Label

Selasa, 27 Desember 2011

Tamu adalah Raja


Oleh: Richi Richardus P. Anyan
“Waktu itu kami berbicara seperti orang tunawicara yang hanya menggunakan bahasa isyarat.” Demikian kenang Sujati sambil menggerakan tangannya seakan-akan menghidupkan kembali kejadian di masa itu.

Boyong, 12 April 2010, Sujati Jatrahmad bekerja di Musem Merapi  jalan Kali Boyong, Dusun Banteng, Desa Hargobinangun, Kab. Sleman, D.I.Y sebagai seorang satpam. Awalnya ada lowongan pekerjaan yang ditawarkan ke masyarakat Desa Hargoinangun. Kesempatan ini tidak disisa-siakan oleh Sujati.
“Aku ini pegawai kontrak BPPTK (Balai penyelidakan dan pengembangan Teknologi Kegunungapian) yang eralamat di jalan cendana No. 15, tepatnya di selatannya madala Krida,” katanya dengan mengucapkan secara lengkap alamat kantor BPPTK , “aku sudah bekerja di sini duatahun, jalan tiga tahun”.
Sebelum bekerja di sini, pria berpotongan rambut rata sisir tersebut dulunya adalah seorag pemandu para wisatawan asing. Penghsilan yang ia dapat dari kerjaannya itu tidak menentu. “Kalau bulan April sampai Juni biasanya penghasilan bisa bertambah banyak karena musim liburan bagi wisatawan asing”, demikian tuturnya.
Selama tiga tahun pria ini bekerja sebagai seorang pemandu wisata, dia diminta salah seorang saudaranya untuk membantu di percetakan sebagai seorang desiner. “Aku belajar desin sudah sejak kelas II SMA. Waktu itu aku minta kakaku untuk mengajarinya,” pintanya.
Masalah penghasilan, tidak terlalu beda jauh dari penghasilan sebelumnya. Gaji yang ia dapat tidak menentu, dihitung sesuai besarnya pesanan.
Pada pertengahan tahun 2008, di balai Desa Hargobinangun ada sebuah pengumuman tentang lowongan kerja. Waktu itu, semua pemuda desa dikumpulkan, lalu kepala desa menyampaikan pengumuman tersebut.
Sewaktu kabar tersebut sampai ke telinga Sujati, ia langsung membuat surat lamaran kerja. Setelah lamarannya diterima, dia harus mengikuti beberapa tes lainnya.
Ketika tahu dia diterima sebagai satpam di Museum Merapi, air mata jatuh tak terasa telah membasahi pipi. Mengapa tidak? Pria lulusan D3 perhotelan ini merasa bahwa dengan sebuah pekerjaan yang berpenghasilan tetap, ia dapat menyisihkan sebagian untuk tabungan masa depannya. Semenjak itu dinamika sebagai seorang satpan di Museum Merapi pun mulai berjalan.
“Saat keja pertama kali sangat membosankan. Kami hanya disuruh datang menjaga museum ini secara begantian tanpa masuk kedalamnya karena museum ini belum diresmikan. Kami tidak diberi fasilitas apapun,” demikian kisah pria 30 tahun ini dengan mencoba meraba kembali ingatannya ketika pertama klai bekerja di Museum Merapi tersebut. “Namun sekarang lumayan enak, kami diberikan jaket, makanan, minuman dan lain sebagainya saat jaga malam,” lanjutnya.
Saat membosankan lainnya adalah ketika tidak ada pengunjung. Saat-saat seperti itu, mereka harus duduk dan berperang dengan sebuah rutinitas satpam yaitu setiap dua jam sekali harus pratoli mengelilingi bagunan museum tersebut sekedar memastikan keadaan aman.
Satu hal yang menarik dalam struktur kesatpaman yaitu tidak adanya kepala satpam. Setiap satpam di sini bisa berperan sebagai kepala satpam. Tidak ada istilah kepala satpam di sini selain satpam satu. Satpam yang betugas sebagai satpam I adalah satpam yang menjaga paling awal pada hari itu. “…karena itu setiap orang bisa saja menjadi satpam satu kalau dia mendapat jadwal jaga lebih awal dari pada yang lainnya,” tutur pria berkumis tipis ini sambil memperbaiki lengan bajunya.
Ada sebuah cerita lucu selama Sujati menjadi seorang satpam. Waktu itu mereka kedatagan pengunjung dari Prancis. Setiap petugas yang ada di sini diminta bantuan untuk melayani tamu atau sebagai pengarah apabila ada pertanyaan dari para pengunjung. Sujati mendapat tugas untuk melayani seorang yang tidak terlalu fasih berbahsa inggris sedangkan Sujati pun tidak terlalu bisa berbahasa Inggris. Karena komunikasi dengan menggunakan bahasa verbal kurang berjalan dengan baik makanya mereka hanya menggunakan bahasa isyarat.
“Aku hanya bisa sedikit bisa berbahasa Inggris sedangkan pengunjung itu hanya paham bahasa Prancis Karena memang dia orang Prancis dan hanya sedikit bisa berbahasa Inggris. Waktu itu kami berbicara seperti orang tunawicara yang hanya menggunakan bahasa isyarat.” Demikian kenang Sujati sambil menggerakan tangannya seakan-akan menghidupkan kembali kejadian di masa itu.
Menjadi seorang satpam di Museum merapi ini tidaklah mudah. Dia dituntut tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pengaman keadaan saja, tapi juga dituntut untuk bisa melayani setiap tamu yang datang. 
Terkadang ada tamu yang menyenangkan, ada pula yang sering marah-marah apabila pelayanan petugas di Museum merapi tidak memuaskan. Namun bagi mereka itu adalah sebuah pelajaran bagaimana mereka mengenal karakter orang yang berbeda-beda. “Kami selalu menggunakan prinsip tamu adalah raja,” tuturnya sambil menyalakan sebatang rokok.

Reportase Bersama: Yohanes Bali Ate
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: