Oleh: Richi Richardus P. Anyan
Siapa yang sudah lupa dengan berbagai aksi
demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat menanggapi isu naiknya
harga Bahan Bakar Minyak (BBM)? Tentu masih ingat. Hampir semua media
memberitakan berbagai aksi demonstrasi itu sebagai headline news. Bagai mana
tidak? Hampir seantero negeri ini melakukan berbagai aksi penolakan terhadap
naiknya isu BBM tersebut.
Berbagai aksi itu dilakukan sebagai bentuk
menyuarakan aspirasi rakyat yang belum
sempat disuarakan oleh mereka yang menamakan diri mereka wakil rakyat. Lalu
dimana peran wakil rakyat saat itu? Wakil rakyat sepertinya lebih takut pada
partai dan duduk bungkam seribu bahasa daripada melawan partai mereka dengan
menyuarakan suara rakyat.
Lain lagi dengan partai. Partai yang biasanya
mengkader para calon wakil rakyat malah menggunakan kekuasaan yang mereka punya
untuk melawan rakyat. Partai menggunakan aparat polisi untuk membumkan rakyat
atau golongan organ yang berusaha menyuarakan suara rakyat. Polisi menggunakan
senjata dan kekerasan untuk menyerang siapapun yang mau menyuarakan suara
rakyat. Suara dari lubuk derita yang dialami oleh rakyat.
Pertanyaan pun bermunculan. Apakah alasan rasional
polisi saat melakukan kekerasan tersebut? Apakah dengan melakukan kekerasan,
aparat polisi tidak melanggar HAM? Lalu apa hukuman bagi mereka? Tidak adakah
cara lain dari pihak kepolisian dalam menangani para masa aksi?
Saya menjadi teringat akan harian KOMPAS, Rabu, 28
Maret 2012 menerbitkan headline beritanya. Berita itu berisi tentang dugaan
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menangani demonstrasi
penolakan kenaikan harga BBM sehari sebelumnya.
Sudah barang tentu bukan baru kali ini pihak
kepolisian dituduh melakukan pelanggaran HAM. Sudah sangat sering, perilaku
polisi yang nampak sewenang-wenang dalam membubarkan demonstrasi dikritik
masyarakat. Beberapa oknum polisi memang telah ditindak oleh kesatuannya
sebagai sanksi. Namun biasanya, hanya mereka para oknum di lapangan yang dijadikan
korban. Petugas-petugas lapangan ini biasanya dituduh melanggar Protab yang
telah ditentukan Mabes Polri. Dengan demikian, pelanggaran prosedur yang
seringkali bersamaan dengan pelanggaran HAM, hanya merupakan kesalahan teknis
di lapangan.
Ini sebuah kejadian lucu. Pelanggaran HAM dianggap
sebagai sebuah kesalahan teknis di lapangan. Kalau seperti ini adanya maka
oknum polisi yang membunuh oorang saat menangani masa aksi pun dapat dianggap
sebagai sebuah kesalahan teknis. Dengan kata lain, menghilangkan hak hidup
seseorangpun dapat dianggap sebagai sebuah kesalahan teknis.
Tetapi apakah memang sesederhana itu? Apakah
mungkin seorang petugas lapangan berani melanggar protab? Dalam banyak kasus,
para pengamat melihat bahwa kesalahan tidak terletak pada petugas lapangan.
Seringkali, ada semacam 'petunjuk' dari atasan untuk melakukan aksi tertentu di
lapangan, tanpa secara terbuka disampaikan kepada publik. Dalam pengertian ini,
maka bukannya pihak Mabes yang kecolongan dalam mengendalikan anak buahnya di lapangan.
Para otak di Mabes inilah yang mengatur dan memerintahkan anak buahnya untuk
melakukan atau tidak melakukan aksi tertentu. Kecurigaan publik kemudian
mengarah pada kesalahan teknis oknum lapangan. Bukankah pelanggaran HAM yang
terjadi dalam penanganan demonstrasi lebih mencerminkan tindakan sengaja yang
diperintahkan institusi secara tersembunyi?
