Oleh:
Richi Anyan
“Jika
menulis itu ibarat berenang, maka menulis feature itu ibarat renang gaya
kupu-kupu. Hanya ada dua kunci agar orang bisa berenang dengan gaya kupu-kupu.
Pertama, orang harus mengetahui tekniknya. Kedua, orang itu mau mencobanya.”
Pada Mulanya adalah Sebuah Kisah…
Krrriiing… handphon-ku berbunyi sekitar pukul 22.00 malam. Ada telphon dari salah seorang teman. Dia meminta bantuanku untuk mengurus salah seorang pasien miskin yang sudah terbaring selama sebulan di Rumah Sakit Sardjito. Pasien itu seorang anak berumur 3 tahun yang terbaring lemah tanpa perawatan maksimal dari dokter karena tak memiliki biaya. Tak banyak berpikir, tak banyak bicara, aku langsung berangkat menggunakan motor pitung pinjaman. Di sana, aku bertemu dengan bapak pasien, Narsila namanya.
Dua jam kemudia aku sudah kembali
dengan notes yang berisi beberapa catatan baru, reportase dan hasil wawancara
dengan Narsila. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu pasien miskin itu?
Jangankan uang, utang di warung saja belum telunaskan. Namun jika tak membantu,
maka matilah rasa kemanusiaanku.
Aku tidur di atas kasur yang
sudah menipis sembari tangan kanan diletakan di dahi. Mataku tertutup, tapi
pikiranku terus bekerja. Lama berpikir akhir
aku memutuskan untuk menuliskan sebuah feature.
“Malam
kian larut, langit pun gelap gulita. Aku berangkat menuju Rumah Sakit Sardjito
dengan menggunakan motor pitung pinjaman. Di sana aku bertemu dengan salah
seorang bapak yang anaknya sudah divonis terkena tumor ganas. Narsila nama
bapak itu. Sudah sebulan anaknya terbaring lemas di rumah sakit tanpa perawatan
yang maksimal karena tak memiliki biaya. Malaikat pencabut nyawa pun seakan
mendekat. Hati Narsila sama gelapnya dengan malam itu.”
Setelah menulis berita itu, aku
meng-upload ke dalam blog pribadiku. Tujuannya jelas, aku akan menyebarkan
berita itu melalui media elektronik. Hasilnya rubrik berita: “Berharap Pada Keajaiban” (richianyan.blogspot.com) banyak
kalangan yang memberikan bantuan kepada Pak Narsila untuk biaya pengobatan
anaknya.
Itulah batasan kalsik feature.
Cerita feature adalah artikel yang kreatif, kadang-kadang subjetif, yang terutama dimaksud untuk membuat senang
dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, kedaan, atau aspek
kehidupan.
Ada baiknya kita melihat
unsur-unsur yang disebutkan dalam defenisi itu satu per satu.
PERTAMA KREATIVITAS. Tidak
seperti penulis berita biasa, memungkinkan reporter “menciptakan” sebuah
cerita. Memang ia masih diikat etika bahwa tulisan harus akurat, bukan fiktif
atau khayalan. Dari suatu pengalaman atau keadaan seorang wartawan bisa saja
dijadikan sebuah feature. Kemudian, setelah mengadakan penelitian dan
pengumpulan bahan terhadap gagasan itu, ia menulis.
Misalnya kita disuruh oleh pemred
untuk menulis sebuah feature. Biasanya yang kita angkat soal profil dosen atau
satpam kampus, atau karyawan kampus. Kita mungkin bisa mengangkat soal hal-hal
lain di seputaran kampus yang memiliki kontribusi secara tidak langsung dalam
dunia kampus. Sebuat saja tukang angkringan, penjual bakso, atau warung-warung
seputaran kampus. Sadar atau tidak, mreka juga memiliki peran yang sangat
penting dalam dunia pendidikan. Saat kita mengikuti matakuliah dengan perut
kosong, konsentrasi kita akan sangat terganggu.
Suatu ketika saya diminta untuk
menulis sebuah feature. Setelah melakukan observasi, saya memutuskan untuk
menulis berita tentang sebuah warung di pojok realino, tepatnya selatan
kuburuan. Hasilnya, saya mendapatkan sesuatu yang baru. Ternyata warung itu
adalah warung yang pertama kali ada di Mrican.
“Jualan
sekarang sepi, banyak saingannya. Wong lewat mampir. Kalau mahasiswa udah
jarang ke sini, mungkin karena jelek tempatnya,” papar wanita ini sambil
melempar pandangannya keluar ruangan.
Mbah
Buadesima, wanita tua berumur 70 tahun. Kulit mukanya sudah berkerut. Namun
semangatnya untuk menyambung hidup terus membara. Bermodalkan warung makan
peninggalan suaminya, ia terus menyambung hidup di antara persaingan warung
makan lain yang berdiri megah di sampingnya. Dialah yang membuat warung makan
pertama kali di Mrican.
(Richi Anyan.blogspot.com: Warung Makan Pertama Kali di Mrican)
Berita ini bisa menjadi menarik
dan menambah pengetahuan bagi pembaca.
KEDUA SUBJETIVITAS. Berapa
feature ditulis dalam bentuk “aku”, sehingga memungkinkan wartawan memasukan
emosi dan pikirannya sendiri. Meskipun banyak wartawan yang dididik dalam
reporting objektif, hanya memakai teknik
ini bila tidak ada pilihan lain, hasilnya enak dibaca.
Wartawan biasanya menyukai
petualangan dan pengalaman, sambil mencari berita yang kadang-kadang menjadi
sebuah tulisan menarik karena ditulis dalam bentuk “aku”. Misalnya seorang
wartawan melihat-lihat suasana sebuah negara Eropa Timur, dekat setelah
komunisme runtuh. Ia catat pengalamannya mengurus visa. Ia ingat pula bagaimana
petugas-petugas imigrasi negara itu ketika memeriksa paspornya. Petugas itu
terheran-heran sampai melototi paspornya berlama-lama, kok ada orang Indonesia sampai ke situ. Tapi, akhirnya petugas itu
terbahak-bahak.
Lalu dalam perjalanan, ia membuat
catatan bagaimana sejumlah bekal yang “sepele”, dari sabun, sikat gigi, sampai
kembang gula, ketika mobil sewaannya ditinggal sebentar, raib. Ia pun mendapat
kesan bahwa orang-orang negara ituingin sekali berbicara pada orang asing,
setelah sekian lama bercakap-cakap asing ditabukan. Walhasil pikiran dan
pengalaman pribadinya menjadikan feature itu “hidup”.
Namun, para reporter muda harus
awas terhadap cara seperti itu. Kesalahan umum pada reporter baru adalah kecendrungan
untuk menonjolkan diri sendiri lewat penulisan dengan gaya “aku”. Kebanyakan
wartawan kawakan memakai pedoman begini: “Kalau Anda bukan tokoh utama, jangan
sebut-sebut Anda dalam tulisan Anda”.
KETIGA INFORMATIF. Feature bisa
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai situasi atau aspek kehidupan
yang mungkin diabaiakan dalam penulisan berita biasa di koran.
Sebagai salah satu contoh adalah
berita “berharap pada Keajaiban”. Setelah berita ini dimuat di blog, keesokan
harinya berita ini menjadi berita hangat di beberapa media local dan juga
nasional. Selain itu, Pak Narsila pun mendapat bantuan berupa dana dari
berbagai kalangan untuk pengobatan anaknya.
Aspek informatif mengenai
penulisan feature bisa juga dalam bentuk-bentuk lain. Feature bisa
menerjemahkan akibat suatu bencana pada umat manusia dengan memusatkan
perhatian kepada keadaan masyarakat yang tertimpa bencana. Kondisi sosial,
seperti perumahan bisa digambarkan secara efektif dengan pelukisan yang baik.
Ada banyak feature yang enteng-enteng,
yang ditangan penulis yang baik bisa menjadi alat yang ampuh. Feature bisa
menggelitik hati sanubari manusia untuk menciptakan perubahan konstruktif.
KEEMPAT MENGHIBUR. Dalam 20 tahun
terakhir ini, feature menjadi alat penting bagi surat kabar untuk bersaing
dengan media elektronik. Wartawan surat kabar mengakui bahwa mereka tidak akan
bisa “mengalahkan” wartawan radio dan televise dalam hal kecepatan penyampaian
berita pada masyarakat. Wartawan radio dan televise bisa mengudarakan cerita
besar hanya dalam beberapa menit setelah mereka tahu sesuatu telah terjadi.
Sementara itu, wartawan Koran sadar bahwa baru beberapa jam setelah kejadian,
pembacanya baru bisa tahu suatu kejadian setelah koran diantar.
Namun wartawan harian, apalagi
majalah bisa mengalahkan saingannya, radio dan televisi, dengan cerita
eksklusif. Ia juga bisa membuat versi yang lebih mendalam mengenai sebuah
cerita yang disiarkan radio.
Dengan patokan seperti itu dalam
benaknya, ia selalu mencari feature dalam berita-berita yang paling hangat.
Cerita feature biasanya eksklusif, hingga sulit dikalahkan oleh radio dan
televise, juga koran lain.
Feature memberikan variasi
terhadap berita-berita rutin, seperti pembunuhan, skandal, bencana, dan
percaturan politik, yang selalu menghiasi kolom-kolom berita. Feature bisa
membuat pembaca tertawa tertahan.
Seorang wartawan bisa menulis
“cerita berwarna-warni” untuk menangkap perasaan dan suasana pada pembukaan
sebuah pertandingan olah raga. Ia berbincang dengan polisi, penjual minuman,
dan istri pemain yang menjadi bintang. Hasilnya berupa cerita yang menarik
mengenai manusia, yang membuat seolah-olah pembaca hadir dan duduk di tempat
yang terpilih.
Dalam setiap kasus, sasaran utama
adalah bagaimana menghibur pembaca dan memberikan kepadanya hal-hal yang baru
dan segar.
KELIMA AWET. Menurut seorang
wartawan kawakan, Koran kemarin hanya baik untuk bungkus kacang. Unsur berita
yang semuanya penting, luluh dalam waktu 24 jam. Berita mudah sekali “punah”,
tapi feature bisa disimpan berhari, berminggu, atau berbulan-bulan. Koran-koran
kecil sering menyimpan naskah yang tak melulu menyajikan berita keras, dan yang
disimpan itu kebanyakan feature. Feature ini disimpan di ruang tata muka,
karena editor tahu bahwa nilai cerita itu tidak akan musnah dimakan waktu.
Banyak wartawan kawakan yang
menyimpan daftar ide feature untuk hari-hari yang kurang berita hangat. Dengan
feature yang matang siap di tangan, ia bisa meyakinkan editornya bahwa ia
selalu produktif. Beberapa wartawan bahkan sudah melengkapi ide featurenya
dengan riset, hingga ia bisa segera menuliskannya bila diperlukan mendadak.
Dari kaca mata wartawan, feature
mempunyai keuntungan lain. Tekanan deadline
longgar sehingga ia mempunyai waktu cukup untuk mengadakan riset secara cermat,
dan menulisnya kembali sampai mempunyai mutu yang tertinggi.
Menyiapkan sebuah feature yang
mendalam memerlukan waktu. Profil seorang kepala polisi mungkin baru bisa
diperoleh setelah kawan-kawan sekerjanya, keluarga, musuh-musuhnya, dan kepala
polisi itu sendiri diwawancarai. Diperlukan waktu juga untuk mengamati tabiat,
reaksi terhadap keadaan tertentu, dari perwira itu.
KEENAM PANJANGNYA. Bila seorang
reporter bertanya berapa panjang seharusnya ia membuat feature, editor mungkin
menjawab, “sepanjang Anda menganggapnya masih menarik.”
Cerita feature panjangnya
bervariasi dari dua atau tiga alinea sampai 15 atau 20 lembar ketik dua spasi
(dihitung dengan computer, anatara 500 dan 50.000 karakter). Minat pembacalah yang
harus menjadi patokan.
Walaupun tidak ada batasan berapa
panjang artikel harus dibuat, tidak berarti kita boleh menulis panjang,
bertele-tele. Seorang penulis feature yang baik selalu sadar bahwa kata-kata
yang tidak penting dan bertele-tele akan mengurangi kesempatan sebuah feature
bisa dimuat. Kalaupun tulisan itu dimuat, pembaca akan cepat bosan dan segera
melompat ke tulisan lain.
Penulis juga sadar bahwa mengedit
suatu tulisan adalah proes yang rumit. Seorang editor tidak bisa begitu saja
memotongnya pada bagian akhir tulisan. Materi harus dipotong secara cermat,
kata demi kata, baris demi baris.
Maka, penulis harus menulis
ringkas dan tidak bicara ke sana-kemari, artiny tetap bersandar pada bahan
tulisannya. Bila editor naskah dengan seenaknya memotong alinea yang sebenarnya
menentukan, penulis yang bertele-tele tadi ikut juga bersalah.
Langkah Awal
Sebelum kita memulai menulis,
kita harus thu terlebih dahulu langkah awalnya. Mungkin langkah awal ini sudah
kalian pelajari saat diklar dasar yaitu riset, wawancara, dan data pustaka.
Saya tidak akan menjelaskan terlalu panjang lebar soal hal ini. Ada baiknya
kalian juga perlu mengingat kembali materi teknik reportase. Akan tetapi untuk
melengkapi tulisan ini, maka ada baiknya saya mengajak kita untuk mengingat
kembali apa yag sudah pernah kalian pelajari.
PERTAMA RISET. Sebelum memulai
kata pertama, reporter mungkin berminggu-minggu melakukan riset, mengamati
subjek dari berbagai sisi, berbicara dengan kawan-kawan, musuh, dan kerabatnya.
Ia mungkin ikut makan siang dengan subjek di rumahnya, sambil mencatat.
