Oleh : Richi Anyan
Kami Kritis, Kami menulis
Musyawaah kota (Muskot) PPMI
Dewan Kota Yogyakarta baru saja dilaksanakana pada tanggal 2-3 Oktober 2010 FH
UII Yogyakarta. Ada banyak sekali masalah yang dibahas di Muskot saat itu, baik
itu masalah PPMI Nasiona maupun masalah PPMI Dewan Kota Yogyakarta.
Adapun beberapa hal
yang menjadi rekomendasi dari PPMI Dewan Kota Yogyakarta untuk PPMI nasional
yaitu terkait arah PPMI kedepannya, DEN, dan PPMI nasional. Setelah saya selaku
Sekjen PPMI Dewan Kota Yogyakarta yang belum memiliki kepengurusan kota secara
formal dan beberapa anggota besarta calon Pengurus Divisi Advokasi Nasional
berunding, kami memutuskan untuk beberapa hal ini patut kita diskusikan secara
besama-sama di Mukernas ini. terkait beberapa hal ini akan kita
bahas satu per satu.
Arah Gerak PPMI
Sebelum kita membahas banyak
hal terkait dengan PPMI ke depannya akan seperti apa, ada baiknya kita membahas
terlebi dahulu arah PPMI kedepannya. Ada tiga arah gerak PPMI yaitu profesi,
kaderisasi, dan gerakan. Ketiga hal ini bisa dijalankan secara bersamaan, tapi
kita harus ada fokus secara jelas terkait arah mana yang akan menjadi prioritas
ke depannya.
Misalnya kita menyepakati ke
depannya kita ingin PPMI diarahkan sebagai sebuah organisasi profesi, maka kita
harus benar-benar menjunjung tinggi Kode Etik PPMI. Selain itu, semua pengurus,
baik itu pengurus nasional maupun kota, harus bekerja keras untuk tertib dalam
keadministrasian dan lain sebagainya.
Akan tetapi, terkait hal ini, kami pikir sudah harus selesai di tataran
pengurus PPMI. Misalnya semua divisi harus punya SOP yang jelas, Litbang harus
menjadi sumber data dan informasi baik itu bagi pengurus divisi pada khususnya
maupun bagi anggota PPMI pada umumnya.
Berbeda lagi apabila kita menyepakati agar PPMI ke depannya akan
memfokuskan diri sebagai organ kaderisasi. terkait hal ini, kami PPMI
Dewan Kota Yogyakarta menyepakati untuk PPMI Dewan Kota Yogyakarta ke depannya
akan mengarah ke kaderisasi. Kami merasa hal ini sangat penting karena PPMI
sebagai sebuah organ bersama harus mampu mewadahi anggota-anggotanya.
Sebenarnya ini terkait
dengan permasalahan kompleks yang ada di Dewan Kota Yogyakarta. Ada LPM-LPM
anggota PPMI yang besar di Yogyajarta, tapi ada juga LPM-LPM kecil yang masih
perlu didampingi secara intens, apalagi LPM-LPM yang masih berada di bawah
Lembaga Eksekutif Mahasiswa. LPM-LPM seperti ini masih rawan sekali untuk
dibredel. Padahal sebagai sebuah organisasi Pers Mahasiswa yang menjunjung
tinggi kebebasan Pers dan hidup dalam sebuah Negara yang menjunjung tinggi
kebebasan berpendapat, ternyata masih banyak orang yang tidak menyukai
kebebasan pendapat dari orang lain dan dengan egonya ingin menjadi penguasai
bagi sesamanya. Inilah wajah suram bangsa kita.
Arah gerak PPMI ini
sangat perlu kita bahas secara awal agar kita dapat menyesuaikan kerja tiap
divisi dan kota sesuai dengan arah PPMI kedepannya. Akan tetapi, ketiga
arah ini perlu dipertimbangka berdasarka kebutuhan anggota PPMI dan isu
apa yang mau diangkat oleh nasional.
***
Mahasiswa dari masa ke masa mengemban tugas sebagai agen
perubahan. Namun pada fase tertentu, mahasiswa akan mengalami fase
pembongkaran. Fase pembongkaran ini c oba aku namai lagi sebagai fase
pembenahan kembali di mana mahasiswa akan mengalami masa disorientasi. Mengapa?
Karena hal yang nampaknya sepele ini telah menjebak sekian mahasiswa untuk
berkutat pada realitasnya sendiri sebagai “kaum intelektual”.
Siapa sebenarnya mahasiswa itu? Dalam struktur
sosial Marx, mahasiswa bukanlah termasuk golongan borjuis ataupun proletar. Ia
adalah kelas menengah atau semiborjuis. Ya semiborjuis. Semiborjuis yaitu sekelompok
masyarakat sosial yang memiliki nilai intelektual tinggi, tertindas secara
sistemik terlepas ia mempunyai alat produksi atau tidak. Dalam istilah awam ia
tergolong kelas menengah, karena berada pada dua sisi klas yang kontradiktif
dan menemui kesukaran untuk mendefinisikan eksisitensinya.
Gerakan
Mahasiswa
Gerakan merupakan tanda bahkan penanda baru untuk
memulai sebuah iklim yang dinamis. Dinamis untuk menuju pada sebuah perubahan,
terutama perubahan sosial. Karena di dalam struktur sosial masyarakat dapat
dilihat titik-titik pangkal perilaku manusia secara kelompok maupun individu
beserta kualitasnya. Apakah masih irasional, sudah rasional, bahkan mungkin
sering melakukan otokritik terhadap pribadi/kelompok secara falsafi. Menyoal
mahasiswa dan gerakan adalah permasalahan bagaimana ia dalam posisi yang
ambivalen (tidak dalam struktur klas, tapi punya status sosial) melakukan
pembacaan terhadap kualitas pribadi dan kondisi yang menjadi habitusnya.
Dari pembacaan tersebut paling tidak telah membawa
mahasiswa untuk mengenali lebih jauh realitas apa sebenarnya ia harus berada
dan bagaimana melakukan suatu perubahan itu. Oleh Gramsci ditegaskan bahwa kaum
intelektual muda dibabtiskan menjadi garda depan menuju perubahan yang sifatnya
tidak bisa tidak (conditio sine qua non).
Mungkin perlu sedikit diuraikan mengenai praktik
gerakan mahasiswa Indonesia dalam wilayah sosial-politik, termasuk anatomi
gerakannya sebelum lebih jauh mengulas gerakan pers mahasiswa Indonesia. Karena
dinamika pers mahasiswa tidak bisa lepas dari dinamika gerakan mahasiswa. Di
Indonesia sendiri gerakan
itu sudah mulai ada sejak zaman kolonialisme. Mungkin sudah menjadi memori
kolektif ketika Dr. Sutomo dan kawan-kawan pada 1908 menjadi kaum intelektual
pertama yang mencoba mengawali gagasan awal kebangsaan dan rasa di ranah
pemikiran daripada perlawanan secara fisik. Begitu juga dengan persatuan kaum
muda tanah air dengan sumpah pemuda 1928 yang menjadi titik awal tumbuhnya
hibriditas sosial, dan nilai kesadaran kolektif. Sampai pada masa perebutan
kemerdekaan yang tidak bisa tidak kaum
muda terlibat aktif di dalamnya.
Pada era kemerdekan dan kepemimpinan tunggal
Soekarno (1959-1965), mulailah terjadi segmentasi politik dalam tubuh gerakan
mahasiswa. Sebut saja Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang
merupakan kumpulan organisasi mahasiswa yang memainkan peranan penting dalam
usaha melakukan upaya Desukarnoisasi dan pengikisan secara menyeluruh atas
ideologi Komunis. Sedangkan di sisi lain barisan mahasiswa pendukung Soekarno,
yang note bene dekat dengan Partai
Nasional Indonesia (PNI) melakukan kontrol
terhadap inisiatif anti komunisme dengan tetap mendukung kepemimpinan Soekarno.
Lebih jauh lagi untuk melihat sejauh mana praktik
gerakan mahasiswa di ranah gerakan sosial- politik yang berimbas pada perubahan
sosial bangsa Indonesia, kita petakan terlebih dahulu letak transisi demokrasi
yang pernah terjadi di Indonesia. Terutama pada masa yang lebih menitik
beratkan pada kekuatan rasional intelektualita dan pembentukan kultur demokrasi
sebagai simbol dari negara modern.
Awal Konsolidasi Orde Baru
Jatuhnya kepemimpinan Soekarno secara bertahap
diambil alih oleh kekuatan militer dengan figur seorang Soeharto. Hal ini
membawa dampak yang signifikan terhadap pola gerakan mahasiswa dan pers
mahasiswa. Karena terjadi perpecahan kubu di dalam tubuh militer sendiri dan
hal ini dipergunakan mahasiswa eksponen 66 untuk melancarkan ideologi pembangunan
dan modernisasi, kemudian
menghantarkan bangsa ini pada awal pembentukan orde baru.
Dengan strategi rekan
kerja yang dipergunakan mahasiswa eksponen 66,
maka dukungan terhadap pemerintahan berjalan sesuai misi awal. Namun ketika
praktik kenegaraan yang diterapkan oleh Soeharto mulai tidak sesuai dengan misi
dan visi modernisasi, gelombang protes pun menyeruak ke permukaan, mulai isu
politik pemerintahan, sampai pada penolakan terhadap bantuan modal asing dan
proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Bulan madu antara mahasiswa dan orde baru berakhir
dengan peristiwa malari (malapetaka 15 Januari) 1974, karena pemerintah tidak
mau mengambil resiko lebih jauh berhadapan dengan mahasiswa yang selalu protes.
Aksi penangkapan, pemenjaraan aktivis mahasiswa mulai dilakukan untuk
membungkam kekuatan masa.
Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Orde Baru
Merupakan sebuah keniscayaan bahwa bagaimanapun cara
penguasa untuk mengeliminir kekuatan agitasi gerakan mahasiswa. Ia tetap bertahan
dalam keadaan yang terburuk. Politik departaisasi yang diikuti dengan
depolitisasi kampus, diupayakan untuk menjauhkan jarak antara penguasa dan
kontrol sosial yang dilakukan mahasiswa di luar kampus. Ditambah lagi dengan
formula Normalisasi Kegiatan Kampus/ Badan Koordinasi Mahasiswa 1978. Mahasiswa diharamkan untuk berpolitik
praktis dan harus melulu berkegiatan yang sifatnya sesuai dengan basis
pedidikannya. Untuk mengatasi gerakan mahasiswa di luar kampus, pemerintah
mewajibkan semua organisasi kepemudaan untuk masuk ke dalam Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI). Situasi
obyektif yang sedemikian rupa, membuat para aktivis kampus bergerak di luar
kampus bergabung dengan kelompok studi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Akibat
strategi ekonomi yang bergantung pada minyak mentah, pada repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) ke III 1982-1983 harga minyak turun drastis di pasar
internasional. Krisis kali pertama tidak terelakkan. Hal yang sama
repelita yang selanjutnya,
repelita IV.
Langkah
yang diambil pemerintah untuk mengatasi hal itu adalah melakukan
regulasi/deregulasi ekonomi untuk merangsang investasi swasta asing masuk
dengan mudah ke Indonesia. Kebijakan tersebut akhirnya menuai kritik langsung
dari aktivis LSM, walaupun sebenarnya fokus permasalahan masih berada pada
wilayah intern kampus.
Pers Mahasiswa Sebagai
Entitas Gerakan
Setelah gerakan mahasiswa terpetakan dalam setiap
dimensi obyektif dan subjektifnya pada setiap kondisi jaman, maka pertanyaannya
di manakah Pers Mahasiswa saat itu? Sebelum menuju pergulatan pers mahasiswa dari masa ke
masa, kita lihat pengertian dasar yang menyangkut pers mahasiswa Indonesia.
Pers dalam pengertian yang luas adalah seluruh alat komunikasi masa seperti
radio, televisi, surat kabar, majalah dan lain sebaginya. Dalam pengertian yang
sempit adalah surat kabar dan majalah-untuk dapat disebut sebagai pers, ia
harus memenuhi syarat-syarat publista (tersebar luas, terbuka), terbit secara periodik,
bersifat umum dan aktual.
Pada masa Kolonial Belanda (1914-1941), pers
mahasiswa lahir seirama dengan munculnya gerakan kebangkitan nasional yang
justru dipelopori oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pers mahasiswa kala itu
menjadi alat bagi penyebaran ide-ide pembaharuan dan perjuangan yang sadar akan
pentingnya arti kemerdekaan.
Kebangkitan nasional (1908) dan Sumpah Pemuda (1928)
mempunyai pengaruh yang amat berarti bagi kelahiran pers mahasiswa. Pada Zaman
Pendudukan Jepang (1941-1945) sulit untuk bisa mebedakan peranan pers mahasiswa
ataukah pejuang pemuda yang melakukan aksi informasi dalam bentuk brosur dan
stensilan. Karena saat itu kaum muda terlibat secara fisik melakukan perjuangan
merebut kemerdekan, di samping melakukan perjuangan politik.
Pers mahasiswa Indonesia, setelah kemerdekan R.I
dan tiap transisi demokrasi yang ada, tidak terlepas dari dinamika gerakan
mahasiswa. Pada era kepemimpinan Soekarno (demokrasi terpimpin), seruan agar
semua organisasi masa bergabung dengan partai politik, membuat pers mahasiswa
hanya terlihat tidak lebih dari sekedar perpanjangan corong partai dan golongan
saja. Sikap kritis, obyektif dan kesan intelektualnya menjadi hilang, tergerus
oleh kepentingan politik kekuasaan. Mereka lebih cenderung terkesan agitatif
dan propagandis pada satu pnedekatan kepentingan. Kemudian pada tahap penurunan
Soekarno dan beralih pada masa pemerintahan Soeharto (era Konsolidasi Orde baru
1966-1974), perlahan-lahan pers mahasiswa ikut mengambil peran yang sangat
besar dalam menetukan perspektif ideal dari bangunan sebuah state (caracter
nation building). Koran mingguan group “Tamblong” Bandung “mahasiswa
Indonesia”, yang terbit secara nasional dengan oplah lebih dari 10.000
eksemplar telah menjawab; betapa Indonesia selama 20 tahun setelah merdeka
mengalami keterbelakangan dan kemunduran. Oleh karena itu ide-ide pembangunan
dan modernisasi kental dengan citra koran mingguan ini, sangat berpengaruh
untuk membentuk pola kenegaraan era orde baru di kemudian hari.
Sudah diurakan di atas bahwa partnership atau jaringan kerja antara
gerakan mahasiswa
dengan penguasa berakhir ditandai dengan peristiwa Malapetaka 15 januari 1974
(Malari). Sebuah aksi penolakan terhadap konsorsium Jepang atas proyek
mercusuar pembuatan miniatur Indonesia (TMII).
Akhirnya pers mahasiswa merasakan dampak dari
peristiwa itu. Pembredelan koran kampus dan majalah mahasiswa serta penangkapan
aktivisnya pun dilakukan. untuk seterusnya pada dinamika orde baru dan gerakan
mahasiswa yang dikebiri dengan adanya depolitisasi kampus dan formulasi
NKK/BKK, menjadikan pers mahasiswa sebagai sebuah gerakan alternatif.
Fungsi dan Peran Pers
Mahasiswa
Potret pergulatan pers mahasiswa dari masa ke masa
yang selalu mencoba memposisikan dirinya pada wilayah oposisi terhadap
kekuasaan, membuat aktivitas kelembagaan cenderung sebagai instrumen politik.
Terlepas dari ideologi apa yang digunakan oleh pegelolanya, pers mahasiswa
relatif tidak independen karena
pengelolanya melakukan seleksi terhadap bahan agar sesuai dengan aspirasi
politiknya. Inilah karakter pers mahasiswa dari masa ke masa.
Namun demikian keterlibatan pers mahasiswa dalam
mamaknai permasalahan sosial tidaklah diragukan. Simpathy, compassion selalu ada dalam diri aktivitas pengelolanya.
Tingginnya kemampuan jurnalistik untuk merefleksikan keresahan sosial, dalam
bentuk tajuk rencana/editorial dan berita-berita utama menjadi hal yang sangat
diperhitungkan.
Pers mahasiswa saat itu mengambil peran sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Tugas dan Fungsi persma itu ada tiga yaitu pers mahasiswa
sebagai alat perjuangan, melakukan control sosial, dan pers alternatif. Berikut
aku mencoba untuk memaparkan satu per
satu fungsi dan tugas pers mahasiswa tersebut.
Pers Mahasiswa Sebagai
Alat Perjuangan
Pers mahasiswa yang merupakan istilah gabungan dari
dua organ strategis untuk
melakukan suatu perubahan. Kata “pers” yang mensyaratkan pada pilar keempat
demokrasi sebagai penyeimbang sebuah sistem pemerintahan. “Wacth
dog” atau “anjing
penjaga” yang selalu setia mengontrol keterseimbangan sosial dan siap menggonggong
apabila ada praktik kenegaran yang menyimpang dari cita-cita bangsa.
Sedangkan kata “mahasiswa” sendiri yang berarti
sekelompok masyarakat intelektual yang mengambil posisi depan untuk menyikapi
setiap permasalahan sosial. Perlu diingat
sekali lagi bahwa tugas mahasiswa adalah sebagai agen perubahan.
Pers mahasiswa yang secara historis tidak bisa
terlepas dari setiap perubahan zaman.
