Label

Kamis, 05 April 2012

Kaum Apatis Akut

Oleh: Richi Anyan
 “Kalau kita akan memuliakan bangsa dan nusa, baiklah kita menyempurnakan terlebih dahulu mereka yang tertindas itu. Sebelum mereka hidup sempurna, belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai: Anak Indonesia!” Bung Tomo.

Kata-kata Bung Tomo diatas bagi saya merupakan hal yang sangat menarik dibahas tidak akan pernah selesai ditataran teori saja. Kata-kata Bung Tomo itu akan tetap hidup dan menarik untuk dibahas sampai kapanpun selama masih ada penindasan, selama masih ada penjajah, baik itu penjajah asing maupun penjajah dari bangsa sendiri,. tapi menuntut orang untuk bertindak. Bertindak dalam hal ini adalah bagaimana kita benar-benar berbuat sesuatu untuk kepentingan dan kesejahtraan banyak orang. Saat itulah baru kita bisa disebut Anak Indonesia menurut Bung Tomo.

Isu naiknya harga BBM akhir-akhir ini membuat banyak elemen masyarakat menjadi gerah mendengarnya. Tak heran jika isu itu akhirnya menghadirkan banyak aksi demonstrasi di mana-mana, mulai dari aksi damai, blokir jalan, samapai pada aksi pengrusakan fasilitas umum. Bahkan sadisnya, aksi-aksi itu pun akhirnya melahirkan beberapa martir baru sebagai korban kekerasan terhadap para demonstran oleh aparat.

Pertanyaannya, apakah demonstrasi itu benar-benar murni ingin menyuarakan suara masyarakat atau hanya sekedar “ikut rame” (mungkin bahasa kerennya psikologi masa)? Pertanyaan yang sangat menarik bagi saya ketika diminta membuat tulisan ini. Mungkin perlulah pertama kita membahas soal orang-orang yang benar-benar ingin menyuarakan suara rakyat setelah itu baru kita membahas soal psikologi masa. 

Pasca Orde Baru, mahasiswa tidak hanya ketar-ketir dalam membenahi organisasinya karena kehilangan musuh bersama saja, tapi juga wacana kritis pun makin menghilang dari kalangan mahasiswa. Ada banyak alasan samapai wacana kritis inimenghilang, seperti sistem pendidikan yang sudah membtasi masa studi, tuntutan perkuliahan dengan beban tugas yang begitu banyak tiap minggunya, biaya kuliah yang mahal, sampai tekanan-tekan sosial yang menuntut mahasiswa itu sendiri. Hal ini mempengaruhi budaya kritis mahasiswa. Tidak mengherankan kalau mahasiswa sekarang sangat apatis karena memang sistem itu sendiri yang menekannya walaupun sistem itu bisa dilawan tergantung niat dan kemauan masing-masing orang untuk melawan.

Bukan hanya mahasiswa saja, hampir semua elemen masyarakat mengalaminya. Misalnya penjual sayur. Naiknya harga BBM sangat berpengaruh pada para penjual sayur. Misalnya naiknya tarif angkot akan berpengaruh pada naiknya harga sayuran di pasar. Bagaimana tidak? Selain biaya produksi untuk menghasilkan sayur, misalnya, bibit, pupuk, dan lain sebagainya, tarif angkot penjualan juga sngat berpengaruh pada mereka untuk menaikan harga jual sayur itu.

Dampak langsung ke mereka ini tidak membuat mereka harus turun ke jalan, mengapa? Jawabannya sederhana. Apabila mereka ikut turun ke jalan, lalu siap yang akan menjual sayur itu dan membiayai hidup keluarganya? Ada satu celotehan dari seorang penjual sayur di pasar demangan yang sangat menarik, begini tuturnya, “Untung ada mahasiswa yang mau turun ke jalan, kalau tidak siapa yang mau memperjuangkan nasib orang kecil?”.

Bagiku, ungkapan itu merupakan ungkapan terima kasih bagi para demonstran yang sudah mau memperjuangkan nasib mereka. Mungkin perlu dicatat bahwa mereka (Kaum Kelas Bawah) yang tidak turun ke jalan bukan berarti tidak kritis atau apatis dengan berbagai permasalahan yang sedang terjadi tapi karena tekanan sistemlah yang membuat mereka untuk tidak bisa turun ke jalan.

Akan tetapi, sangat berbeda dengan para mahasiswa yang tidak sempat turun ke jalan. Mahasiswa tidak hanya sebagai masyarakat kelas menengah saja, tapi juga sebagai Agen Perubahan haruslah kritis terhadap berbagai kebijakan yang menindas rakyat. Tidak ada kata tidak untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang ada. Apabila tidak maka mahasiswa itu bisa digolongkan ke dalam orang-orang apatis akut. Mungkin sedikit mengutip kata Bunda Teresa bahwa lawan dari cinta itu bukanlah benci tapi apatis!

Hal berbeda jika kita membahas soal psikologi masa, walau sling ada keterkaitan. Psikologi masa itu memang selalu terjadi saat terjadi suatu masalah di sekitar kita. Misalnya terkait demonstrasi naiknya harga BBM baru-baru ini. Banyak aksi terjai di berbagai daerah. Pertanyaannya apakah jogja hanya tinggal diam melihat situasi itu? 

Pada suatu malam, ketika sedang berkumpul dengan beberapa organ ekstra kampus, kita mendapat kabar kalau ada seorang teman di USU yang mati tertembak saat demonstrasi. Saat itu, secara muncul ide bersama untuk turun ke jalan sebagai bentuk aksi solidaritas. Seketika, semua teman yang lagi berkumpul saat itu langsung sepakat untun turun aksi ke jalan. Inilah salah satu bentuk psikologi masa yang terjadi baru-baru ini.
Mungkin ada hal yang penting untuk dibahas saat itu, terkait dengan aksi saat penolakan BBM saat itu. Menurutku berbagai aksi itu hanyalah salah satu celetupan-celetupan kejengkelan secara nasional terhadap berbagi kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Ada banyak sekali pelanggaran HAM dan penindasan yang sudah dirasakan oleh masyarakat kecil. Bahkan lebih parah lagi, penindasan yang dibuat secara sistematis itu membuat orang sampai tidak merasa lagi bahwa itu bukan sebuah penindasan.
Menarik untuk mengutip salah satu orasi pada saat aksi di Malioboro. Orasi itu, bagiku, bisa membangkitkan lagi kesadaranku akan berbagai permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Orasi itu bunyinya seperti ini:

Sudah lebih dari satu abad ketika Majapahit menyatukan seluruh Nusantara. Sudah lebih dari satu abad ketika Cut Nyak Din dan Teungku Umar berjuang mengusir penjajah asing, Sudah lebih dari satu abad ketika R.A Kartini memperjuangkan kaum pribumi. Hampir satu abad ketika Jendral Soedirman bergerilia mengusir penjajah Asing. Hampir satu abad ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamsikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kini arwah-arwah mereka hadir kembali dan menangisi para pemimpin-pemimpin bangsa saat ini yang hanya menjadi para penjajah di bangsanya sendiri.
Generasi-generasi penerus yang meminpin bangsa saat ini hanya menggunakan kedok menyuarakan suara rakyat untuk menindas rakyatnya sendiri. Mereka menggunakan sistem untuk menindas saudaranya sendiri. Dengan pencitraan, masyarakat dibuainya. Dengan media, masyarakat dobohonginya. Dengan pendidikan, masyarakt dibodohinya. Dengan menaikan harga BBM, rakyat diadu domba. Mereka tidak lebih dari aparatur-aparatuyr penjajah asing yang menjalankan tugasnya di Negri ini.
Mereka hanyalah pengecut yang bersembunyi dibalik ketiak-ketiak para kapitalis. Hanya kepentingan kapitalislah yang mereka suarakan, sampai amanat rakyat dilupakan oleh mereka. Hingga akhirnya merekapun lupa kalau mereka hanyalah anjing-anjing yang selalu berebut remah-remah makanan dari meja-meja makan para kapitalis.
Karena itu, marilah wahai saudaraku, mari kita bersatu memperjuangkan apa yang menjadi hak kita. Mari kita memperjuangkan apa yang menjadi milik rakyat dengan jalan revolusi. Revolusitidak dapat terjadi hanya dengan kita memasang poster Che Guavara dari ujung Sabang sampai ujung Merauke. Revolusi tidak dapat terjadi hanya dengan kita memasang seluruh poster para pahlawan bangsa dari ujung utara sampai ke ujung selatan bangsa ini. Revolusi tidak akan pernah terjadi hanya dengan menyanyikan lagi darah juang. Revolusi tidak akan pernah terjadi hanya dengan diam dan merenungi nasib. Revolusi hanya bisa terjadi hanya dengan menyatuhkan seluruh elemen masyarakat lalu menumbang rezim yang saat ini berkuasa dan menggatikan semua sistem pembodohan yang ada dengan sistem yang benar-benar dirasakan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena rakyat adalah tuan di tanahnya sendiri. Karena rakyat adalah tuan di negrinya sendiri.

Mungkin perlu diingat kembali tugas mahasiswa tidak hanya menjalankan kuliah tapi juga sebagai agen perubahan. Saya sendiri sangat tertarik jika masih ada tanggpan yang diberikan terkait tulisan ini baik melaui tulisan tandingan maupun melalui diskusi langsung.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: