Label

Selasa, 27 Desember 2011

Kala Ngeban dan Ramto Mulai Resah…


(sebuah kisah romantisme LPM natas)
Oleh: Richi Richardus P. Anyan
“Keresahan datang saat kedukaan menyelimuti diriku, mengiris batinku, menempatkan aku pada suatu sudut kelupaan. Tidak hanya hari itu, hampir setiap hari aku harus duduk menyendiri, merenungi masa yang tak kunjung sadar”.

Ini kisahku dan beberapa orang teman yang merasa kehilangan akan suatu masa, masa yang penuh dengan keindahan, masa yang penuh dengan canda-tawa di sela diskusi akan suatu fenomena, walau kadang kami harus menapik suatu kemunafikan. Kerinduan akan masa dulu, masa yang hampir menjatidirikan kami, membuat kami bungkam dan diam tampa kata ketika masa itu berubah terbalik diluar yang kami duga.
***
Ketika semua rutinitas behenti sesaat, sewaktu dunia diam sejenak dari keramaian, kala bumi dicat hitam, aku duduk diam seorang diri, merenungi semua yang telah lewat. Teringat akan beberapa orang teman yang mulai berubah sikap tampa ada penyebab yang pasti, datang dengan muka kecut lalu pergi lagi. Ada juga yang tertawa terbahak-bahak tampat mengindahkan orang lain. Aku mencoba menganggap semua ini sebagai lelucon dunia yang penuh misteri tampa mau tahu apa penyebabnya. Namun rasa it terus mengganjal di hati. Rasa itu berawal dari momentum-momentum yang aku alami, yang aku lihat, dan yang aku rasakan.
Tersenyum kecut penuh sini di sudut kamar, aku mencoba melupakan masalah-masalah itu. Aku sadarkan diri dari permenunganku, mencoba apatis dengan semua yang telah terjadi. Sedikit merangkak merai bantal, memposisikan diri di sebuah spon tipis, mencoba membuang semua yang terjadi bersama mimpi burukku. Aku mulai memjamkan mata, mencoba membiarkan diri terbuai alam mimpi bersama lelapnya bumi dalam kesunyian.
Akan tetapi, keresahan makin menjadi-jadi saat mata dipejamkan. Bayangan akan momentum-memontum yang telah terjadi membuat aku kembali duduk, mengambil sebuah buku tulis dan pena, lalu menuliskan semua kejadian-kejadian yang mengganjal di hati sepanjang hari yang telah lewat.
Aku mulai merangkai lagi Satu per satu kejadian yang telah berlalu, walau tidak semua kejadian aku tuliskan. Aku memilih kejaian-kejadian penting yang sekiranya membuat aku resah. Mungkin dengan menulis, aku bisa sedikit membuag beban yang ada dari dalam diri dan mengabadikannya dalam sebuah catatan harian.
Tampa terasa hari pun mulai terang. Banyak sudah yang kucatat malam tadi. Walau dengan mencatat ulang semua kejadian yang sudah terjadi, namu aku belum merasa tenang. Keresahan it uterus muncul, menilbulkan seribu Tanya, mengubah seribu cara untuk menyusun sebuah strategi menuju suatu hari yang lebih baik dari yang sekarang.  Namun kapan?
“Kapan” itu hanya bisa dijawab dengan sebuah perubahan. Perubahan itu tidak ditunggu, tapi dibuat. Perubahan itu sebaiknya tidak datang dari orang lain tapi dari diri kita sendiri karena kalau menunggu dari orang lain, perubahan itu kemungkinannya akan sangat kecil terwujud.
Ini hanyalah satu darni sekian banyak hari yang aku lalui tampa tidur malam karena sebuah keresahan yang tak tahu kapan aka berakhir. Hampir setiap hari aku terus terbalut sebuah keresahan dan pengharapan akan sebuah perubahan.
***
Pada suatu ketika, di suartu sore, aku berbincang dengan beberapa orang teman. Perbincangan kami terkait beberapa keresahan terhadap suatu moment yang direncanakan.
Bermula dari seorang teman, sebut saja namanya Petrus Kanisius Suka Sepi (Angkatan Ramto). Waktu itu aku sedang dalam keadaan jenuh akan jaman di sebuah ruangan yang sesak akan sampah dan kebisingan tawahan dari orang-orang yang betah akan keadaan ruangan seperti itu. Tiba-tiba aku diajak keluar oleh yang namanya Petrus tampa tahu apa yang mau dibahas. Aku diajak menuju sebuah anak tangga. Aku mengikuti tampa tahu apa yang mau dibicarakan…
Aku duduk diam menunggu sesuatu dari diri Petrus. Tak lama berselang dia pun mengungkapkan unek-unek yang mengganjal di hatinya. Aku diam mendengarkan. Inti dari pembicaraan itu, Petrus merasa sendirian dalam menjalankan tugasnya.
Sebenarnya sudah beberapa kali aku melihat petrus kewalahan menjalankan tugasnya. Namun hal ini tidak pernah disadari mereka yang sudah memilih dia menjabat di posisi itu. Mereka acap kali memilih orang lain dan pergi dari tanggung jawab, lalu kembali dengan sejuta sanggahan sekan merekalah yag paling tahu segalanya.
