Oleh: Richi Richardus P. Anyan
“Waktu itu kami berbicara seperti orang tunawicara
yang hanya menggunakan bahasa isyarat.”
Demikian kenang Sujati sambil menggerakan tangannya seakan-akan menghidupkan
kembali kejadian di masa itu.
Boyong, 12 April 2010, Sujati Jatrahmad bekerja di
Musem Merapi jalan Kali Boyong, Dusun Banteng, Desa Hargobinangun, Kab.
Sleman, D.I.Y sebagai seorang satpam. Awalnya ada lowongan pekerjaan yang
ditawarkan ke masyarakat Desa Hargoinangun. Kesempatan ini tidak disisa-siakan
oleh Sujati.
“Aku ini pegawai kontrak BPPTK (Balai penyelidakan
dan pengembangan Teknologi Kegunungapian) yang eralamat di jalan cendana No.
15, tepatnya di selatannya madala Krida,” katanya dengan mengucapkan secara
lengkap alamat kantor BPPTK , “aku sudah bekerja di sini duatahun, jalan tiga
tahun”.
Sebelum bekerja di sini, pria berpotongan rambut
rata sisir tersebut dulunya adalah seorag pemandu para wisatawan asing.
Penghsilan yang ia dapat dari kerjaannya itu tidak menentu. “Kalau bulan April
sampai Juni biasanya penghasilan bisa bertambah banyak karena musim liburan
bagi wisatawan asing”, demikian tuturnya.
Selama tiga tahun pria ini bekerja sebagai seorang
pemandu wisata, dia diminta salah seorang saudaranya untuk membantu di
percetakan sebagai seorang desiner. “Aku belajar desin sudah sejak kelas
II SMA. Waktu itu aku minta kakaku untuk mengajarinya,” pintanya.
Masalah penghasilan, tidak terlalu beda jauh dari
penghasilan sebelumnya. Gaji yang ia dapat tidak menentu, dihitung sesuai
besarnya pesanan.
Pada pertengahan tahun 2008, di balai Desa
Hargobinangun ada sebuah pengumuman tentang lowongan kerja. Waktu itu, semua
pemuda desa dikumpulkan, lalu kepala desa menyampaikan pengumuman tersebut.
Sewaktu kabar tersebut sampai ke telinga Sujati, ia
langsung membuat surat lamaran kerja. Setelah lamarannya diterima, dia harus
mengikuti beberapa tes lainnya.
Ketika tahu dia diterima sebagai satpam di Museum
Merapi, air mata jatuh tak terasa telah membasahi pipi. Mengapa tidak? Pria
lulusan D3 perhotelan ini merasa bahwa dengan sebuah pekerjaan yang
berpenghasilan tetap, ia dapat menyisihkan sebagian untuk tabungan masa
depannya. Semenjak itu dinamika sebagai seorang satpan di Museum Merapi pun
mulai berjalan.
“Saat keja pertama kali sangat membosankan. Kami
hanya disuruh datang menjaga museum ini secara begantian tanpa masuk kedalamnya
karena museum ini belum diresmikan. Kami tidak diberi fasilitas apapun,”
demikian kisah pria 30 tahun ini dengan mencoba meraba kembali ingatannya
ketika pertama klai bekerja di Museum Merapi tersebut. “Namun sekarang lumayan
enak, kami diberikan jaket, makanan, minuman dan lain sebagainya saat jaga malam,”
lanjutnya.
Saat membosankan lainnya adalah ketika tidak ada
pengunjung. Saat-saat seperti itu, mereka harus duduk dan berperang dengan
sebuah rutinitas satpam yaitu setiap dua jam sekali harus pratoli mengelilingi
bagunan museum tersebut sekedar memastikan keadaan aman.
Satu hal yang menarik dalam struktur kesatpaman
yaitu tidak adanya kepala satpam. Setiap satpam di sini bisa berperan sebagai
kepala satpam. Tidak ada istilah kepala satpam di sini selain satpam satu.
Satpam yang betugas sebagai satpam I adalah satpam yang menjaga paling awal
pada hari itu. “…karena itu setiap orang bisa saja menjadi satpam satu kalau
dia mendapat jadwal jaga lebih awal dari pada yang lainnya,” tutur pria
berkumis tipis ini sambil memperbaiki lengan bajunya.
Ada sebuah cerita lucu selama Sujati menjadi seorang
satpam. Waktu itu mereka kedatagan pengunjung dari Prancis. Setiap petugas yang
ada di sini diminta bantuan untuk melayani tamu atau sebagai pengarah apabila
ada pertanyaan dari para pengunjung. Sujati mendapat tugas untuk melayani
seorang yang tidak terlalu fasih berbahsa inggris sedangkan Sujati pun tidak
terlalu bisa berbahasa Inggris. Karena komunikasi dengan menggunakan bahasa
verbal kurang berjalan dengan baik makanya mereka hanya menggunakan bahasa
isyarat.
“Aku hanya bisa sedikit bisa berbahasa Inggris
sedangkan pengunjung itu hanya paham bahasa Prancis Karena memang dia orang
Prancis dan hanya sedikit bisa berbahasa Inggris. Waktu itu kami berbicara
seperti orang tunawicara yang hanya menggunakan bahasa isyarat.” Demikian
kenang Sujati sambil menggerakan tangannya seakan-akan menghidupkan kembali
kejadian di masa itu.
Menjadi seorang satpam di Museum merapi ini tidaklah
mudah. Dia dituntut tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pengaman keadaan
saja, tapi juga dituntut untuk bisa melayani setiap tamu yang datang.
Terkadang ada tamu yang menyenangkan, ada pula yang
sering marah-marah apabila pelayanan petugas di Museum merapi tidak memuaskan.
Namun bagi mereka itu adalah sebuah pelajaran bagaimana mereka mengenal
karakter orang yang berbeda-beda. “Kami selalu menggunakan prinsip tamu adalah
raja,” tuturnya sambil menyalakan sebatang rokok.
Reportase Bersama: Yohanes Bali Ate