Mahasiswa telah dibabtiskan menjadi motor
penggerak. Bukan hanya sebagai pelaku intelektual saja, tapi lebih dari itu mereka
menjadi pelaku perubahan sosial-politik yang menentukan paradigma bangsa
Indonesia.
Kontrol Sosial
Dalam melakukan pembacaan terhadap realitas sosial,
pers mahasiswa mempunyai nilai strategi dan taktik sendiri untuk
mengartikulasikannya di ruang publik. Adanya pemahaman secara teoritikal atas
sebuah kondisi sosial oleh pers mahasiswa dan ternyata menemui kontradiksi pada tataran
realitasnya (social reality). Hal ini
yang kemudian menumbuhkan kesadaran yang mendasari rasa kepedulian dan
keberpihakan terhadap kaum lemah (sense
of belonging). Hal ini berujung
pada terjadinya radikalisme pemikiran dan
bermuara pada radikalisme gerakan mahasiswa.
Adanya depolitisasi kampus pada masa Orba menyebabkan gerakan
mahasiswa berpindah pada gerakan yang berbasis pada masa dan gerakan yang
berbasis pada ide. Protes
yang biasa dilakukan oleh komite aksi dan parlemen jalanan, berpindah pada
kelompok-kelompok studi untuk tetap menyuplai materi aksi. Pers mahasiswa
menemukan dirinya berada pada wilayah kontrol social. Hal
ini disebabkan karena ketimpangan sosial yang
terjadi sampai pada kekerasan terhadap publik berakar pada kondisi subyektif
negara yang berwenang untuk mengekang
kepentingan rakyatnya.
Pisau analisa yang digunakan dalam praktek kontrol
tersebut adalah pada ragam jurnalisme yang diterapkan. Jurnalisme transformati adalah salah
satu bentuk metode analisis yang bertujuan
mencapai kesejahtraan sosial. Bentuk keberpihakannya terhadap kaum marginal
dan tertindas. Adanya relasi kekuasaan yang beroperasi dalam
struktur masyarakat diproduksi oleh negara atau kekuasaan itu sendiri. Hal ini menyebabkan
wacana dominan dan menciptakan kelompok-kelompok dominan. Tetapi dengan adanya
struktur yang dominan itu, telah menciptakan pula struktur yang tidak dominan
atau pinggiran ata yang sering kita sebut
kaum minoritas. Posisi dominasi
tersebut lebih pada subyek dan obyek (penindasan kelas dominan pada kelas minoritas). Kepentingan yang ada
adalah milik kelas dominan. Praktek kekuasaan inilah yang coba diruntuhkan
bangunannya oleh pers mahasiswa dari masa ke masa.
Pers Alternatif
Kenapa harus pers? Kata pers yang berarti sebuah organisasi yang membuat sebuah media jurnalistik
yang kemudian dipublikasikan. Lebih jauh
lagi, pers adalah sebuah institusi sosial yang ada sebagai penyeimbang
kekuasaan dan praktik kenegaraan. Mitosnya bahwa pers adalah sebagai pilar keempat
penyangga demokrasi.
Daniel Dhakidhae mengatakan
bahwa negara selalu cemburu dengan keberadaan pers
dan siapapun yang berada dekat dengannya. Ia hanya boleh dimiliki oleh aparatus
negara, yang lain tidak. Hal ini riil terjadi pada praktik kenegaraan di masa
orde baru di
mana struktur kekuasaan militer
begitu berpengaruh luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penyelenggaraan kepentingan bersama untuk rakyat dilaksanakan dengan modus yang
militeristik. Semua praktik demokrasi harus selalu melalui mekanisme birokrasi
yang ruwet. Semua institusi sosial termasuk pers harus masuk dalam struktur
pengawasan negara. Hak untuk menerbitkan surat kabar atau majalah dan media umum
sejenisnya dimiliki oleh negara. SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)
sebenarnya merupakan
masalah prosedur administrasi. Namun
dibalik semuanya itu, SIUPP dijadikan alat yang
sangat efektif untuk “menghidupkan” dan “mematikan” sebuah perusahaan pers. Pembredelan
Majalah Tempo dan Majalah Detik adalah contoh konkrit dari efektifnya SIUPP
tersebut.
