Label

Sabtu, 18 Februari 2012

Rezeki Nggak Akan Kemana


Oleh: Richi Richardus P. Anyan
Orang dari Sabang sampai Merauke, kalau datang Jogja, ya… gudeg yang dicari.” Demikian kata wanita paruh baya ini. “ Dari generasi ke generasi gudeg tetap disukai,” lanjutnya sembari tertawa.
Umurnya sudah 57 tahun, tapi semangatnya patut diacungkan jempol. Wanita dengan alis tipis berbentuk setengah lingkarang seperti parit melekat di atas matanya. Ada beberapa kerut di dahinya karena termakan usia. Namun rambutnya masih hitam. Dengan sedikit polesan lipstick  berwarna merah jambu di bibirnya, ia terlihat seperti wanita berumur tiga puluhan. Tamsinah namanya.
Bermodalkan jaket berwarna merah jambu, dia melewatkan malamnya dengan melawan cuaca yang kadang tak bersahabat. Duduk ditemani sebuah harapan, ia mencoba menunggu datangnya pembeli. Wanita yang memiliki empat orang anak tersebut adalah seorang penjual gudeg di Jl. Brigjen Katamso Yogyakarta.
Kalau pagi hari, Ibu Bambang dibantu seorang pembantu yang sudah berumur 50-an dan adik iparnya untuk memasak gudeg. Biasanya masak itu dari pagi samapai sore hari. Setelah semuanya selesai, Bu Bambang mulai bersiap-siap untuk berjualan. Inilah kisah keseharian yang selalu dilewatkan wanita yang selalu tersenyum setiap kali diwawancarai tersebut.
Ada alasan mengapa sampai saat ini Bu Bambang masih mau berjualan gudeg. Mulanya, keluarga Bu Bambang sudah berjulan gudeg semenjak ia belum lahir. Ibu yang kerap memakai batik tersebut hanyalah generasi penerus dari kedua orang tuanya. Menurutnya berjualan gudeg itu merupakan suatu warisan yang tidak boleh dihilangkan.
“Pertama kali jualan di depan Klentheng dari tahu 1949-1995 sebelum aku lahir. Generasi penerusnya saya, baru 16 tahun,” kenang nenek yang memiliki 6 orang cucu ini. “ Dulu, ibu sama bapakku yang jualan, saya  melanjutkan apa yang ada,” lanjutnya.


dari Klentheng ke Katamso
Pada tahun 1949-1995, orang tua Bu Tamsinah mulai berjualan di Klentheng. Karena itu, gudeg jualan orang tuanya diberi nama “Gudeg Klentheng”. Waktu itu, Bu Tamsinah kecil selalu melewatkan malamnya bersama kedua orang tua dengan berjualan gudeg di Klentheng. Tidak hanya sekedar menemani, ia kerap melayani tamu, mencuci piring kotor, atau apapun yang bisa meringankan pekerjaan orang tuanya.
Lambat laun, orang tuanya sadar kalau Tamsinah yang mulai tumbuh dewasa tidak bisa terus menerus membantu orang tuanya. Karena itu, orang tuanya mulai berinisiatif mencari salah seorang pembantu.
Ternyata benar apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuanya bahwa Tamsinah tidak bisa selamanya membantu mereka. Tamsinah dewasa saat itu dilamar oleh seorang pria yang bernama Bambang. Tamsinah mau tidak mau harus mengikuti suminya.
Kehidupan baru dilaluinya dengan penuh kebahagian. Dari hasil perkawinan itu, mereka memiliki dua orang putra dan dua orang putri. Semuanya disekolahkan sampai lulus perguruan tinggi. Kendati sudah dibilang berhasil karena menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, bukan berarti membuat Bu Tamsinah tinggi hati. Bu Tamsinah selalu berkeinginan untuk pada saatnya, dia ingin sekali berjualan gudeg lagi seperti waktu kecil dulu.
Setelah orang tuanya sudah sangat sepu, Bu Tamsinah merasa harus meneruskan apa yang sudah dibuat orang tuanya selama ini. Bu Tamsinah pun mulai meneruskan “Gudeg Klentheng” dengan sedikit menggantikan namanya yaitu “Gudeg Klentheng Bu Bambang”. Nama “Gudeg Klentheng” tetap dipakai karena sudah banyak memiliki pelanggan tetap.
“Ada banyak maniak ‘Gudeg Klentheng’ ini. Ibu nggak mau mereka kecewa, makanya ibu lanjutin dan nggak mau ganti nama, hanya ditambah dengan nama ibu aja biar mereka tahu kalau sudah beda generasi yang sekarang sedang berjualan di sini,” demikian kisah orang tua paruh baya yang mulai disapa Bu Bambang semenjak menikah dengan suaminya.
Pada mulanya, Ibu Bambang mau meneruskan hanya sekedar mengisi hari-harinya dengan sebua kesibukannya. Namun, lambat laun, berjualan gudeg di Klentheng itu menghasilkan banyak keuntungan.
“Waktu di sana (Klentheng-Red) ibu sehari bisa memasak 50 telur ayam dan 10 ekor ayam karena pelanggannya yang banyak,” demikian kata wanita yang sudah menjanda sejak 1997 itu. “selain jualan gudeg, ibu juga jualan, rokok, minuman dan banyak lagi. ya… sehari jualan bisa buat makan dua hari,” kenangnya.
Bukan hanya Bu Bambang saja yang mengalami keuntungan di sana, tapi juga menurut Bu Bambang, hampir semua pedagang yang berjualan di sana mendapatkan keuntungan banyak. “mungkin karena tempatnya strategis ya” tutur Bu Bambang sembari melirikan matanya ke arah jalan.
Keuntungan para penjual gudeg di Klentheng tidak berlangsung begitu lama. Pada tahun 2006, Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan surat ke pada para pedagang di Klentheng agar segera mengalokasikan tempat berdagang mereka di tempat lain sesuai dengan izin dari pejabat pemeritah setempat. Alasan para pedagang dipindahkan dari tempat itu karena tempat itu mau dibuat taman kota.
Atas dasar keindahan kota degan dibuatnya taman kota inilah, Ibu Bambang pun memindahkan tempat jualannya ke Jl. Brigjen Katamso Yogyakarta. Tempat ini merupakan tempat yang ditawarkan oleh pemerintah kota kepada para pedagang.
Habitat baru butuh habitus yang baru pulau atau tempat tinggal yang baru butuh kebiasaan yang baru pula. Demikian pula dengan Bu Bambang saat pindah pertama kali ke Jl. Brigjen Katamso tersebut. Dia mulai berusaha lagi mencari pelanggan baru, dan berusaha merangkul kembali pelanggan lama yang tersebar di mana-mana. Akibatnya cukup besar. Keuntungan yang dulu ia dapatkan di Klentheng sangat jauh berbeda dengan tempat barunya ini, bahkan sampai hari ini.
“Kalau dulu di Klentheng kami bisa masak telur 50 butir, ayam 10 ekor, sekarang telur hanya sekitar 10 butir saja, ayamnya pu cuman dua ekor. Kalau dulu keuntungannya bisa untuk makan dua hari, kalau sekarang, untuk makan sehari aja udah bersyukur,” tuturnya dengan wajah tetap ceria.
Akan tetapi, bersyukur adalah sebuah kata kunci yang selalu membuat Ibu Bambang selalu bahagia dalam menjalankan tugasnya. Sepi atau tidaknya pengunjung bukan berarti membuat ibu paruh baya ini patah arang. Dia tidak pernah berharap lebih dari berjualan gudeg ini.
“Ya, kalau untung bersyukur, kalau nggak juga, ya… bersyukur saja, mungkin keuntungannya ditunda besok.” Demikian titahnya sambil memperhatikan sekeliling kami.
Menurutnya, dengan berjualan gudeg, ia sudah bisa mengisi waktunya dengan sedikit kesibukan. Selain itu dia selalu memperlakukan semua pembeli adalah saudara sendiri. “Inilah kunci kekhasan dari ,Gudeg Klentheng’,” ceritanya dengan bangga.
Makanan Tradisional Vs Tantangan Zaman
Pada awal abad 21, semakin jelas kiblat manusia di bumi ini adalah arah “Barat”. Budaya naturalis dan religious yang mewarnai kehidupan manusia sekitar 300-an tahun yang lalu, semakin meredup. Dinamisme dan Naturalisme yang merupakan local genius manusia Indonesia sduah mulai ditinggalkan. Medan magnet mungkin telah berubah ke arah barat. Dunia merupakan Dunia Barat saat ini.