Ini bukan suatu omelan tak beralasan, namun realita yang terjadi. Ada teman-teman yang mulai menghilang dengan alasan banyak tugas dan kerjaan menumpuk. Namun sewaktu kembali mereka berlaga layaknya seorang ahli yang mulai mengeritik dari A sampai Z, tapi tidak turut mewujudkan kritikan yang katanya untuk suatu perubahan itu.
Sebenarnya kita belum membutuhkan seorang ahli yang hanya bisa bicara tampa mau turut dalam perubahan itu. Persetan dengan orang yang sok ahli tapi tidak mau ikut dalam perubahan. Saat ini, kita lebih membutuhkan orang-orang yang peka akan suatu permsalahan dan mau merubah semuanya itu.
Bukan hanya tu saja, masih ada banyak lagi orang-orang yang apatis dengan suatu masalah dan menganggap kalau ini bukan tugasya. Orang-orang seperti ini sering kali saling melempar tugas dan tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Hal ini membuat aku merasa sangat pesimis. Mungkin karena keresahan ku telah memuncak dan aku belum menemukan solusi yang terbaik. Akhirnya aku memutuskan untuk mengadakan rapat evaluasi dengan semua anggota.
***
Tibalah pada suatu, saat di suatu sore, kala gerimis menaburi aktivitas lokal, kami memulai suatu rapat evaluasi entah yang keberapa dalam tahun ini. Namun bagiku ini yang kedua dalam tahun ini. Inilah evaluasi yang mengungkapkan tumpukan keresahan untuk melahirkan suantu pembaharuan.
Bermula dari ungkapan keresahan-keresahan dari orang-orang yang merasa sudah tidak betah dengan situasi jaman yang mulai berubah. Keresahan-keresahan ini telah menumpuk yang melahirkan suatu kejenuhan. Kejenuhan inilah yang melahirkan banyak sekali konflik dalam diri orang-orang yang telah lama saling mengenal.
Aku bingung dalam kebisingan pikiran  orang-orang yang saat itu hadir. Tidak ada pujian, walau sedikit gurauan, namun banyak menjatuhkan. Ini terjadi berulang-ulang tampa ada yang mau mengakui kelebihan orang lain.
Pernakah dipikirkan apa yang sudah dibuat orang lain untuk kebersamaan? Ingin rasanya aku tertawa mendengar ocehan orang-orang munafik. Kalau diijinkan, aku akan tertawa sekuat mungkin seraya air mata mengalir deras melihat kemunafikan manusia serakah yang ingin menang sendiri.
Aku membiarkan semuanya itu dengan tersenyum sinis seraya menunggu kesadaran masing-masing orang. Aku melihat ada yang tertawa bahagia saat yang lain bersedih, tapi tidak untuk dirinya. Saat dia mengalami kesusahan, dia menuntut toleransi dari banyak orang.
Beberapa jam telah berlalu dalam sebuah penantian akan kerendahan hati dan kesadaran akan sebuah penghargaan.  Akhirnya penantian itupun terhenti. Beberapa orang mulai sadar akan sebuah keganjalan yang terjadi sejak awal. Ada yang mulai berekflesi dengan membandingkan pada keseharian dulu dan sekarang.
Keseharian dulu yang penuh dengan dunia diskusi akan kejamnya dunia dirasa kini telah hilang. Omelan dan caci maki akan ketidakadilan yang dulu sudah mulai luntur. Keseharian dulu, kini tinggalah puing-puing yang coba dibangun kembali dengan model dan disain yang berbeda. Namun itulah sumber ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan ini membuat orang merasa asing di rumahnya sendiri.b Aku yang sempat pisimis pada suatu waktu akan suatu masa, kini mulau tahu apa penyebab dari semua kejenuhan itu.
Suasana penuh dengan haru dan air mata saat itu. Air mata yang keluar saat itu merupakan ungkapan kegelisahan atas semua keresahan yang selama ini mengendap dalam diri sendiri. Namun saat itu kami sadar bahwa air mata itu bukan solusi dari semua masalah. Solusi dari semua keresahan adalah tindakan individu-individu di kemudian hari untuk membangun kebersamaan dan kekeluargaan dengan cara dan masa kami sendiri.
***
Ini bukan soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini bukan soal gengsi. Ini bukan soal siap berhak menuntut siapa? Ini soal bagaimana kita merefleksikan kembali diri kita masin-masing untuk sebuah kebersamaan dan kekeluargaan. Ini soal bagaimana kita berpikir secara dewasa dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah masalah.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: