(sebuah kisah romantisme LPM natas)
Oleh: Richi Richardus P. Anyan
“Keresahan datang saat kedukaan menyelimuti diriku, mengiris
batinku, menempatkan aku pada suatu sudut kelupaan. Tidak hanya hari itu,
hampir setiap hari aku harus duduk menyendiri, merenungi masa yang tak kunjung
sadar”.
Ini kisahku dan beberapa orang teman
yang merasa kehilangan akan suatu masa, masa yang penuh dengan keindahan, masa
yang penuh dengan canda-tawa di sela diskusi akan suatu fenomena, walau kadang
kami harus menapik suatu kemunafikan. Kerinduan akan masa dulu, masa yang
hampir menjatidirikan kami, membuat kami bungkam dan diam tampa kata ketika
masa itu berubah terbalik diluar yang kami duga.
***
Ketika semua rutinitas behenti
sesaat, sewaktu dunia diam sejenak dari keramaian, kala bumi dicat hitam, aku
duduk diam seorang diri, merenungi semua yang telah lewat. Teringat akan
beberapa orang teman yang mulai berubah sikap tampa ada penyebab yang pasti,
datang dengan muka kecut lalu pergi lagi. Ada juga yang tertawa terbahak-bahak
tampat mengindahkan orang lain. Aku mencoba menganggap semua ini sebagai
lelucon dunia yang penuh misteri tampa mau tahu apa penyebabnya. Namun rasa it
terus mengganjal di hati. Rasa itu berawal dari momentum-momentum yang aku
alami, yang aku lihat, dan yang aku rasakan.
Tersenyum kecut penuh sini di sudut
kamar, aku mencoba melupakan masalah-masalah itu. Aku sadarkan diri dari
permenunganku, mencoba apatis dengan semua yang telah terjadi. Sedikit
merangkak merai bantal, memposisikan diri di sebuah spon tipis, mencoba
membuang semua yang terjadi bersama mimpi burukku. Aku mulai memjamkan mata,
mencoba membiarkan diri terbuai alam mimpi bersama lelapnya bumi dalam
kesunyian.
Akan tetapi, keresahan makin
menjadi-jadi saat mata dipejamkan. Bayangan akan momentum-memontum yang telah
terjadi membuat aku kembali duduk, mengambil sebuah buku tulis dan pena, lalu
menuliskan semua kejadian-kejadian yang mengganjal di hati sepanjang hari yang
telah lewat.
Aku mulai merangkai lagi Satu per
satu kejadian yang telah berlalu, walau tidak semua kejadian aku tuliskan. Aku memilih
kejaian-kejadian penting yang sekiranya membuat aku resah. Mungkin dengan menulis,
aku bisa sedikit membuag beban yang ada dari dalam diri dan mengabadikannya dalam
sebuah catatan harian.
Tampa terasa hari pun mulai terang.
Banyak sudah yang kucatat malam tadi. Walau dengan mencatat ulang semua
kejadian yang sudah terjadi, namu aku belum merasa tenang. Keresahan it uterus
muncul, menilbulkan seribu Tanya, mengubah seribu cara untuk menyusun sebuah
strategi menuju suatu hari yang lebih baik dari yang sekarang. Namun kapan?
“Kapan” itu hanya bisa dijawab
dengan sebuah perubahan. Perubahan itu tidak ditunggu, tapi dibuat. Perubahan
itu sebaiknya tidak datang dari orang lain tapi dari diri kita sendiri karena
kalau menunggu dari orang lain, perubahan itu kemungkinannya akan sangat kecil
terwujud.
Ini hanyalah satu darni sekian
banyak hari yang aku lalui tampa tidur malam karena sebuah keresahan yang tak
tahu kapan aka berakhir. Hampir setiap hari aku terus terbalut sebuah keresahan
dan pengharapan akan sebuah perubahan.
***
Pada suatu ketika, di suartu sore,
aku berbincang dengan beberapa orang teman. Perbincangan kami terkait beberapa
keresahan terhadap suatu moment yang direncanakan.
Bermula dari seorang teman, sebut
saja namanya Petrus Kanisius Suka Sepi (Angkatan Ramto). Waktu itu aku sedang
dalam keadaan jenuh akan jaman di sebuah ruangan yang sesak akan sampah dan
kebisingan tawahan dari orang-orang yang betah akan keadaan ruangan seperti itu.
Tiba-tiba aku diajak keluar oleh yang namanya Petrus tampa tahu apa yang mau
dibahas. Aku diajak menuju sebuah anak tangga. Aku mengikuti tampa tahu apa
yang mau dibicarakan…
Aku duduk diam menunggu sesuatu dari
diri Petrus. Tak lama berselang dia pun mengungkapkan unek-unek yang mengganjal
di hatinya. Aku diam mendengarkan. Inti dari pembicaraan itu, Petrus merasa
sendirian dalam menjalankan tugasnya.
