Oleh: Richi Richardus
P. Anyan
Orang dari Sabang
sampai Merauke, kalau datang Jogja, ya… gudeg yang dicari.” Demikian kata
wanita paruh baya ini. “ Dari generasi ke generasi gudeg tetap disukai,”
lanjutnya sembari tertawa.
Umurnya sudah 57 tahun, tapi semangatnya patut
diacungkan jempol. Wanita dengan alis tipis berbentuk setengah lingkarang
seperti parit melekat di atas matanya. Ada beberapa kerut di dahinya karena
termakan usia. Namun rambutnya masih hitam. Dengan sedikit polesan lipstick
berwarna merah jambu di bibirnya, ia terlihat seperti wanita berumur
tiga puluhan. Tamsinah namanya.
Bermodalkan jaket berwarna merah jambu, dia
melewatkan malamnya dengan melawan cuaca yang kadang tak bersahabat. Duduk
ditemani sebuah harapan, ia mencoba menunggu datangnya pembeli. Wanita yang
memiliki empat orang anak tersebut adalah seorang penjual gudeg di Jl. Brigjen
Katamso Yogyakarta.
Kalau pagi hari, Ibu Bambang dibantu seorang
pembantu yang sudah berumur 50-an dan adik iparnya untuk memasak gudeg.
Biasanya masak itu dari pagi samapai sore hari. Setelah semuanya selesai, Bu
Bambang mulai bersiap-siap untuk berjualan. Inilah kisah keseharian yang selalu
dilewatkan wanita yang selalu tersenyum setiap kali diwawancarai tersebut.
Ada alasan mengapa sampai saat ini Bu Bambang masih
mau berjualan gudeg. Mulanya, keluarga Bu Bambang sudah berjulan gudeg semenjak
ia belum lahir. Ibu yang kerap memakai batik tersebut hanyalah generasi penerus
dari kedua orang tuanya. Menurutnya berjualan
gudeg itu merupakan suatu warisan yang tidak boleh dihilangkan.
“Pertama kali jualan di depan Klentheng dari tahu
1949-1995 sebelum aku lahir. Generasi penerusnya saya, baru 16 tahun,” kenang
nenek yang memiliki 6 orang cucu ini. “ Dulu, ibu sama bapakku yang jualan,
saya melanjutkan apa yang ada,”
lanjutnya.
dari Klentheng ke
Katamso
Pada tahun 1949-1995, orang tua Bu Tamsinah mulai
berjualan di Klentheng. Karena itu, gudeg jualan orang tuanya diberi nama “Gudeg
Klentheng”. Waktu itu, Bu Tamsinah kecil selalu melewatkan malamnya bersama
kedua orang tua dengan berjualan gudeg di Klentheng. Tidak hanya sekedar
menemani, ia kerap melayani tamu, mencuci piring kotor, atau apapun yang bisa
meringankan pekerjaan orang tuanya.
Lambat laun, orang tuanya sadar kalau Tamsinah yang
mulai tumbuh dewasa tidak bisa terus menerus membantu orang tuanya. Karena itu,
orang tuanya mulai berinisiatif mencari salah seorang pembantu.
Ternyata benar apa yang dipikirkan oleh kedua orang
tuanya bahwa Tamsinah tidak bisa selamanya membantu mereka. Tamsinah dewasa
saat itu dilamar oleh seorang pria yang bernama Bambang. Tamsinah mau tidak mau
harus mengikuti suminya.
Kehidupan baru dilaluinya dengan penuh kebahagian.
Dari hasil perkawinan itu, mereka memiliki dua orang putra dan dua orang putri.
Semuanya disekolahkan sampai lulus perguruan tinggi. Kendati sudah dibilang
berhasil karena menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, bukan berarti
membuat Bu Tamsinah tinggi hati. Bu Tamsinah selalu berkeinginan untuk pada
saatnya, dia ingin sekali berjualan gudeg lagi seperti waktu kecil dulu.
Setelah orang tuanya sudah sangat sepu, Bu Tamsinah
merasa harus meneruskan apa yang sudah dibuat orang tuanya selama ini. Bu Tamsinah
pun mulai meneruskan “Gudeg Klentheng” dengan sedikit menggantikan namanya
yaitu “Gudeg Klentheng Bu Bambang”. Nama “Gudeg Klentheng” tetap dipakai karena
sudah banyak memiliki pelanggan tetap.
“Ada banyak maniak ‘Gudeg Klentheng’ ini. Ibu nggak mau mereka kecewa, makanya ibu
lanjutin dan nggak mau ganti nama,
hanya ditambah dengan nama ibu aja
biar mereka tahu kalau sudah beda generasi yang sekarang sedang berjualan di
sini,” demikian kisah orang tua paruh baya yang mulai disapa Bu Bambang
semenjak menikah dengan suaminya.
Pada mulanya, Ibu Bambang mau meneruskan hanya
sekedar mengisi hari-harinya dengan sebua kesibukannya. Namun, lambat laun,
berjualan gudeg di Klentheng itu menghasilkan banyak keuntungan.
“Waktu di sana (Klentheng-Red) ibu sehari bisa
memasak 50 telur ayam dan 10 ekor ayam karena pelanggannya yang banyak,”
demikian kata wanita yang sudah menjanda sejak 1997 itu. “selain jualan gudeg,
ibu juga jualan, rokok, minuman dan banyak lagi. ya… sehari jualan bisa buat
makan dua hari,” kenangnya.
Bukan hanya Bu Bambang saja yang mengalami
keuntungan di sana, tapi juga menurut Bu Bambang, hampir semua pedagang yang
berjualan di sana mendapatkan keuntungan banyak. “mungkin karena tempatnya
strategis ya” tutur Bu Bambang sembari melirikan matanya ke arah jalan.
Keuntungan para penjual gudeg di Klentheng tidak
berlangsung begitu lama. Pada tahun 2006, Pemerintah Kota Yogyakarta
mengeluarkan surat ke pada para pedagang di Klentheng agar segera
mengalokasikan tempat berdagang mereka di tempat lain sesuai dengan izin dari
pejabat pemeritah setempat. Alasan para pedagang dipindahkan dari tempat itu
karena tempat itu mau dibuat taman kota.
Atas dasar keindahan kota degan dibuatnya taman kota
inilah, Ibu Bambang pun memindahkan tempat jualannya ke Jl. Brigjen Katamso
Yogyakarta. Tempat ini merupakan tempat yang ditawarkan oleh pemerintah kota
kepada para pedagang.
Habitat baru butuh habitus yang baru pulau atau
tempat tinggal yang baru butuh kebiasaan yang baru pula. Demikian pula dengan
Bu Bambang saat pindah pertama kali ke Jl. Brigjen Katamso tersebut. Dia mulai
berusaha lagi mencari pelanggan baru, dan berusaha merangkul kembali pelanggan
lama yang tersebar di mana-mana. Akibatnya cukup besar. Keuntungan yang dulu ia
dapatkan di Klentheng sangat jauh berbeda dengan tempat barunya ini, bahkan
sampai hari ini.
“Kalau dulu di Klentheng kami bisa masak telur 50
butir, ayam 10 ekor, sekarang telur hanya sekitar 10 butir saja, ayamnya pu cuman dua ekor. Kalau dulu keuntungannya
bisa untuk makan dua hari, kalau sekarang, untuk makan sehari aja udah bersyukur,” tuturnya dengan
wajah tetap ceria.
Akan tetapi, bersyukur adalah sebuah kata kunci yang
selalu membuat Ibu Bambang selalu bahagia dalam menjalankan tugasnya. Sepi atau
tidaknya pengunjung bukan berarti membuat ibu paruh baya ini patah arang. Dia
tidak pernah berharap lebih dari berjualan gudeg ini.
“Ya, kalau untung bersyukur, kalau nggak juga, ya…
bersyukur saja, mungkin keuntungannya ditunda besok.” Demikian titahnya sambil
memperhatikan sekeliling kami.
Menurutnya, dengan berjualan gudeg, ia sudah bisa
mengisi waktunya dengan sedikit kesibukan. Selain itu dia selalu memperlakukan
semua pembeli adalah saudara sendiri. “Inilah kunci kekhasan dari ,Gudeg
Klentheng’,” ceritanya dengan bangga.
Makanan Tradisional Vs
Tantangan Zaman
Pada awal abad 21, semakin jelas kiblat manusia di
bumi ini adalah arah “Barat”. Budaya naturalis dan religious yang mewarnai
kehidupan manusia sekitar 300-an tahun yang lalu, semakin meredup. Dinamisme
dan Naturalisme yang merupakan local genius manusia Indonesia sduah mulai
ditinggalkan. Medan magnet mungkin telah berubah ke arah barat. Dunia merupakan
Dunia Barat saat ini.
Berbicara soal budaya barat berarti kita berbicara
tentang liberalisme, latar budaya barat hingga saat ini. Saat ini, gaung
liberalisme telah merasuki setiap individu bahkan ketika menerapkannya sudah
jauh dari cita-cita awal Renaissance.
Renaissance sendiri mengumandangkan
pandangan hidup pada antroposentris, liberal, sekular, dan rasional.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa dunia “Barat” begitu
superior saat ini? Hingga abad ke 13 belum ada superioritas di dunia atau dapat
dikatakan antara budaya barat dan timur masih terjadi hubungan yang sejajr.
Bahkan pada jaman Ummayah dan Abbasiyah terjadi sumbangan besar-besaran dalam
hal ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat. Ilmu Pengobatan, Seni, dan Arsitektur
Timur banyak dicontoh dan dipelajari oleh Barat. Kemunduran justru terjadi pada
jaman Turki Usmani yang berhasil merebut konstantinopel dari pemerintah
Byzantium. Pada jaman ini justru bangsa barat menanjak pesat. Hal ini ditandai
dengan masuknya ke jaman pencerahan atau jaman terang budi dan revolusi
industri. (Majalah Natas edisi Mei-Juni 2007. Hal 5).
Pada jaman revolusi industry terjai perubahan
radikal, mendasar, dan menyeluruh di eropa. Pada awalnya hanya menyangkut
produksi, namun akhirnya mempengaruhi bidang lain, seperti etika, etos kerja,
pola pikir, dan lain sebagainya. Pada umumnya semua bidang ikut berubah.
Pelayaran dunia yang pada awalnya berorientasi pada eksploitasi rempah-rempah,
bertambah menjadi perluasan pasar bagi hasil indutri yang terlalu melimpah di
Eropa.
Masalah
pasar selanjutnya memang menjadi problem utama bangsa barat. Ketika Over Weight production akibat Revolusi
Industri membuat terjadinya depresi di negara-negara barat. Ketidakseimbangan
antara hasil produksi dengan jumlah konsumen membuat invisible hand-nya Adam
Smith menjadi Unvisible hand. Solusinya adalah melemparkan hasil produk ke luar
negaranya. Ke mana? Negara-negara kolonial di Asia, Afrika, dan Amerika menjadi
tempat tujuannya. Maka terjadilah tahap awal globalisasi yang bukan saja
memasarkan hasil produksi, tapi juga menjaga pasar agar terus membeli budaya
Barat. Akibat dari globalisasi ke bangsa Indonesia cukup signifikan.
Globalisasi yang terjadi di Indonesia saat ini,
justru merugikan negara sebagai bangsa yang berkembang. Dapat kita lihat dalam
hal penanaman modal asing di Indonesia. Terdapat dominasi kekuasaan sehingga
investor asing berkehendak mengatur segala sesuatunya. Hal itu
berbandingterbalik dengan investor lokal. Para investor lokal menjadi anak tiri
dinegrinya sendiri.
Dalam globlisasi itu juga terjadi akulturasi budaya.
Ketika proses akulturasi ini terjadi, budaya pendatang harus bisa menyesuaikan
dengan budaya lokal. Namun hal berbeda terjadi di Indonesia. Ketika datang
suatu budaya baru, dalam hal ini budaya barat, bangsa indonesialah yang harus
berjuang menyesuaikan dengan budaya barat. Dengan kata lain, di Indonesia,
budaya lokallahyang menyesuaikan diri dengan budaya pendatang. Secara tidak
langsung, budaya kita semakin terhimpit oleh budaya Barat.
Sebagai contoh adalah image, yaitu bahwa orang kulit
putih memiliki teknik yang lebih baik sehingga segala sesuatu yang datang dari
budaya barat dapat dianggap baik. Hal ini akan menjadi sangat buruk apabila
budaya itu diserap tampa ada penyaringan. Lambat laun budaya itu akan
berkembang di Indonesia dan tampa kita sadari, budaya itu telah menyatuh dalam
diri kita dan merasa bahwa budaya itu adalah sesuatu yang khas dari diri kita. Keadaan
tersebut dapat membuat eksistensi buadaya Indonesia semakin tenggelam.
Contoh lain lagi adalah soal makanan. Saat ini
makanan tradisional semakin ditinggalkan orang-orang, mereka lebih memilih
makanan yang bergengsi seperti Kentucky
Fried Chicken (KFC), Pizza Hut,
Mc. Donals (MCD), dari pada gudeg, pecel, klepon, lupis atau makanan
tradisional lainnya. Akibatnya makanan-makanan tradisional ini bisa saja suatu
saat akan punah.
Kalau banyak orang sekarang sedang mencemaskan nasib
makanan tradisional di tengah tantangan saingan dengan makana berbau Eropa
seperti KFC, Pizza hut, dan lain
sebagainya, berbeda dengan Bu Bambang. Menurutnya, makanan khas daerah itu
tidak akan punah. Apalagi saat sekarang ini banyak sekali orang yang berjualan
gudeg di Jogja.
Orang dari Sabang sampai Merauke, kalau datang
Jogja, ya… gudeg yang dicari.” Demikian kata wanita paruh baya ini. “ Dari
generasi ke generasi gudeg tetap disukai,” lanjutnya sembari tertawa
Menurutnya, berjualan gudeg itu tidak perlu
memikirkan untungnya yang terpenting penghasilannya bisa untuk makan sehari.
Dengan itu kita sudah ikut melestarikan budaya kita masing masing.
“Nggak
usah takut, namanya rezeki nggak akan
kemana”. Demikian ucapnya.
Reportase
bersama Petrus Kanisius H. S.