ke Tilong Kabila tak serapih semut yang berjalan. Mungkin lebih tepatnya semut yang lagi berebut makanan, sangat tak beraturan.
Panasnya mentari terus menyengat kulit. Walau panas, tapi saya tak berharap turunnya hujan. Wajar saja, saya berada di luar, tak ada atapnya. Bukan hanya saya, tapi ada banyak orang, apalagi banyak anak balita.
Tak terasa sudah hampir dua jam kami berada di dermaga. Bel peringatan sudah berbunyi dua kali. Itu tanda peringatan dari awal kapal bagi para pedagang dan keluarga yang mengantar penumpang sampai ke dalam kapal.
Isak tangis berderai bak hujan. Wajah-wajah murung anak-anak manusia seakan tak menginginkan terjadi sebuah  perpisahan. Peluk hangat menjadi pemandangan di sela isak tangis. Bahkan beberapa di antara mereka yang tak dapat menahan isaknya.
Aku melihat rasa kekeluargaan yang sangat besar di sini. Isak tangis menandakan bahwa kekeluargaan sangat mahal harganya. Bahkan tak dapat dibeli dengan uang.
Bel panjang pun berbunyi. Kapal perlahan mulai melepaskan diri dari bermaga. Lambaian tangan dan isak tangis mengiringi kapal yang mulai berlayar. Pemandangan yang sangat indah. Semua  tangan melambai, tak hanya dari mereka yang ditinggalkan saja, tapi juga dari mereka yang meningkalkan sanak familinya. Mungkin tak puas dengan melambaikan tangan, beberapa orang berteriak memanggil nama sanak family yang hendak pergi meninggalkan mereka. Bahkan, ada beberapa dari mereka yang berlari kecil mengikuti arah kapal berlayar.
 Sekejap saya terhanyut dalam lamunan. Masih teringat jelas dalam benak kita isu penculikan yang terjadi di Mataram. Isu itu beredar cepat lewat sms. Hal itulah yang menimbulkan banyak keresahan bagi masyarakat di mataram. Akibatnya, lima orang tak bersalah pun jadi korban amukan masa. Mereka disangkan  penculik. Salah satu dari kelima orang itu adalah orang Bima. Dia dihakii massa sampai tewas karena disanggak penculik.
Kematiannya membawa masalah baru yaitu potensi perang saudara. Beberapa orang memprofokasi masyarakat Bima dengan label kekeluargaan. Label itulah yang seketika menyulut emosi masyarakat di Bima. Semua warga mataram yang berada di bima menjadi resah. Untungnya masalah itu dapat diatasi, perang saudara tidak terjadi.
Saya mendapati tangan saya yang lagi melambai, entah untuk siapa. Mungkin untuk mahalnya sebuah rasa kekeluargaan. Namun kitika saya sadar, saya dengan cepat menurunkan lagi tangan saya yang sementara melambai.
Salam perpisahan ini datang dari Bima. Salam perpisahan yang menanti sebuah pertemuan kembali. Salam perpisahan yang bebas dari intrik politik. Salam dari mereka yang menghargai pentingnya sebuah keluarga. Salam dari Bima untuk Indonesia
Comments
2 Comments

2 komentar:

Unknown mengatakan...

pelayaran di bulan november

Unknown mengatakan...

Eda angi wali