Pada aspek yang lain, polisi seringkali menggunakan
alasan menjaga ketertiban umum sebagai dalih aksi represif mereka terhadap para
demonstran. Lantas bagaimana kita harus memaknai 'ketertiban umum'? Apakah
ketertiban umum memang selalu bertentangan dengan 'kebebasan berekspresi'? Lalu
bagaimana juga kita memaknai 'kebebasan berekspresi, dalam hal ini demonstrasi,
itu sendiri? Batasan apa yang bisa digunakan untuk melihat sebuah aksi
melanggar ketertiban umum maupun tindakan polisi yang melanggar HAM? Mengapa
praktik penanganan demontrasi oleh polisi masih sering terindikasi melanggar
HAM? Mari kita bahas satu per satu.
Kurang tepatnya Pola Penanganan Demontrasi
Demontrasi itu dijamin oleh konstitusi.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 merupakan konstitusi yang memberikan jaminan
hak berpendapat. Dalam undang-undang tersebut ditekankan bahwa setiap orang
berhak untuk melakukan perwujudan hak atas kebebasan berpendapat dan melakukan
penyampaian pendapat di muka umum.
Undang-undang tersebut memberikan koridor bahwa
aksi massa dalam undang-undang tersebut dikategorikan ke dalam unjuk rasa,
demonstrasi, pawai dan mimbar bebas. Tugas institusi kepolisian itu memberikan
perlindungan dan jaminan kebebasan atas kebebasan berekspresi pendapat setiap
orang. Persoalannya dalam institusi kepolisian itu sendiri. Mereka selalu
melahirkan stigma dalam diri mereka sendiri bahwa demonstrasi itu cendrung vandalis.
Lalu bagaimana institusi kepolisian melakukan
penanganan aksi massa selama ini? Dalam menangani berbagai aksi massa selama
ini, pihak kepolisian bekerja sesuai dengan Standar Operasional Prosedur yang
mereka punya.
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang digunakan
dalam penanganan aksi masa tidak pernah berubah. Ada cara preventif dan
reaktif, tapi sayang SOP ini tidak pernah disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang selalu berbeda. Lucunya, ini diterapkan dengan kaku di setiap
daerah dengan situasi yang berbeda-beda. Logisnya, SOP tersebut jika diterapkan
pada situasi yang berbeda, maka secara teknispun menjadi berbeda. Apalagi SOP
ini lebih bersifat reaktif daripada preventif atau mencegah. Polisi juga menjadi
kerepotan dalam menangani aksi masa ini karena standar operating prosedurnya kurang
aplikatif dalam menangani aksi masa. SOP yang lebih bersifat reaktif daripada
preventif menjadikannya tidak aplikatif dan kurang strategis dalam bekerja.
Selain SOP, kurangnya analisis sosial yang coba
dibuat di institusi kepolisian menjadi salah satu kendala dalam menangani aksi
massa. Mereka sering memisahkan diri dari masyarakat. Itu sudah terjadi sejak
masih berada di Akademi Kepolisian. Kurang berbaurnya polis dengan masyarakat
ini mengakibatkan sekat-sekat baru antara masyarakat dengan polisi. Sekat yang
tampa sengaja dibuat itu akhirnya melahirkan eksklusivitas di kepolisian.
Eksklusivitas yang dibangun sejak dini oleh para
perwira ketika beradadi Akademik Kepolisisan menjadikan mereka sendiri susah
membaca situasi sosial yang sedang terjadi. Hal ini membuat masyarakat merasa
berbeda dengan polisi. Polisi bukan teman dari masyarakat, tapi menjadi orang
asing bagi masyarakat.
Hal ini membuat aparat kepolisian lebih sering musuh
dalam aksi massa. Apalagi aparat kepolisian sering dimanfaatkan oleh para
penguasa untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat padahal merekalah yang
seharusnya memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Selain itu, mereka juga
seharusnya melindungi massa aksi dari berbagai profokator yang sengaja dibuat
oleh penguasa untuk tetap melanggengkan kekuasaannya.
Seharusnya aparat kepolisian banyak mempelajari
langsung soal analisis sosial sejak dini. Berbaur dengan masyarakat menjadi
salah satu solusi yang baik. Dengan berbaur dengan masyarakat, mereka dapat
melihat dan merasakan apa yang benar-benar terjadi di masyarakat.
Kultur Kepolisian
Kultur suatu intitusi sangat berpengaruh dengan
apapun yang berhubungan dengan institusi itu. Ibarat manusia, kultur atau
buadaya yang ada pada lingkungannya akan sangat berpengaruh dengan sifat dan
cara dia bergaul. Kultur yang baik akan membawa institusi itu ke arah yang
baik. Namun sebaliknya, kultur yang buruk akan membawa institusi itu pada
sebuah jalan yang salah.
Problem utama di institusi kepolisian adalah adanya
kultur yang sangat tergantung pada pimpinan. Peran seorang pemimpin dalam
kepolisian sangatlah besar. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seorang
pemimpin akan berpengaruh pada anak buahnya. Ibaratnya ganti Kapoltabes, ganti
kebijakan. Rotasi kepemimpinan ini sangat berpengaruh. Karena itu, personalitas
seorang pemimpin dalam institusi kepolisian ini akan sangat berpengaruh pada
institusi kepoliasian itu. Intinya, arah institusi kepolisian saat ini sangat
bergantung pada personalitas seorang pemimpin.
Kedua, lemahnya menajemen institusi kepolisian.
Kenaikan pangkat tergantung pada kedekatan dengan atasan, bukan pada
kemampuannya. Institusi ini tidak bekerja secara koordinatif. Keterpilihan
seorang yang duduk pada posisi yang penting tergantung sejauh mana dia dekat
dengan pemimpinnya. Ukuran kinerja dan kemampuan bukanlah menjadi sebuah
patokan untuk mendapat posisi yang penting dalam institusi kepolisian.
Kedua, institusi kepolisian ini lemah pada aspek
manajemennya, kenaikan pangkat tergantung pada kedekatan dengan atasan, bukan
pada kemampuannya. Institusi ini tidak bekerja secara koordinatif dan ini
membuat kenaikan posisi, keterpilihan seseorang duduk dalam posisi yang
penting, itu kita tidak tahu apa yang kemudian dijadikan ukuran kinerjanya.
Bagaimana kita tercengang ketika Pak Timur
tiba-tiba diangkat menjadi Kapolri. Hal ini sunggu mengagetkan karena masih ada
banyak orang lain yang memiliki kompetensi dan pangkat yang lebih tinggi. Orang
tercengang bukan karena Pak Timurnya, tapi karena masih ada banyak orang lain
lagi yang berkompoten dalam menduduki jabatan itu. Hal ini mungkin saja akan
menimbulkan kecemburuan. Beliau angkatan yang muda membawahi angkatan yang
lebih tua. Rotasi kepemimpinan dalam institusi kepemimpinan ini sebenarnya
sangat penting sekali. Keadaan seperti ini rentan sekali diintervensi secara
politis, dan rentan sekali untuk disalahgunakan.
Akibat dari semuanya ini membuat orang-orang yang
baik dari segi kompetensi menjadi orang terpinggirkan. Hal ini bisa membuat
institusi ini tidak bisa melahirkan hal-hal baru dalam hal merevormasi
institusi ini. Apalagi kenijakan-kebijakannya tidak mampu mewadahi orang-orang
yang punya kemampuan itu.
Contohnya Kapolres Semarang yang dulu waktu dia dia
menjabat sebagai Kapolres di Jakarta, adalah satu-satunya orang yang berani
menangkap Hercules. Ketika menjadi Kapolres Semarang dia menangkap Syekh Puji.
Sekarang dia hanya jadi guru Pengantar Ilmu Hukum di Akpol. Betapa ada orang
hebat dan berani, kemudian bukan dimanfaatkan, justru disingkirkan. Ada
orang-orang baik di dalam institusi kepolisian, namun apakah orang-orang baik
itu mendapatkan dukungan politik dari dalam.
Solusi
Aksi massa bukanlah sebuah hal yang salah. Aksi massa
adalah salah satu bentuk luapan emosi masyarakat atas ketidakadilan yang mereka
dapatkan.
Aksi BBM merupakan salah satu contoh luapan emosi
masyarakat atas ketidakadilan yang mereka dapatkan. Tidaklah heran kalau aksi
BBM itu begitu menasional karena naiknya harga BBM berdampak sangat buruk bagi
perekonomian masyarakat kelas bawah.
Aksi BBM ini juga tidak hanya datang dari kalangan
mahasiswa saja, tapi datang dari berbagai kalangan. Karena itu, banyak yang
mengatakan kalau Aksi menolak naiknya harga BBM itu dari, oleh, dan untuk
rakyat.
Akan tetapi, terkadang polisi lupa akan tugas
mereka yang seharusnya membela rakyat. Mereka juga ada karena adanya rakyat. Mereka
juga adalah rakyat. Penyadaran inilah yang perlu kembali di bangun dalam tubuh
institusi kepolisian.
Bukanlah yang mudah untuk melakukan perubahan yang
ada dalam internal institusi kepolisian. Ada beberapa faktor penyebabnya.
Ketergantungan terhadap personal pemimpin. Selain itu kultur yang sudah lama
dibangun dalam institusi kepolisian menjadi salah satu kendala besar.
Ketergantungan terhadap personal pemimpin yang
sekarang ada harus dirubah. Budaya kepatuhan terhadap personal seorang pemimpin
bisa menghambat sebuah perubahan. Apabila ada kesalahan dalam institusi itu,
pihak bawahan tidak berani untuk memprotes. Hal ini sangat berkaitan dengan
bagaimana polisi nantinya menangani aksi massa nantinya. Karena perintah dari
atasan, bisa saja masalah kemanusiaan diabaikan.
Sebagai contoh kasus pengamanan aksi massa di “Pertigaan
Revolusi”, sebuatan lain dari pertigaan jalan solo, utara kampus UIN Sunan Kali
Jaga Yogyakarta. Waktu itu aksi massa tiba-tiba diserang sama aparat kepolisian
yang berada di situ. Kalau ini dibilang sebagai oknum, berarti tidak masuk
akal. Hampir di semua media massa menayangkan soal kejadian itu. Aksi massa di
serang oleh semua aparat kepolisian yang ada di situ. Selain aparat yang ada
saat itu, ada tambahan pasukan lagi yang datang untuk membantu mengamankan aksi
massa saat itu. Kacaunya, ada banyak sekali massa aksi yang ditangkap di dalam
area kampus. Apa aparat kepolisian sudah lupa akan hukum? Selain contoh
agresivitas polisi di “Pertigaan Revolusi” ini, masih ada banyak contoh lain
lagi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada saat mereka “mengamankan”
aksi massa.
Selain ketergantungan pada personal pemimpin,
kultur yang sudah lama dibangun dalam institusi kepolisian menjadi salah satu
kendala besar. Mengeksklusifkan diri dari masyarakat dapat menimbulkan rasa
benci yang besar dari masyarakat pada pihak kepolisian itu sendiri. Para kawulo muda kepolisian atau lebih
tepatnya para peserta didik yang berada di Akpol perlu melatih diri untuk
mengenal masyarakat secara lebih dekat. Hal ini sangat penting ke depannya. Pada
saat mereka menjadi salah satu pemimpin dalam institusi kepolisian, mereka tahu
dari mana mereka berasal dan untuk siapa mereka bekerja. Jawabannya adalah
rakyat. Mengapa rakyat? Karena mereka ada untuk membela rakyat.
Bagi para pengajar yang berada di Akpol pun
seharusnya menyiapkan sebuah kurikulum khusus bagi para peserta didik yang
berada di Akpol untuk bisa live in di
masyarakat. Pendidikan sudah seharusnya tidak terlampau jauh dari realita hidup.
Begitu pula dengan pendidikan yang ada di Akpol.
Terkait dengan aksi massa, Ansos tersebut sangat
dibutuhkan. Aksi massa tidak perlu dibubarkan dengan kekerasan kalau pihak
kepolisian bisa membaca situasi yang ada. Semuaya dapat didialogkan dengan
baik.
Ambil contoh Kombes Mustaqim, Kapolres D.I
Yogyakarta. Beliau coba menghubungi Koordinator Lapangan ARB pada saat aksi menolak
kenaikan BBM di depan Gedung Agung, seminggu setelah terjadinya kasus di UIN
Yogyakarta. Dia mengatakan bahwa beliau tidak melarang adanya aksi massa
asalkan aksi massa itu berdampak baik bagi masyarakat.
“Kalian membela masyarakat, kami juga menjaga
kenyamanan masyarakat. Marilah kita bekerja sama.” Demikian beliau memberi
saran kepada Koordinator Lapangan ARB. Hal ini bisa dijadikan contoh bagi para
pemimpin lain yang berada di institusi kepolisian.