Berbicara soal budaya barat berarti kita berbicara tentang liberalisme, latar budaya barat hingga saat ini. Saat ini, gaung liberalisme telah merasuki setiap individu bahkan ketika menerapkannya sudah jauh dari cita-cita awal Renaissance. Renaissance sendiri mengumandangkan pandangan hidup pada antroposentris, liberal, sekular, dan rasional.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa dunia “Barat” begitu superior saat ini? Hingga abad ke 13 belum ada superioritas di dunia atau dapat dikatakan antara budaya barat dan timur masih terjadi hubungan yang sejajr. Bahkan pada jaman Ummayah dan Abbasiyah terjadi sumbangan besar-besaran dalam hal ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat. Ilmu Pengobatan, Seni, dan Arsitektur Timur banyak dicontoh dan dipelajari oleh Barat. Kemunduran justru terjadi pada jaman Turki Usmani yang berhasil merebut konstantinopel dari pemerintah Byzantium. Pada jaman ini justru bangsa barat menanjak pesat. Hal ini ditandai dengan masuknya ke jaman pencerahan atau jaman terang budi dan revolusi industri. (Majalah Natas edisi Mei-Juni 2007. Hal 5).
Pada jaman revolusi industry terjai perubahan radikal, mendasar, dan menyeluruh di eropa. Pada awalnya hanya menyangkut produksi, namun akhirnya mempengaruhi bidang lain, seperti etika, etos kerja, pola pikir, dan lain sebagainya. Pada umumnya semua bidang ikut berubah. Pelayaran dunia yang pada awalnya berorientasi pada eksploitasi rempah-rempah, bertambah menjadi perluasan pasar bagi hasil indutri yang terlalu melimpah di Eropa.
Masalah pasar selanjutnya memang menjadi problem utama bangsa barat. Ketika Over Weight production akibat Revolusi Industri membuat terjadinya depresi di negara-negara barat. Ketidakseimbangan antara hasil produksi dengan jumlah konsumen membuat invisible hand-nya Adam Smith menjadi Unvisible hand. Solusinya adalah melemparkan hasil produk ke luar negaranya. Ke mana? Negara-negara kolonial di Asia, Afrika, dan Amerika menjadi tempat tujuannya. Maka terjadilah tahap awal globalisasi yang bukan saja memasarkan hasil produksi, tapi juga menjaga pasar agar terus membeli budaya Barat. Akibat dari globalisasi ke bangsa Indonesia cukup signifikan.
Globalisasi yang terjadi di Indonesia saat ini, justru merugikan negara sebagai bangsa yang berkembang. Dapat kita lihat dalam hal penanaman modal asing di Indonesia. Terdapat dominasi kekuasaan sehingga investor asing berkehendak mengatur segala sesuatunya. Hal itu berbandingterbalik dengan investor lokal. Para investor lokal menjadi anak tiri dinegrinya sendiri.
Dalam globlisasi itu juga terjadi akulturasi budaya. Ketika proses akulturasi ini terjadi, budaya pendatang harus bisa menyesuaikan dengan budaya lokal. Namun hal berbeda terjadi di Indonesia. Ketika datang suatu budaya baru, dalam hal ini budaya barat, bangsa indonesialah yang harus berjuang menyesuaikan dengan budaya barat. Dengan kata lain, di Indonesia, budaya lokallahyang menyesuaikan diri dengan budaya pendatang. Secara tidak langsung, budaya kita semakin terhimpit oleh budaya Barat.
Sebagai contoh adalah image, yaitu bahwa orang kulit putih memiliki teknik yang lebih baik sehingga segala sesuatu yang datang dari budaya barat dapat dianggap baik. Hal ini akan menjadi sangat buruk apabila budaya itu diserap tampa ada penyaringan. Lambat laun budaya itu akan berkembang di Indonesia dan tampa kita sadari, budaya itu telah menyatuh dalam diri kita dan merasa bahwa budaya itu adalah sesuatu yang khas dari diri kita. Keadaan tersebut dapat membuat eksistensi buadaya Indonesia semakin tenggelam.
Contoh lain lagi adalah soal makanan. Saat ini makanan tradisional semakin ditinggalkan orang-orang, mereka lebih memilih makanan yang bergengsi seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut, Mc. Donals (MCD), dari pada gudeg, pecel, klepon, lupis atau makanan tradisional lainnya. Akibatnya makanan-makanan tradisional ini bisa saja suatu saat akan punah.
Kalau banyak orang sekarang sedang mencemaskan nasib makanan tradisional di tengah tantangan saingan dengan makana berbau Eropa seperti KFC, Pizza hut, dan lain sebagainya, berbeda dengan Bu Bambang. Menurutnya, makanan khas daerah itu tidak akan punah. Apalagi saat sekarang ini banyak sekali orang yang berjualan gudeg di Jogja.
Orang dari Sabang sampai Merauke, kalau datang Jogja, ya… gudeg yang dicari.” Demikian kata wanita paruh baya ini. “ Dari generasi ke generasi gudeg tetap disukai,” lanjutnya sembari tertawa
Menurutnya, berjualan gudeg itu tidak perlu memikirkan untungnya yang terpenting penghasilannya bisa untuk makan sehari. Dengan itu kita sudah ikut melestarikan budaya kita masing masing.
“Nggak usah takut, namanya rezeki nggak akan kemana”. Demikian ucapnya.

Reportase bersama Petrus Kanisius H. S.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: