Kalau ada yang pernah membaca berita ini, pasti akan berpendapat bahwa Sang wartawan adalah orang yang hebat dan pandai menganbil sudut pandang yang menarik dalam sebuah pemberitaan. Liar pemikirannya. Kematian John Fitzgerald Kennedy menimbulkan banyak sekali pertanyaan saat itu. Sampai saat ini, penyebab kematiannya pun masih menjadi sebuah misteri. kemisteriusan kematian ini membuat hampir semua wartawan saat itu memberitakannya. artinya hampir semua pemberitaan saat itu mengangkat soal penyebab kematian orang nomor satu di Amerika ini.
Akan tetapi hal berbeda dibuat oleh
Jimmy Breslin. Dialah sang penulis berita " Ini Sebuah Kehormatan". Sehari setelah pemakaman Jahn F. Kennedy, bahkan hingga saat ini, berita itu menjadi bahan perbincangan di seantero dunia. kemenarikan dari berita ini adalah sudut pandang yang diambil sang wartawan. Disaat yang lain mengangkat soal misteri kematian Kennedy, Jimmy Breslin malah menulis tentang sang penggali kubur dari Perdana Mentri Amerika Serikat tersebut. seperti apa beritanya? Selamat membaca dan mari kita berdiskusi tentang berita ini.
New York Herald Tribune, November 1963
Ini Sebuah Kehormatan
Oleh
Jimmy Breslin
CLIFTON POLLARD yakin hari Minggu itu ia akan bekerja. Jam 9 pagi ia sudah bangun. Di apartemennya,
berisi tiga kamar, di Corcoran Street, ia telah siap mengenakan pakaian terusan
warna khaki lalu menuju dapur untuk sarapan. Istrinya, Hettie, sudah menyiapkan
daging panggang dan telur. Pollard sedang makan ketika ada panggilan telepon
berdering, yang memang sudah ia tunggu itu. Itu telepon dari Mazo Kawalchik,
mandor para penggali kubur di Arlington National Cemetery, tempat Pollard
bekerja mencari nafkah. ”Polly, tolong jam sebelas nanti sudah ada disini, bisa
ya?” kata Kawalchik, menyuruh. ”Saya kira kau tahu kenapa,” katanya
melanjutkan. Ya, Pollard memang sudah tahu. Ia meletakkan gagang telepon,
menyudahi sarapan lalu meninggalkan apartemennya. Hari Minggu itu ia lewatkan
dengan menggali liang lahat untuk John Fitzgerald Kennedy.
Sewaktu Pollard tiba lalu berjalan ke gudang kayu
bercat kuning, tempat perkakas pemakaman disimpan, Kawalchik dan John Metzler
sudah menunggunya. ”Maaf, kau jadi harus kerja hari Minggu,” ujar Metzler. ”Ah,
tidak usah ngomong begitu,” kata
Pollard. ”Bagi saya, berada di sini adalah kehormatan.” Pollard lalu menuju ke sebuah
mesin pembajak berlawanan arah. Di pemakaman itu, lubang kubur tidak digali
pakai sekop. Mesin bajak terbalik yang dipakai berwarna hijau, sementara mangkuk
besar yang menggali tanah itu bergerak ke arah orang yang mengendalikan mesin,
tidak menjauh seperti kren. Di bawah bukit di depan ”Makam Serdadu tak Dikenal”,
Pollard mulai menggali. (Catatan Editor: Serdadu itu bernama Custis-Lee
Mansion).
Dedaunan menutupi rumput. Ketika gigi-gigi bajak
menggaruk tanah, dedaunan itu mengeluarkan suara rumput tertebas, berbunyi ”kres-kres-kres,”
yang terdengar dari atas motor penggerak mesin bajak. Ketika mangkuk pertama
menyembul dengan seonggok tanah, Metzler, pengawas pemakaman itu, mendekat dan
menatapnya. ”Tanahnya bagus,” kata Metzler. Pollard menyambut, ”Saya mau
menyimpannya sedikit.” ”Mesin ini meninggalkan jejak di rumput, nanti saya isi
tanah dan menanaminya dengan rumput subur yang tumbuh di sekitar sini, saya mau
semuanya di sini—kau tahu—indah.”
James Winners, penggali kubur lain, mengangguk. Katanya, ia juga
akan mengangkut beberapa gerobak tanah yang sangat subur itu ke gudang untuk
ditanami rumput. ”Ia orang
yang baik,” ujar Pollard. ”Ya, memang,” kata Metzler, menyahut. ”Sekarang ia akan
datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali,” sambung Pollard. ”Kau
tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini.”
Pollard, 42 tahun. Ia orang yang ramping dan berkumis,
lahir di Pittsburgh dan pernah ikut sebagai sukarelawan pada Batalyon Engineers
ke-352 yang bertugas di Burma ketika Perang Dunia II berkecamuk. Saat ini ia bekerja
sebagai operator peralatan. Gajinya tingkat 10, artinya per jam ia menerima bayaran
US$3.01. Nah, orang terakhir yang melayani John Fitzgerald Kennedy, Presiden
ke-35 negaranya sendiri, adalah seorang pekerja yang mendapat gaji US$3.01 per
jam dan ia masih bisa berkata menggali kubur bagi sang mendiang presiden adalah
sebuah kehormatan.
Pagi kemarin, pukul 11.15, Jacqualine Kennedy
berjalan menuju makam itu. Ia keluar di bawah naungan portiko Gedung Putih,
perlahan mengiringi jenazah suaminya yang diusung di dalam keranda berkudung
bendera. Keranda itu juga dibebat dengan dua sabuk kulit hitam, yang diikat
ketat pada kereta berporos kuningan mengkilap.
Jacqualine melangkah lurus dan wajahnya
menengadah. Ia menuruni jalan berbatu biru dan berselimut hitam dan menembus
bayangan cabang-cabang tujuh pohon oak yang kala itu seluruh daunnya luruh. Ia berjalan
perlahan, melintasi prajurit angkatan laut yang memegang tegak bendera negara. Ia
mengayun kaki melintasi orang-orang yang berdiri rapat sambil menutup mulut dan
tegang melihat ke arahnya. Lalu saat iring-iringan itu terlihat, mereka
menundukkan kepala dan mengayunkan tangan mengusap mata. Ia melangkah ke
gerbang barat daya tepat di tengah Pennsylvania Avenue. Ia berjalan dengan
langkah yang rapat dan wajahnya menengadah tegak. Di jalanan Washington, ia
mengiringi jenazah suaminya yang terbunuh.
Semua orang menyaksikannya ketika ia melangkah. Ia
kini ibu dari dua anak yatim. Dan ia melangkah ke dalam sejarah negeri Amerika
karena ia telah menunjukkan kepada semua orang—yang merasa tua dan tak
tertolong dan tanpa harapan—bahwa ia punya kekuatan yang juga sangat diperlukan
oleh semua orang. Walaupun ada yang telah membunuh suaminya dan darahnya menetes
pada pangkuannya ketika sang suami menjemput maut, ia masih mampu berjalan
tegar ke pemakaman dan dengan begitu ia telah menolong kita semua.
Massa berkerumun lalu prosesi itu sampailah juga di
Arlington. Ketika ia tiba di pemakaman itu, keranda sudah diletakkan, di antara
rel kuningan dan siap diturunkan ke liang lahat. Ini pasti saat yang paling
menyedihkan: seorang wanita menyaksikan keranda sang suami ditimbun di dalam
tanah. Ia tahu, sang suami akan selamanya berada di sana. Sekarang, tak ada
apa-apa lagi. Tak ada keranda untuk dicium atau bahkan dipegang. Tak ada tempat
berpegangan. Tapi ia melangkah ke tempat penguburan itu dan berdiri di depan
enam baris kursi bersarung hijau dan ia mulai duduk. Tapi serta merta ia berdiri
lagi karena ia tahu tidak harus duduk sampai inspektur pemakaman memberi tahu
di mana ia harus duduk.
Seremoni pemakaman itu pun dimulai. Pesawat jet
meraung di langit, tepat di atas kepala, dan dedaunan jatuh dari langit. Di
bukit ini, di sisi keranda, hadirin pun membahanakan doa. Ada juru kamera,
penulis, prajurit, dan Agen Rahasia—mereka juga ikut berdoa tak kalah
nyaringnya tapi seperti ada yang
tersendat. Di depan makam itu Lyndon Johnson mengarahkan wajahnya ke
kanan. Ia sekarang Presiden dan ia harus tetap tenang. Ia tak ingin melihat ke
keranda dan liang lahat terlalu kerap untuk sang mendiang John Fitzgerald
Kennedy. Lalu, pemakaman itu pun usai. Limusin hitam melaju di bawah pepohonan
taman pemakaman itu dan keluar ke bulevar menuju ke Gedung Putih. ”Jam berapa
sekarang?” pria yang berdiri di atas bukit itu bertanya. Ia melihat jam
tangannya. ”Jam 3 lewat 30 menit,” ujarnya.
Clifton Pollard tidak hadir saat pemakaman itu. Ia
berada jauh di balik bukit itu, menggali kubur lain dengan bayaran $3.01 per
jam. Ia tidak tahu untuk siapa lagi liang lahat yang ia gali itu. Ia hanya
menggali lalu menimbunnya lagi. ”Mereka pernah ada dan berguna,” katanya. ”Kita
hanya tak tahu kapan. Tadi, aku mau melihat ke sana,” ujarnya. ”Tapi terlalu
banyak orang, kata tentara tadi, saya tidak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap
di sini dan menggali. Tapi nanti saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat
sebentar, ya kan? Seperti kata saya padamu tadi, ini sebuah kehormatan.”
* Diterjemahkan dari “It’s an Honour”
by Jimmy Breslin.
Blog Breslin in Newsday: http://www.newsday.com/news/columnists/ny-jimmybreslin,0,4860342.columnist