Oleh: Richi Anyan
“Kalau kita akan memuliakan bangsa dan nusa,
baiklah kita menyempurnakan terlebih dahulu mereka yang tertindas itu. Sebelum
mereka hidup sempurna, belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai: Anak
Indonesia!” Bung Tomo.
Kata-kata Bung Tomo diatas bagi saya
merupakan hal yang sangat menarik dibahas tidak akan pernah selesai ditataran
teori saja. Kata-kata Bung Tomo itu akan tetap hidup dan menarik untuk dibahas
sampai kapanpun selama masih ada penindasan, selama masih ada penjajah, baik
itu penjajah asing maupun penjajah dari bangsa sendiri,. tapi menuntut orang
untuk bertindak. Bertindak dalam hal ini adalah bagaimana kita benar-benar
berbuat sesuatu untuk kepentingan dan kesejahtraan banyak orang. Saat itulah
baru kita bisa disebut Anak Indonesia menurut Bung Tomo.
Isu naiknya harga BBM akhir-akhir
ini membuat banyak elemen masyarakat menjadi gerah mendengarnya. Tak heran jika
isu itu akhirnya menghadirkan banyak aksi demonstrasi di mana-mana, mulai dari
aksi damai, blokir jalan, samapai pada aksi pengrusakan fasilitas umum. Bahkan
sadisnya, aksi-aksi itu pun akhirnya melahirkan beberapa martir baru sebagai
korban kekerasan terhadap para demonstran oleh aparat.
Pertanyaannya, apakah demonstrasi
itu benar-benar murni ingin menyuarakan suara masyarakat atau hanya sekedar “ikut
rame” (mungkin bahasa kerennya psikologi masa)? Pertanyaan yang sangat menarik
bagi saya ketika diminta membuat tulisan ini. Mungkin perlulah pertama kita
membahas soal orang-orang yang benar-benar ingin menyuarakan suara rakyat setelah
itu baru kita membahas soal psikologi masa.
Pasca Orde Baru, mahasiswa tidak
hanya ketar-ketir dalam membenahi organisasinya karena kehilangan musuh bersama
saja, tapi juga wacana kritis pun makin menghilang dari kalangan mahasiswa. Ada
banyak alasan samapai wacana kritis inimenghilang, seperti sistem pendidikan
yang sudah membtasi masa studi, tuntutan perkuliahan dengan beban tugas yang
begitu banyak tiap minggunya, biaya kuliah yang mahal, sampai tekanan-tekan
sosial yang menuntut mahasiswa itu sendiri. Hal ini mempengaruhi budaya kritis
mahasiswa. Tidak mengherankan kalau mahasiswa sekarang sangat apatis karena
memang sistem itu sendiri yang menekannya walaupun sistem itu bisa dilawan
tergantung niat dan kemauan masing-masing orang untuk melawan.
Bukan hanya mahasiswa saja,
hampir semua elemen masyarakat mengalaminya. Misalnya penjual sayur. Naiknya
harga BBM sangat berpengaruh pada para penjual sayur. Misalnya naiknya tarif
angkot akan berpengaruh pada naiknya harga sayuran di pasar. Bagaimana tidak? Selain
biaya produksi untuk menghasilkan sayur, misalnya, bibit, pupuk, dan lain
sebagainya, tarif angkot penjualan juga sngat berpengaruh pada mereka untuk
menaikan harga jual sayur itu.
Dampak langsung ke mereka ini
tidak membuat mereka harus turun ke jalan, mengapa? Jawabannya sederhana.
Apabila mereka ikut turun ke jalan, lalu siap yang akan menjual sayur itu dan
membiayai hidup keluarganya? Ada satu celotehan dari seorang penjual sayur di
pasar demangan yang sangat menarik, begini tuturnya, “Untung ada mahasiswa yang
mau turun ke jalan, kalau tidak siapa yang mau memperjuangkan nasib orang
kecil?”.
Bagiku, ungkapan itu merupakan
ungkapan terima kasih bagi para demonstran yang sudah mau memperjuangkan nasib
mereka. Mungkin perlu dicatat bahwa mereka (Kaum Kelas Bawah) yang tidak turun
ke jalan bukan berarti tidak kritis atau apatis dengan berbagai permasalahan
yang sedang terjadi tapi karena tekanan sistemlah yang membuat mereka untuk
tidak bisa turun ke jalan.
Akan tetapi, sangat berbeda
dengan para mahasiswa yang tidak sempat turun ke jalan. Mahasiswa tidak hanya
sebagai masyarakat kelas menengah saja, tapi juga sebagai Agen Perubahan
haruslah kritis terhadap berbagai kebijakan yang menindas rakyat. Tidak ada
kata tidak untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang ada. Apabila tidak maka
mahasiswa itu bisa digolongkan ke dalam orang-orang apatis akut. Mungkin sedikit mengutip kata Bunda Teresa bahwa lawan
dari cinta itu bukanlah benci tapi apatis!