Sebenarnya sudah beberapa kali aku
melihat petrus kewalahan menjalankan tugasnya. Namun hal ini tidak pernah
disadari mereka yang sudah memilih dia menjabat di posisi itu. Mereka acap kali
memilih orang lain dan pergi dari tanggung jawab, lalu kembali dengan sejuta
sanggahan sekan merekalah yag paling tahu segalanya.
Ini bukan suatu omelan tak
beralasan, namun realita yang terjadi. Ada teman-teman yang mulai menghilang
dengan alasan banyak tugas dan kerjaan menumpuk. Namun sewaktu kembali mereka
berlaga layaknya seorang ahli yang mulai mengeritik dari A sampai Z, tapi tidak
turut mewujudkan kritikan yang katanya untuk suatu perubahan itu.
Sebenarnya kita belum membutuhkan
seorang ahli yang hanya bisa bicara tampa mau turut dalam perubahan itu.
Persetan dengan orang yang sok ahli
tapi tidak mau ikut dalam perubahan. Saat ini, kita lebih membutuhkan
orang-orang yang peka akan suatu permsalahan dan mau merubah semuanya itu.
Bukan hanya tu saja, masih ada
banyak lagi orang-orang yang apatis dengan suatu masalah dan menganggap kalau
ini bukan tugasya. Orang-orang seperti ini sering kali saling melempar tugas
dan tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Hal ini membuat aku merasa sangat
pesimis. Mungkin karena keresahan ku telah memuncak dan aku belum menemukan
solusi yang terbaik. Akhirnya aku memutuskan untuk mengadakan rapat evaluasi
dengan semua anggota.
***
Tibalah pada suatu, saat di suatu
sore, kala gerimis menaburi aktivitas lokal, kami memulai suatu rapat evaluasi
entah yang keberapa dalam tahun ini. Namun bagiku ini yang kedua dalam tahun
ini. Inilah evaluasi yang mengungkapkan tumpukan keresahan untuk melahirkan
suantu pembaharuan.
Bermula dari ungkapan
keresahan-keresahan dari orang-orang yang merasa sudah tidak betah dengan
situasi jaman yang mulai berubah. Keresahan-keresahan ini telah menumpuk yang
melahirkan suatu kejenuhan. Kejenuhan inilah yang melahirkan banyak sekali
konflik dalam diri orang-orang yang telah lama saling mengenal.
Aku bingung dalam kebisingan
pikiran orang-orang yang saat itu hadir.
Tidak ada pujian, walau sedikit gurauan, namun banyak menjatuhkan. Ini terjadi
berulang-ulang tampa ada yang mau mengakui kelebihan orang lain.
Pernakah dipikirkan apa yang sudah
dibuat orang lain untuk kebersamaan? Ingin rasanya aku tertawa mendengar ocehan
orang-orang munafik. Kalau diijinkan, aku akan tertawa sekuat mungkin seraya
air mata mengalir deras melihat kemunafikan manusia serakah yang ingin menang
sendiri.
Aku membiarkan semuanya itu dengan
tersenyum sinis seraya menunggu kesadaran masing-masing orang. Aku melihat ada
yang tertawa bahagia saat yang lain bersedih, tapi tidak untuk dirinya. Saat
dia mengalami kesusahan, dia menuntut toleransi dari banyak orang.
Beberapa jam telah berlalu dalam
sebuah penantian akan kerendahan hati dan kesadaran akan sebuah penghargaan. Akhirnya penantian itupun terhenti. Beberapa
orang mulai sadar akan sebuah keganjalan yang terjadi sejak awal. Ada yang
mulai berekflesi dengan membandingkan pada keseharian dulu dan sekarang.
Keseharian dulu yang penuh dengan
dunia diskusi akan kejamnya dunia dirasa kini telah hilang. Omelan dan caci
maki akan ketidakadilan yang dulu sudah mulai luntur. Keseharian dulu, kini
tinggalah puing-puing yang coba dibangun kembali dengan model dan disain yang
berbeda. Namun itulah sumber ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan ini membuat orang
merasa asing di rumahnya sendiri.b Aku yang sempat pisimis pada suatu waktu
akan suatu masa, kini mulau tahu apa penyebab dari semua kejenuhan itu.
Suasana penuh dengan haru dan air
mata saat itu. Air mata yang keluar saat itu merupakan ungkapan kegelisahan
atas semua keresahan yang selama ini mengendap dalam diri sendiri. Namun saat
itu kami sadar bahwa air mata itu bukan solusi dari semua masalah. Solusi dari
semua keresahan adalah tindakan individu-individu di kemudian hari untuk
membangun kebersamaan dan kekeluargaan dengan cara dan masa kami sendiri.
***
Ini bukan soal siapa yang benar dan
siapa yang salah. Ini bukan soal gengsi. Ini bukan soal siap berhak menuntut
siapa? Ini soal bagaimana kita merefleksikan kembali diri kita masin-masing
untuk sebuah kebersamaan dan kekeluargaan. Ini soal bagaimana kita berpikir
secara dewasa dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah masalah.