Secara
keprofesian pun pers dan wartawannya harus dalam satu wadah organisasi tunggal. Saat itu PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) menjadi satu-satunya lembaga kewartawanan yang dimiliki. Tidak hanya
sampai pada praktik penguasaan negara terhadap pers secara institusional, orde
baru telah melegitimasi kekerasan sebagai insterumen rasional untuk menciptakan
stabilitas nasional. Stabilitas nasional adalah sebuah tautologi represif yang
produksi oleh negara pada orde baru untuk membentuk karakter kebangsaan yang
militeristik. Kematian Udin wartawan
Bernas adalah sebuah insiden besar terhadap wujud stabilitas nasional. Hal ini menyebabkan pers umum waktu itu, dilihat dimensi
obyektif dan subyektifnya, tidak mempunyai kuasa lebih untuk berbicara mengenai
kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Mereka dibungkam….
Tekanan dari pemerintah yang begitu kuat terhadap pers
tersebut membuat kita akhirnya sadar kalau pemerintah memiliki
phobia terhadap media masa.
Ketakutannya adalah ketika
praktik kuasanya coba dikritisi dan diawasi oleh Pers umum serta diketahui
publik.
Dengan kondisi obyektif bahwa tidak
mungkin pers umum untuk meliput masalah-masalah ketimpangan sosial dan
penyimpangan pada sebuah praktik kenegaraan, maka pers mahasiswa saat itu
memiliki keberanian lebih untuk bisa mengungkap kasus-kasus publik. Namun secara normatif, pers mahasiswa dibelenggu
dengan keberadaan NKK/BKK dan kepemilikan Surat Ijin Terbit (STT) sebagai
syarat mutlak untuk mengelola sebuah lembaga Pers mahasiswa. Perlu untuk diketahui bahwa STT memiliki kesamaan fungsi
dengan SIUPP, yaitu syarat administrasi lembaga Pers/penerbitan yang
dipolitisir untuk membatasi ruang gerak informasi dan kebebsan berpendapat.
Meskipun demikian, praktik
penyelanggaraan pemerintahan orde baru tetap menuai kritik sosial. Jika pada
tahun 1987 mahasiswa memprotes masalah intern kampus dan pada 1988
mempermasalahkan aturan-aturan yang dianggap membelenggu aktivitas politik
mahsiswa, yakni NKK /BKK, memasuki tahun 1989 protes mahasiswa mulai mengangkat
masalah-masalah sosial yang bersifat lokal. Seperti kasus tanah Badega,
Cimacan, Kacapiring, Kedung Ombo dan penggalian pasir Mojokerto. Semua masalah
ini sebenarnya merupakan pembelaan mahasiswa kepada petani.
Di saat Pers Umum mengalami
kemandulan informasi dan pendapat, maka di saat yang sama Pers mahasiswa memberikan
pilihan lain atas sebuah fakta keresahan sosial yang tak terbantahkan
kebenarannya. Ketertindasan itu memang ada dan benar adanya….
***
Tidak hanya Pers mahasiswa
saat itu sajalah yang menjalankan fungsinya sebagai pers alternatif, tapi saat
ini pun pers mahasiswa masih melakukan hal yang sama. Isu atau wacana yang
sering diangkat oleh pers mahasiswa saat ini banyak sekali membicarakan soal
isu-isu yang jarang bahkan tidak sempat diangkat oleh media umum. Sebagai contoh
beberapa persma yang berani mengangkat soal isu tambang yang terjadi di
Yogyakarta. LPM natas yang mengusung isu tambang pasir di pantai selatan Kulon
Progo, LPM pendapa yang saat ini sedang menggarap isu tambang kapur di Gunung
Kidul, dan lain sebagainya. Contoh kedua isu di atas merupakan salah satu
contoh pers mahasiswa tetap mengambil perannya dalam mengusung isu-isu
alternatif.
Ada satu fenomena baru
yang terjadi di pers mahasiswa saat ini. Pers mahasiswa yang dulunya hanya
mengadvokasi melalui tulisan saja, kini sudah sedikit mengalami kemajuan dengan
selain menulis juga ikut mengadvokasi permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Hal
ini dilihat dari beberapa LPM yang ikut aktif dalam mengadvokasi kasus-kasus
yang menekan masyarakat kecil. Bagi saya
ini merupakan sebuah kemajuan. Ingat persma itu adalah media pergerakan.
Artinya tidak hanya menyediakan data-data untuk bergerak atua sebagai aktor
belakang layar saja, tapi juga ikut dalam memainkan peran utama pergerakan itu.
Tulisan ini hanya
merupakan sebuah refleksi tentang keadaan pers mahasiswa saat ini. Saya sangat
berharap terjadi banyak diskusi tentang tulisan ini guna menambah wawasan saya
yang begitu sedikit tentang pers mahasiswa.