Hal berbeda jika kita membahas
soal psikologi masa, walau sling ada keterkaitan. Psikologi masa itu memang
selalu terjadi saat terjadi suatu masalah di sekitar kita. Misalnya terkait
demonstrasi naiknya harga BBM baru-baru ini. Banyak aksi terjai di berbagai
daerah. Pertanyaannya apakah jogja hanya tinggal diam melihat situasi itu?
Pada suatu malam, ketika sedang
berkumpul dengan beberapa organ ekstra kampus, kita mendapat kabar kalau ada
seorang teman di USU yang mati tertembak saat demonstrasi. Saat itu, secara
muncul ide bersama untuk turun ke jalan sebagai bentuk aksi solidaritas.
Seketika, semua teman yang lagi berkumpul saat itu langsung sepakat untun turun
aksi ke jalan. Inilah salah satu bentuk psikologi masa yang terjadi baru-baru
ini.
Mungkin ada hal yang penting
untuk dibahas saat itu, terkait dengan aksi saat penolakan BBM saat itu.
Menurutku berbagai aksi itu hanyalah salah satu celetupan-celetupan kejengkelan
secara nasional terhadap berbagi kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah.
Ada banyak sekali pelanggaran HAM dan penindasan yang sudah dirasakan oleh
masyarakat kecil. Bahkan lebih parah lagi, penindasan yang dibuat secara
sistematis itu membuat orang sampai tidak merasa lagi bahwa itu bukan sebuah
penindasan.
Menarik untuk mengutip salah satu
orasi pada saat aksi di Malioboro. Orasi itu, bagiku, bisa membangkitkan lagi
kesadaranku akan berbagai permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Orasi itu
bunyinya seperti ini:
Sudah lebih dari satu abad ketika
Majapahit menyatukan seluruh Nusantara. Sudah lebih dari satu abad ketika Cut
Nyak Din dan Teungku Umar berjuang mengusir penjajah asing, Sudah lebih dari
satu abad ketika R.A Kartini memperjuangkan kaum pribumi. Hampir satu abad
ketika Jendral Soedirman bergerilia mengusir penjajah Asing. Hampir satu abad
ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamsikan kemerdekaan Republik
Indonesia. Kini arwah-arwah mereka hadir kembali dan menangisi para
pemimpin-pemimpin bangsa saat ini yang hanya menjadi para penjajah di bangsanya
sendiri.
Generasi-generasi penerus yang
meminpin bangsa saat ini hanya menggunakan kedok menyuarakan suara rakyat untuk
menindas rakyatnya sendiri. Mereka menggunakan sistem untuk menindas saudaranya
sendiri. Dengan pencitraan, masyarakat dibuainya. Dengan media, masyarakat
dobohonginya. Dengan pendidikan, masyarakt dibodohinya. Dengan menaikan harga
BBM, rakyat diadu domba. Mereka tidak lebih dari aparatur-aparatuyr penjajah
asing yang menjalankan tugasnya di Negri ini.
Mereka hanyalah pengecut yang
bersembunyi dibalik ketiak-ketiak para kapitalis. Hanya kepentingan kapitalislah
yang mereka suarakan, sampai amanat rakyat dilupakan oleh mereka. Hingga
akhirnya merekapun lupa kalau mereka hanyalah anjing-anjing yang selalu berebut
remah-remah makanan dari meja-meja makan para kapitalis.
Karena itu, marilah wahai
saudaraku, mari kita bersatu memperjuangkan apa yang menjadi hak kita. Mari
kita memperjuangkan apa yang menjadi milik rakyat dengan jalan revolusi.
Revolusitidak dapat terjadi hanya dengan kita memasang poster Che Guavara dari
ujung Sabang sampai ujung Merauke. Revolusi tidak dapat terjadi hanya dengan
kita memasang seluruh poster para pahlawan bangsa dari ujung utara sampai ke
ujung selatan bangsa ini. Revolusi tidak akan pernah terjadi hanya dengan
menyanyikan lagi darah juang. Revolusi tidak akan pernah terjadi hanya dengan
diam dan merenungi nasib. Revolusi hanya bisa terjadi hanya dengan menyatuhkan
seluruh elemen masyarakat lalu menumbang rezim yang saat ini berkuasa dan
menggatikan semua sistem pembodohan yang ada dengan sistem yang benar-benar
dirasakan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena rakyat adalah tuan
di tanahnya sendiri. Karena rakyat adalah tuan di negrinya sendiri.
Mungkin perlu diingat kembali
tugas mahasiswa tidak hanya menjalankan kuliah tapi juga sebagai agen
perubahan. Saya sendiri sangat tertarik jika masih ada tanggpan yang diberikan
terkait tulisan ini baik melaui tulisan tandingan maupun melalui diskusi
langsung.