Basilius Triharyanto, seorang
wartawan pantau, sebelum menulis tentang nasib orang-orang Tionghoa saat
munculnya Peraturan Pemerintah No. 10 yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari
1960, dia sudah melakukan risetnya lebih dari tiga bulan. Setelah itu dia mulai
memilih angle tulisannya. Akhirnya dia memili Tjiong Ping Kwan sebagai tokoh
pengantar tulisannya. Untuk bisa mengenal Tjiong Ping Kwan , ia harus tinggal
bersama selama tiga bulan. Dia mengetahui kisah hidup Tjiong Ping Kwan,
masa-masa sulit di saat orang-orang Tionghoa lain lari ke Hongkong, dan
bagaimana Tjiong Ping Kwan bertahan hidup di Indonesia.
Anda harus tahu apa yang sudah
dikerjakan orang lain atas isu yang hendak anda tulis. Riset bikin naskah anda
bertenaga, tidak murahan, tahu secara benar memandang isu.
KEDUA WAWANCARA. Wawancara adalah
kunci dari sebuah berita. Tanpa wawancara, suatu berita akan menjadi sangat
hambar, atau bahkan bisa disebut bukan berita. Wawancara digunakan untuk
memperoleh fakta tentang apa yang dialami, apa yang dilihat, atau apa pendapat
maupun harapan seseorang berkaitan dengan suatu peristiwa. Wawancara selalu
dilakukan terhadap beberapa pihak. Sebagai contoh, dalam peristiwa pemukulan,
ada pihak pemukul, pihak korban pemukulan dan saksi mata. Untuk memperoleh
fakta lengkap tentang peristiwa pemukulan tersebut, jurnalis perlu mewawancarai
ketiga pihak itu.
Ketika melakukan wawancara, ada
tiga hal pokok yang perlu ditanyakan oleh jurnalis, masing-masing kesan
indrawi, atribut dan pendapat/ harapan seseorang. Kesan indrawi seseorang
diperlukan, sebab jurnalis belum tentu menyaksikan sendiri peristiwa. Dalam
peristiwa pemukulan yang tidak disaksikan oleh wartawan, fakta tentang pemukulan
seperti kapan, dimana, mengapa dan bagaimana, hanya dapat diperoleh dengan
mewawancarai si pemukul, korban, atau saksi.
Selanjutnya, atribut seseorang diperlukan untuk memberi gambaran bagi pembaca sehingga menjadi jelas siapa seseorang tersebut dan pada posisi mana yang bersangkutan dalam peristiwa yang terjadi. Atribut mencakup nama, usia, status (ekonomi, sosial, dsb), dan lain-lain, termasuk hubungan antar pihak yang berinteraksi dalam peristiwa. Semisal, pemukulan si A terhadap si B. Fakta bahwa A adalah Ketua DPRD Yogyakarta dan B anggota DPRD Sleman, yang sama adalah atribut bagi kedua orang tersebut, selain nama masing-masing. Atribut sebagai ketua dan anggota DPRD menjadi fakta yang memberi makna tertentu bagi peristiwa pemukulan tersebut.
Bagi tokoh tenar, tentu saja nama, usia, pekerjaan, dan sebagainya, tidak lumrah ditanyakan, karena fakta semacam itu biasanya sudah menjadi fakta publik (misalnya terekam dalam buku tentang tokoh penting).
Kemudian pendapat, harapan,
cita-cita, atau aspirasi seseorang yang diwawancarai. Sebagai fakta, sudah
tentu pendapat dan sebagainya itu hanya bisa diperoleh melalui wawancara.
Kembali pada kasus pemukulan, melalui wawancara misalnya diketahui bahwa korban
pemukulan bermaksud mengadukan si pemukul ke polisi agar diadili.
Tidak selalu wawancara berjalan
lancar. Di satu sisi, pertanyaan yang terlalu langsung ke masalah, terlalu abstrak lantas tidak dipahami, atau terlalu dangkal sehingga
tidak menggelitik kapasitas intelektual yang bersangkutan, menyebabkan pihak
yang diwawancarai enggan menjawab. Bisa pula terjadi, pertanyaan yang
dirumuskan bernada memojokkan, membuat yang bersangkutan marah lalu berhenti
menjawab. Kendala lain, pihak yang diwawancarai sukar merumuskan pikiran,
sehingga memberi jawaban yang tak jelas atau sepotong-sepotong.
Menghadapi pelbagai kendala semacam itu, diperlukan banyak kiat dalam merumuskan dan mengajukan pertanyaan. Kiat yang tepat dapat dipelajari berdasarkan pengalaman sendiri maupun orang lain, namun perlu didukung pemahaman atas karakter seseorang.
Menghadapi pelbagai kendala semacam itu, diperlukan banyak kiat dalam merumuskan dan mengajukan pertanyaan. Kiat yang tepat dapat dipelajari berdasarkan pengalaman sendiri maupun orang lain, namun perlu didukung pemahaman atas karakter seseorang.
KETIGA DATA PUSTAKA. Data pustaka
menjadi kekuatan tambahan untuk menjadikan artikel kita bukanlah sebuah artikel
murahan. Pada saat Gunung Merapi meletus tahun 2010, KOMPAS mengupas itu tidak
hanya dari berapa sisi korban atau data statistic keaktivan Gunung merapi saja,
tapi ada hal lain yang mereka tuliskan yaitu mitos dari letusan Gunung Merapi
itu sendiri. Mitos Gunung Merapi ini mereka ambil selain dari wawancara, juga
dari beberapa buku. Hasilnya, pembaca pun tahu tentang mitos dari letusan
Gunung Merapi yang sering dikenal dengan
“Wadus Gembel”.
Adala lagi, yaitu Imam Sohfwan,
sekarang menjabat sebagai Direktur Yayasan Pantau. Tujuh tahun setelah Timor
Leste merdeka, masih ada banyak luka yang ditinggalkan “penjajah” sebelum
kemerdekaan. Salah satunya adalah kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh aparat
kepada para wanita muda di Timor Leste.
Melihat hal itu, Imam Sohfwan melakukan reportase. Artikel featurenya menarik dan akurat karena dilandaskan juga pada data pustaka. Setelah melakukan riset, wawancara, dan pengayaan data pustaka, maka munculah sebuah feature dengan judul “Dua Anak Serdadu” (Pantau, 23 Agustus 2007).
Melihat hal itu, Imam Sohfwan melakukan reportase. Artikel featurenya menarik dan akurat karena dilandaskan juga pada data pustaka. Setelah melakukan riset, wawancara, dan pengayaan data pustaka, maka munculah sebuah feature dengan judul “Dua Anak Serdadu” (Pantau, 23 Agustus 2007).
Siapkan Senjata
Setelah semua data sudah ada di
tangan kita, marilah kita gerakan senjata-senjata yang dipakai oleh wartawan
professional untuk menaklukan pembaca yang kurang bersemangat. Senjata-senjata
dalam menulis feature yaitu angle, outline, fokus, deskripsi, anekdot, dan kutipan.
ANGLE atau sering juga
disebut segi, sisi, atau sudut pandang. Dalam menulis feature, angle ini
menjadi roh dari feature. Angle ini yang akan menentukan fokus, outline,
deskripsi, anekdot, dan kutipan dalam tulisan.
Bayangkan jika Anda adalah seorang
wartawan sebuah koran ternama di negaramu. Pada suatu kejadian, preseden atau
kepala negara mati ditembak oleh orang tak dikenal. Berita apa yang akan Anda
buat terkait kejadian ini? Angle apakah yang mau Anda pilih untuk dibuat
menjadi berita yang unik dibandingkan media-media lain?
Jimmy Breslin, salah seorang
wartawan New
York Herald Tribune melakukan sesuatu yang cukup berbeda dengan kejadian
pembunuhan Jhon F. Kenndy pada beritanya di tahun 1963. Angle yang dipilih untuk berita tentang
kematian presiden Amerika Serikat ini adalah seorang penggali kubur. Berita
dengan judul “Ini sebuah Kehormatan” (New York Herald Tribune: It’s an Honour. 1963) menjadi berita terbaik di tahun itu, bahkan
hingga saat ini.
OUTLINE. Apa yang sering
membuat seorang wartawan gugup? Menulis laporan utama. Itu artinya Anda harus
menulis minimal 15 halamanfolio. Kalau di persma minimal kita menulis lima
halaman folio.
Umumnya laporan seperti ini
dilahirkan dari sejumlah besar bahan. Beberapa puluh halaman hasil reportase,
wawancara, dan dari bagian dokumentasi yang dikumpulkan untuk And abaca dan
Anda sunting menjadi satu cerita yang utuh dan menarik.
Mengerikan? Tanang saja.
Seharusnya yang Anda pikirkan adalah apa yang harus Anda lakukan?
Penulis yang kurang berpengelaman
biasanya mengambil laptop terus menulis suatu lead yang hebat. Tak ayal lagi
beberapa alinea setelah itu tertumbuk pada persoalan apa yang harus saya
tuliskan setelah ini?
Di situlah kesalahannya. Ia
mengira suatu cerita telah terjadi di kepala hanya karena ia sudah mengerti
tema dan anglenya. Ia tidak sadar bahwa ada perbedaan besar dengan menulis
sebuah cerita 3 halaman dan sebuah cerita 18 halaman.
Outline memang sering disepelekan
atau salah mengartikannya atau mungkin juga ia tidak bisa membuatnya. Akibatnya
penulis sering melenceng dari fokus. Akibat lain adalah kekacauan urutan
cerita. Pengulangan yang tak perlu juga bisa bisa terjadi karena kita menulis
tanpa outline. Demikianlah Anda tahu manfaat dari outline.
Ada sebuah pepatah kuno
mengatakan, “Mengaji dari alif…” ritinya mengerjakan sesuatu itu harus dimulai
dari awal. Nah, untuk menntukan “alif”, kita harus membuat outline. Artinya,
pada outlinelah kita dapat menentukan bagian awal cerita. Outline juga akan
menentukan urutan cerita.
Secara garis besar ada beberapa
urutan cerita yaitu urutan sebab-akibat, urutan akibat-sebab, urutan
khusus-umum, urutan khusus umum, urutan pemecahan masalah.
Urutan sebab-akibat yaitu kita
melihat terjadinya sesuatu dan kita coba membicarakan akibat-akibatnya, baik
yang sudah maupun yang akan terjadi.
Urutan akibat-sebab yaitu kita menyoroti sebab musebab terjadinya suatu peristiwa.
Urutan akibat-sebab yaitu kita menyoroti sebab musebab terjadinya suatu peristiwa.
Urutan khusus-umum: Misalnya
televise masuk desa di pedalaman Kalimanta, tapi di sana hanya dijadikan alat
hiasan karena belum ada listrik. Televise masuk desa di Bali dan di sana
terjadi perubahan kegiatan berkelompok kalau malam hari, hingga orang tidak lagi aktif dalam
berkesenian. Televisi masuk desa di Papua dan pace-mace menjadi wangi oleh parfum multinasional karena iklan.
Dari kejadian-kejadian khusus di atas dapat disimpulkan tentang suatu pola umum
bahwa TV masuk desa dan merubah peri hidup pedesaan di Indonesia. itulah pola
urutan khusu ke umum.
Urutan umum khusus: kita bicara
mula-mula soal kesan umum. Setelah itu kita rinci satu demi satu.
Urutan pemecahan masalah: urutan
ini dimulai dengan suatu problem. Setelah pemaparan masalah, kita pun mencoba
menulis tentang bagaimana cara pemecahannya.
FOKUS adalah langkah
penentu, baik dalam penyatuan cerita maupun dalam penulisannya. Reporter harus bisa
menyempitkan topik agar dapat dikendalikannya, tapi juga harus longgar buat
menampung bahan yang menarik.
Penulis harus tetap setia pada
fokus. Namun biasanya penulis banyak tergoda untuk memasukan hal-hal lain dalam
tulisannya. Akibatnya, penulis hanyut dalam ratusan persoalan lain yang tidak
lekat dengan pokok persoalan. Hasilnya, feature yang membingungkan atau
membosankan pembaca karena arus cerita terganggu. Bila penulis tidak berpegang
erat pada fokus, penulis dan pembaca bisa tersesat di hutan kata-kata yang
tanpa arah, tujuan, dan arti.
Disiplin adalah senjata penulis
untk berpikir terus pada pokok persoalan. Ia harus bisa menjadi penguasa
kata-kata dan gagasannya sendiri, bukan menjadi budak dorongan hatinya.
Tampaknya hal ini hanya masalah biasa. Namun, banyak juga wartawan yang
kadang-kadang membiarkan tulisannya hanyut dan menyimpang dari fokus sehingga
merusak featurenya.
Agar tidak melenceng dari fokus,
penulis harus mempersoalkan setiap bagian materi yang dipakai, sebelum dan
sesudah tulisannya selesai. Lihat pada buku catatan Anda. Periksa setiap
potongan informasi untuk mengetahui apakah itu cukup relevan dengan pokok
persoalan atau tidak. Bila tidak relevan atau tidak membantu Anda mencapai
sasaran pokok, yaitu bercerita efektif, singkirkan atau coret saja sehingga
nantinya tidak akan terganggu. Jangan punya belas kasihan pada materi yang
tidak relevan, buang!
Setelah Anda menulis, perhatikan
setiap blok materi yang Anda pakai. Apakah masih ada hubungan yang jelas dengan
fokus cerita? Kalaupun relevan, apakah dia menambah sesuatu yang berharga dalam
usaha Anda bercerita? Bila tidak, coret saja karena hal itu hanya akan
mengurangi efektivitas tulisan Anda.
Untuk meringkas perlunya fokus,
maka reporter harus cermat memilih angle cerita sehingga ia dengan mudah
mengolah bahan yang diperlukan untuk cerita itu. Selain itu, pegang teguh angle
cerita itu dengan menghapus bagian yang tidak berhubungan langsung dengan
anglenya atau yang tidak membantu mencapai sasaran.
DESKRIPSI. Dalam beberapa hal televise
menang terhadap media cetak karena media elektronik ini bisa menggambarkan
bentuk fisik orang atau barang dengan jelas di layar monitor. Pemiras bisa
menangkap sosok dan wajar, serta bisa menilai langsung seorang tokoh yang
ditayangkan televise. Sedangkan pembaca media cetak harus berupaya membayangkan
tokoh tersebut dari kata-kata yang tercetak (atau lewat potret kalau ada),
untuk memperoleh gambaran seorang tokoh cerita.
Akan tetapi, dalam beberapa hal,
penulis yang bisa mengubah kelemahan media cetak ini menjadi kemenangan.
Caranya adalah dengan menggunakan penulisan deskripsi. Gambaran yang ditangkap
dari kamera dangkal, hanya dari satu
sisi saja. Kelemahan televise adalah bahwa ia sangat terikat waktu yang sangat
berharga, sehingga reporter TV jarang bisa memperoleh gambar yang mendalam.
Kalaupun waktu cukup tersedia untuk film documenter, katakanlah ½ jal,
kehadiran kamera TV akan mengurangi suasana yang wajar dan realistis.
Penulis feature tidak hanya
memberikan gambaran satu dimensi, tapi keseluruhan pribadi dan citra seorang
tokoh. Dalam hal yang digambarkan, bukan seseorang, tapi suatu tempat setelah
ditempa musibah, atau masa berskaria, penulis bisa menampilkan suasananya.
Leonardo Da Vinci melakukan
pekerjaan yang hebat dengan menghasilkan tokoh lukisannya, Monalisa. Tapi
monalisanya toh terkungkung oleh kanvas.
Monalisa tidak bisa berinteraksi
dengan berbicara, berjalan dengan salah satu kaki, tertawa renyah bila atau
menggigit bibir bawah bila sedang ggup. Bagamanapun kuat ekspresi wajahnya, ia
tetap beku.
Penulis yang baik bisa menangkap
perwatakannya lebih k(dalam tulisannya) daripada yang bisa dilakukan oleh
seorang pelukis dalam kanvas. Penulis bisa menggambarkan suatu objek dari
setiap seginya yang bisa diketahui, setiap tindakan, dan menangkap cirri-ciri
halus yang menyebabkan subjeknya bisa ditampilkan sebagai manusia yang unik.
Penulis feature deskriptif yang
baik merupakan gabungan dari beberapa kecakapan: pengumpulan berita reportase,
kemampuan observasi yang tinggi seorang wartawan, pengetahuan tentang manusia
sesuai dengan pengalaman reportase, dan kemampuan yang baik untuk meramu
kata-kata secara ringkas, tapi sangat efektif.
Jika beberapa kecakapan di atas
sudah digabungkan maka penulis tersebut dapat menghasilkan feature yang baik.
Penulis feature yang baik adalah pembaca yang mampu membuat pembaca seolah-olah
hadir, melihat, mendengar, dan merasakan suasana dalam tulisan itu. Efek
“Anda-hadir-di-sana”, kata TEMPO, sangat penting untuk penulis feature. Caranya
hanya bisa dicapai lewat deskripsi atau lukisan.
Berikut adalah contoh penulisan
deskriptif dari salah seorang anggota natas yang mengikuti pelatihan menulis
feature. Pelatihan ini diadakn oleh LPM Keadilan FH UII.
Rehat
di Musim Rambutan
Oleh:
Fafa
Matahari sudah tenggelam di barat. Langit gelap. Selepas
maghrib kompleks perumahan ini senyap. Udara kala itu membuat saya ingin segera
pulang ke kos. Beristirahat, setelah seharian beraktivitas di kampus. Sepeda
ontel saya yang berkarat mengeluarkan suara lebih berisik ketika saya kayuh
lebih kencang. Bannya berdecit begitu sepeda itu saya rem beberapa meter di
depan pagar kos.
Turun dari sepeda, saya mendengar suatu suara yang sudah
familiar di telinga saya. Keheningan kompleks perumahan membuat suara kaki yang
diseret itu terdengar jelas. Dari keremangan pekarangan rumah induk semang,
muncul seorang bapak tua dengan karung berwarna putih di punggungnya. Ia
melangkah menjauhi sebuah bak sampah kecil yang terletak di sudut pekarangan,
baru saja memulung.
Tersiram sinar bohlam jingga yang teduh, sosoknya semakin
jelas. Topi di kepalanya menceng. Sebagian rambutnya beruban. Pakaian lusuh
yang dikenakannya terlalu besar untuk badannya yang pendek dan kurus. Kulit
legamnya jadi indikasi bahwa ia sering berhadapan dengan panas matahari siang.
Ia bongkok. Sebuah kakinya diseret karena pincang. Salah satu kakinya itu tidak
dapat menapak lurus ke depan karena bengkok ke samping.
Ia melangkah makin dekat dengan tempat di mana saya berdiri.
Kini wajahnya tampak lebih jelas. Kumis dan jenggot yang senada warna
rambutnya, tidak lebat. Matanya lelah. Kelopaknya banyak berkedip. Giginya
tidak rapi pun tak bersih. Bibirnya tidak mengatup karenanya. Kurang dari
semenit saya perhatikan dia, tapi dia tidak menyadari itu sampai akhirnya kami
bertatapan dan saling senyum.
“Pak,” saya menyapanya kemudian. Ia membalas sapa. Sorot
polos dan tulus tersirat di mata lelahnya. Saya masih terpaku di tempat saya
berdiri, menatapnya menjauh.
Bukan pertama kali itu saya berpapasan dengannya, pun bukan
terakhir kali. Beberapa hari kemudian saya masih kerap berpapasan dengannya
saat ia kerja. Tak hanya pada saat malam ia memungut, tapi juga pada pagi,
siang, dan sore. Hal ini sempat membuat saya berkesimpulan ia tak pernah rehat
barang sebentar dari memulung. Tapi kesimpulan saya terpatahkan saat melihatnya
duduk merokok di sebuah simpang jalan: berjualan rambutan bersama istri. Ya, di
musim rambutan ia tidak terlihat memulung.
“Dua ribu, mbak,” jawabnya dengan sorot mata yang saya kenal
ketika saya tanya berapa harga seikat rambutannya.
Secara ringkas, penulisan
deskriptif ibarat daging yang mengisi rangka cerita, hingga membuatnya hidup,
seolah-olah bernapas, suatu kesatuan yang bisa menggaet minat pembaca serta
memberikan gambaran yang lebih realistis.
Petunjuk untuk penulisan
deskriptif:
Pertama, ingat bahwa Anda
sesungguhnya adalah mata, telinga, hidung pembaca. Tugas Anda mengumpulkan
bahan-bahan yang terpilih, yang bisa dianalisa dan dicerna pembaca, hingga
menjadi suatu gambar. Untuk memerankan hal ini, Anda harus awas terhadap setiap
ciri, betapapun halusnya, yang akan membantu pembaca menemukan gambar atau
citra yang tepat.
Kedua, kehadiran Anda
sebagai reporter jangan samapai mempengaruhi Si subjek. Berbuatlah sehingga
Anda bisa mengamati subjek itu (misalnya seorang tokoh) dalam keadaan
sewajarnya. Bila perlu mengadakan waancara, cobalah lakukan agar Si subjek bisa
merasa santai dan berbuat lebih wajar, tidak kaku, atau dibuat-buat.
Ketiga, kumpulkan
sebanyak-banyaknya catatan, lebih banyak dari yang bisa Anda pakai. Kemudia,
sebelum menulis, saringlah catatan itu untuk menentukan hasil pengamatan mana
yang paling efektif menangkap gambaran wajah dan watak Si subjek serta
sekitarnya.
Keempat, dalam menulis,
sebarkan deskripsi sepanjang cerita. Jangan dihimpun di satu bagian. Ini akan
memperenak arus baca.
Kelima, ambillah jalan
tengah antara terlalu banyak deskripsi dan terlalu sedikit deskripsi. Ini
adalah target penulis feature. Bila ceritanya terlalu penuh dengan detail
penulisan yang kurang penting. Bila cerita tidak berhasil membuat Anda
“melihat” Si subjek, tambahkanlah deskripsi.
Keenam, meski penulis harus
menjadi mata, telinga, dan hidung pembaca, ia tidak boleh mencoba memerankan otak
pembaca dengan menyisipkan kesimpulan dan penafsirannya sendiri. Sering
kesimpulan seperti itu hanyalah tanda kemalasan, mengambil jalan pendek dengan
menghindari keharusan deskripsi.
Ada beberapa hal lain yang
menjadi larangan dalam menulis feature yaitu tidak boleh menuliskan hal-hal
yang general. Misalnya, langit begitu cerah di sore itu atau angin bertiup
spoi-spoi, dan lain sebagainya. Jika itu tidak ada hubungannya dengan isi dari
berita itu, maka janganlah ditulis. Jika itu punya hubngan dengan isi berita
yang mau kita sampaikan, maka bolelah ditulis.
Contoh pertama, “Langit mendung sore itu di Gejayan. Pak
Pati dengan cepat mendayung becaknya kembali ke rumah. Dia baru saja mendapat
kabar bahwanya istrinya mengalami kecelakaan dan harus segera di bawah ke rumah
sakit”. Pada contoh ini, penulis mencoba menghidupkan suasana dengan
hal-hal yang general (langit mendung sore itu di Gejayan). Apa bedanya langit
mendung di Gejayan dengan langit yang mendung di Mrican? Apa hubungannya dengan
berita ini? Kalau tidakada hubungannya, jangan pernah memasukan hal yang
general.
Contoh kedua, “Kami makan anggur kematian dan anggur itu
lezat. Berair, biru kehitaman, manis, dan asam. Mereka menggantungkan setandan
anggur masak di beranda belakang rumah milik muslim yang istrinya belum lama
tewas oleh bom orang Sebia. Ini senja di Bosnia, langit sama birunya dengan
anggur-angur itu.”
Ini salah satu contoh jika ingin menggunakan hal-hal yang general dalam tulisan. Hal general bisa dimasukan apabila ada hubungan dengan apa yang mau kita beritakan.
Ini salah satu contoh jika ingin menggunakan hal-hal yang general dalam tulisan. Hal general bisa dimasukan apabila ada hubungan dengan apa yang mau kita beritakan.
Hal lain yang menjadi larangan
dalam penulisan feature atau berita adalah kata sifat. Jangan pernah
menggunakan kata sifat karena penulis bisa saja salah tafsir. Contoh: “Diam!” Teriak Pak Kadir dengan marahnya.
Apa benar Pak Kadir marah? Atau dia hanya tegas untuk menenangkan suasana?
Penulis dalam hal ini bisa saja benar, dan bisa juga salah. Ada baiknya kalau
mau menggambarkan kata sifat dengan cirri-ciri gerakan tubuh yang lain.
Misalnya: “Diam!” Teriah Pak Kadir dengan
dahi mengerut sembari memukul meja sekuat tenaga. Pada contoh ini, pembaca
sendii yang akan mengambil kesimpulan apakah Pak Kadir marah atau tidak.
ANEKDOT. Kepandaian
mengisahkan cerita sering dibantu oleh adanya anekdot, yakni cuplikan kejadian
yang lucu atau menarik, yang memberikan tinjauan ke dalam subjek cerita itu dan
sekaligus menghibur pembaca. Dalam feature, anekdot bisa berperan sebagai
“cerita dalam cerita”, berupa cerita oleh atau tentang Si subjek.
Mengumpulkan anekdot bisa lebih
sulit daripada yang kita duga. Penulis feature mungkin bisa berbicara dengan
banyak orang yang mengetahui Si subjek untuk mencari anekdot yang bisa menambah
wawasan kita tentang wataknya.
Gudang anekdot seorang reporter
merupakan sumber yang penting sekali. Ia bisa mengingat-ngingatnya bila akan
menulis feature tentang pribari atau lembaga.
Misalnya cerita tenang pengalaman
polisi susila menangkap pelacur di hotel.
“Kami tahu bahwa
pelayan hotel menyediakan pelacur, sehingga saya berpakian sebagai tamu dan
mendaftarkan diri ke resepsionis. Teman saya duduk di ruang tunggu dan dia
harus berlagak seolah-olah sedang menunggu seseorang.”
“Pelayan hotel
memberikan “extrservice” dan membawa wanita. Saya turun tangga dan membeli
sebungkus rokok untuk memberi kode kepada kawan saya. Ia seharusnya masuk ke
kamar saya dalam waktu 15 menit untuk melakukan penangkapan. Ia juga harus
menangkap saya agar penyamaran berhasil.”
“Wanita itu sudah
datang ke kamar saya dan saya sudah siap-siap. Setengah jam kemudian teman saya
belum mncul juga. Maka, saya lakukan penangkapan sendiri. Ketika saya membawa
wanita dan pelayan hotel itu turun, teman saya masih menunggu di ruang tunggu.”
“Ia sedang membaca buku
komik dan tertawa”.
Maka tidak mengherankan bila
banyak reporter yang menganggap anekdot sebagai permata dan menaburkan permata
itu di semua bagian cerita.
KUTIPAN. Dalam menulis
berita, ada dua macam kutipan yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak
langsung. Saya di sini tidak akan menjelaskan apa itu kutipan secara garis
besar sesuai dengan apa yang ada dala EYD. Saya hanya akan menjelaskan bagian
saya yaitu bentuk kutipan dalam sebuah berita.
Kutipan langsung adlah suatu alat
penulisan yang paling efektif. Bagaimana pandainya seorang penulis, ia perlu
pergantian langkah untuk menghilangkan gaya yang sudah monoton. Penulis novel
memakai dialog untuk menghentikan kejemuan. Setelah dengan cermat menciptakan
perwatakan, penulis berusaha membuat tokohnya “berbicara” dengan gaya yang pas
dan cocok dengan pribadi dan latar belakang tokoh itu sendiri.
Pemakaian kutipan — baik dialog
maupun monolog — memberikan selingan dan variasi dalam cerita. Selain itu juga
dapat memberikan wawasan tentang si tokoh.
Meskipun nada suara tidak bisa
dicatat dengan baik dalam tulisan, pemilihan kata-kata dan gaya bisa dipakai
untuk menunjukan kepribadian Si subjek. Gaya kutipan yang sesuai dengan isi cerita akan membuat pembaca
seakan-akan “mendengar” sendiri ucapan yang tercantum dalam kutipan itu.
Bagi penulis feature di surat
kabar, pemakaian kutipan yang terampil adalah kekuatan vital untuk menjaga agar
pembaca tidak berpindah setelah membaca separuh cerita karena merasakan gaya
yang itu-itu juga.
Mari kita mabil sebuah contoh
kutipan:
“Diam!”
kata Pak Kadir.
Kutipan yang sudah agak rutin ini
memberikan informasi yang menarik kepada pembaca tentang watak pak kadir. Meski
begitu, kata-katanya datar saja dan tidak mencolok.
Bentuk kutipan langsung lebih
terasa keaslian kutipan itu. Kutipan ini juga menghilangkan kebosanan. Dengan
menambah sedikit saja, efeknya makin besar.
“Diam!”
kata Pak Kadir dengan nada tinggi.
Dengan tambahan sedikit ini,
unsur nada suara jadi terasa. Telingan bagin dalam pembaca seakan-akan tergetar
karena “mendengar” Pak Kadir berteriak dengan nada tinggi.
Memang kutipan mempunyai beberapa
keuntungan. Namun penulis harus peka terhadap pelbagai pertimbangan etis.
Kutipan bukan hanya menulis apa yang dikatakan Si subjek, tapi harus disajikan
sesuai dengan apa yang dikatakannya.
“Diam!”
kata Pak Kadir dengan nada tinggi sembari memukul meja sekuat tenaga. Suasana
kelas saat itu sangat gaduh tidak ada seorang murid pun yang mau mendengarkan
penjelasan darinya. Masing-masing asyik dengan kesibukannya sendiri.
Masih ada satu lagi yang
merupakan kewajiban wartawan yaitu mempertimbangkan bagian etis terhadap
catatan off the record. Misalnya
dalam sebuah wawancara dengan salah seorang Dosen Sanata Dharma yang mengungkap
rasa tidak senangnya pada salah seorang Kepala Program studinya.
“Yuliana
adalah Kaprodi yang paling tidak bermutu dan paling malas yang pernah saya
temui selama menjadi dosen” katanya. Segera setelah sadar bahwa komentarnya itu
akan menimbulkan kesulitan, dosen itu
menambahkan, “Tapi ini off the record”.
Jika seorang reporter bersedia menerima informasi off the record, secara etis dia tidak boleh memuatnya.
Masih ada persoalan lain dalam
pengutipan yaitu soal “merapikan” kutipan. Memang kutipan pada dasarnya adalah
laporan tertulis mengenai ucapan subjek. Tapi kebanyakan repoter “merapikan”
kesalahan tata bahasa karena kesantunan yang lumrah saja.
Hanya sedikit orang yang bisa
menggunakan tata bahasa yang baik dalam pengucapan lisan. Orang berbicara
dengan informal, bahkan juga dengan mereka yang terdidik. Seorang pejabat
mungkin terlalu banyak menggunakan kata “daripada…”,
atau seorang bintang memakai kata “gimana…”.
Sepanjang tata bahasa itu tidak
menimbulkan akibat langsung terhadap cerita, reporter harus memperbaiki
kesalahan itu. Namun tidak boleh mengubah pesan pokok atau pemilihan
kata-katannya.
Perbaikan ini guna menghindari Si
subjek dari rasa malu. Namun, dalam beberapa hal, reporter bisa membiarkan
kutipannya sebagaimana aslinya. Misalnnya ada tokoh yang untuk mengimbau
rakyatnya, dengan sengaja memakai kata-kata yang “kampungan”. Ia pasti kurang
suka bila Si reporter kemudian membuatnya seperti seorang guru tata bahasa.
Dalam menulis kutipan, banyak
problem teknis yang dihadapi. Kebanyakan reporter muda cendrung terlalu banyak
mengutip (over-quote) atau terlalu
sedikit mengutip (under-quote).
Dalam over-quote, reporter hanya sekedar menyusun kutipan, seraya kadang-kadang
menyisipkan kata-kata penyambung. Cara penutipan seperti ini sering tidak bisa
diterima. Sedikit orang yang mengungkapkan kata-kata secara ringka dalam
percakapan. Sebagai penulis, wartawan harus mampu menyampaikan pesan itu dengan
lebih jelas dan ringkas dengan cara membuat menjadi kalimat kutipan tak
langsung.
Over-quote juga menghancurkan
salah satu tujuan baik dalam pengutipan: menghapus kejemuan karena gaya yang
sama. Dengan over-qoute, reporter
hanya mengganti gaya monoton dirinya dengan gaya monoton orang lain.
Under-quote juga merusakan.
Banyak reporter baru yang tidak yakin mengambil kutipan, sehingga ia selalu
membuat kutipan tidak langsung. Cara ini juga dapat menghilangkan tujuan baik
pengutipan.
Untuk menentukan apakah Anda
akan mengutip langsung atau tidak, inilah pedomannya:
Pertama, apakah kutipan itu
tidak berantakan, ringkas dan jelas? Bila jawaban tidak, Anda harus memakai
kalimat tidak langsung.
Kedua, apakah kutipan
langsung itu akan memperkuat efek, memperjelas siapa yang berbicara, atau
menambah kesan sebagai pendapat dari orang yang memang layak dikutip? Bila
jawaban ya, pakailah kutipan lanngsung.
Ketiga, apakah cerita yang
mengawalinya cendrung untuk under-quote?
Bila jawabannya ya, pakailah kutipan langsung. Bila over-quote, pakailah bentuk kutipan tidak langsung.
Tubuh dan Ekor
Dalam menulis berita yang
diutamakan adalah pengaturan fakta-fakta, tapi dalam penulisan feature kita
dapat memakai teknik “mengisahkan sebuah cerita”. Memang itulah kunci perbedaan
dari berita “keras” (hardnews) dengan
tulisan feature.
Penulis feature pada hakikatnya
adalah pengisah atau orang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata,
menghidupkan imaji pembaca, menarik pembaca agar masuk kedalam cerita itu, dan
membuat pembaca seakan-akan berada di sana atau bahkan menjadi tokoh utamanya.
Bila seorang wartawan natas
menulis tentang dosen yang dengan sepatu gemerlap dan kumisnya yang
keputih-putihan dalam berita, redaktur akan marah Karena tulisan itu terlalu
bertele-tele. Tapi sebaliknya, bila reporter melupakan gambar Sang dosen pada
saat menulis feature, redaktur kota mungkin akan berkata, “Orangnya seperti
apa? Saya tidak bisa membayangkannya”.
Penulisan featue untuk sebagian
besar tetap mnggunakan penulisan jurnalistik dasar karena ia tahu
bahwateknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi, bila ada
aturan yang mengurangi kelincahan untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera
menerobos aturan itu.
Misalkan Anda sudah punya lead yang
hidup dan menarik. Problem Anda berikutnya adalah menyusun materi sehingga bisa
memikat pembaca untuk mengikuti dari awal sampai akhir.
Dalam penulisan berita, hal itu
lebih gampang karena setiap berita ditulis dengan: pyramid terbalik. Banyak
feature yang menganut bentuk ini. Tapi sebenarnya tidak ada patokan bentuk
feature yang tegas. Ini membuat penulis feature lebih sulit dalam beberapa hal,
tapi bisa juga memungkinkan kreativitas dan kecakapan.
Gbr.1 Piramid Terbalik Gbr.2
Piramid Feature
Dalam piramida terbalik, bahan
tulisan (informasi) disusun sedemikian rupa sehingga pembaca memperoleh bagian
terpenting pada aal tulisan. Materi disusun sesuai urutan pentingnya. Informasi
makin ke bawah, makin kurang penting, lebih banyak detail, sementara pokoknya
sdah dimuat di atas.
Dalam dunia pers, piramida terbalik memiliki dua fungsi:
Pertama, bentuk piramida
terbalik itu memungkinkan editor memotong naskah dari bawah. Karena berita
disusun sesuai dengan nilai pentingnya, maka, editor bisa dengan cepat memotong
dari belakang sesuai dengan halaman yang tersedia.
Kedua, bentuk penulisan tersebut
memungkinkan diketahui dengan cepat apakah berita itu layak dimuat atau tidak.
Editor cukup membaca leadnya saja. Editor tahu unsur terpenting cerita itu ada
pada lead.
Feature juga menggunakan piramida
terbalik.hanya ada satu tambahan yaitu penutup atau ending tulisan. Suatu
feature memerlukan —bahkan mungkin harus— penutup karena dua sebab yaitu:
Pertama, menghadapi feature,
hampir tak ada alasan untuk terburu-buru dari segi redaksionalnya. Editor tidak
dapat dengan seenaknya lagi memotong dari bawah. Feature mempunyai penutup yang
ikut menjadikan tulisan itu menarik.
Kedua, ending bukan muncul
tiba-tiba, tapi lazim merupakan hasil proses penuturan di atasnya yang
mengalir. Ingat bahwa penulis feature pada prinsipnya adalah tukang cerita. Ia
dengan hati-hati mengatur kata-katanya secara efektif untuk mengkomunikasikan
ceritanya. Umumnya sebuah cerita mendorong untuk terciptanya suatu penyelesaian
atau klimaks. Penutup tidak sekadar layak, tapi perlu bagi banyak feature.
Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan tersebut
terasa belum selesai.
Penutup ringkasan. Penutup ini
bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita dan menunjukan
kembali ke lead.
Penyengat. Penutup yang
mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulisa hanya
menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak
terduga-duga. Penutup seperi ini mirip dengan film modern yang menutup cerita
dengan mengalahkan orang “yang baik-baik” oleh “orang jahat”.
Klimaks. Penutup jenis ini serig
ditemkan pada cerita yang ditulis secara kronologis seperti sastra tradisional.
Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah
jelas, dan tidak menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional.
Tak ada penyelesaian. Penulis
dengan sengaja mengakhiri sebuah cerita dengan menekankan pada sebuah
pernyataan pokok yang tidak terjawab. Ia menyelesaikan cerita sebelum sampai
klimaks karena penyelesaian memang belum diketahui atau karena penulis sengaja
membuat pembacanya tergantung-gantung.
Menulis penutup feature
sebenarnya termasuk gampang. Kembalilah kepada peran “tukang cerita” dan
biarkanlah cerita Anda mengakhiri dirinya sendiri secara wajar. Seorang
wartawan professional selalu berusaha bercerita dengan lancar, masuk akal, dan
tidak dibikin-bikin.
Seletelah semuanya telah kita
miliki, sekarang, bagaimana kita memualainya? Bukalah Alinea pertama dengan
lead yang menarik. Umumnya penulis suka menggunakan lead bercerita dan lead
deskriptif, atau keduanya.
Setelah kita sudah memiliki lead
yang menarik, sekarang yang harus kita perhatikan lagi yaitu keefektivan
kalimat. Kalimatyang tidak efektif dan terlalu “bertele-tele” hanya akan
membuat pembaca bosan dan cepat beralish ke berita lain. Kalau mereka beralih
ke berita lain artinya apa yang mau kamu sampaikan itu gagal Karena tidak
samapai ke pembaca.
Jika Anda sudah mampu menggnakan
kalimat-kaliamt efektif, Anda juga harus tahu memainkan alur cerita. Ibarat
novel, alur cerita sangatlah berpengaruh untuk membuat pembaca tetap membaca
novel kita.
Dalam memainkan alur ceita pun
Anda harus bisa menempatkan saat-saat di mana kita menggunakan kalimat pendek
dan di mana saat-saat kita menggunakan kalimat panjang. Selain itu kita juga
harus menggunakan kalimat-kalimat aktif, tapi jangan takut pada kalimat pasif.
Satu lagi yang tidak boleh
dilupakan adalah bermain struktur. Penulis harus memakai teknik untuk menjaga
agar semuanya berada pada tempatnya. Meskipun banyak teknik untuk itu, ada tiga
yang pokok.
Pertama spiral. Setiap alinea
mengurai lebih rinci keterangan yang disebut alinea sebelumnya. Kedua blok. Bahan
cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah secara lengkap. Ketiga
mengikuti tema. Setiap alinea menegaskan leadnya.
Kebanyakan penulis professional
memilih beberapa teknik, tergantung tanjang dan jalannya cerita. Ini dilakukan
supaya oran gtidak bosan karena membaca teknik yang itu-itu saja.
Banyak orang yang bisa bercerita dengan
baik secara lisan. Hanya sedikit orang yang bisa bercerita dengan baik melalui
tulisan. Penulis feature adalah seorang pencerita melaui tulisan. Sebenarnya
menulis feature bukanlah hal sulit, tapi bukan juga hal yang gampang. Paling
utama dalam menulis feature adalah mengetahi tekniknya. Ibarat lead adalah
kepala, struktur adalah kerangkanya, ending atau penutup adalah ekornya.
Akan tetapi, yang paling penting
adalah mau memulai untuk menulis. Banyak orang pintar dalam hal teori, tapi
tidak dalam praktek. Menulis ibarat beranang. Anda bisa berenang jika mau
berenang. Anda bisa menulis jika mau menulis. Itulah kunci dari orang bisa
menulis.
Dikhair materi ini saya hanya bisa memberikan tambahan salah satu contoh feature. Contoh feature ini pernah aku tulis di blog pribadi terkait dengan salah soerang anak kecil yang mengidap tumor ganas. Lead feature ini sudah saya jadikan salah satu contoh dalam materi ini