Oleh:
Richi Richardus P. Anyan
“Jualan sekarang sepi, banyak saingannya. Wong
lewat mampir. Kalau mahasiswa udah jarang ke sini, mungkin karena jelek
tempatnya,” papar wanita ini sambil melempar pandangannya keluar ruangan
***
Mbah Buadesima, wanita tua
berumur 70 tahun. Kulit mukanya sudah berkerut. Namun semangatnya untuk
menyambung hidup terus membara. Bermodalkan warung makan peninggalan suaminya,
ia terus menyambung hidup di antara persaingan warung makan lain yang berdiri
megah di sampingnya. Dialah yang membuat warung makan pertama kali di Mrican.
Ibu tiga anak ini pertama kali
datang ke jogja ketika masih kecil. Enta waktu itu ia berumur berapa, yang
pasti mrican masih merupakan daerah persawahan dan perkebunan. Belum ada
sekolah apapun di Mrican.
“Aku lupa mas kalau ditanya tahun
berapa aku ke sini, hanya pertama kali aku ke sini, tempat ini masih daerah
persawahan, belum ada sekolah.” Demikian kata Simbah dua cucu ini sambil menunjuk kea rah kampus satu Universitas
Sanata Dharma.
Ketika hidup mulai terasa susah,
suaminya membuatkan warung makan untuk dirinya. Dinding warung makan itu
terbuat dari bambu yang ditambali dengan beberapa seng bekas. Atapnya terbuat
dari seng. Tiang-tiangnya terbuat dari beberapa batang pohon kecil. Bagunan itu
belum pernah direnovasi lagi.
“Iki peninggalan bojoku.”
Demikian tutur wanita yang membuat warungnya persis di depan pekuburan.
Kemauannya untuk tidak merombak
warung peninggalan suaminya ini berbuah pada penghasilannya. Jualannya yang
dulu bisa mencapai dua Rp 200.000 per hari, kini hanya Rp 50.000 saja. Tidaklah
mengherankan kalau penghasilannya menurun karena di samping warung makannya,
ada satu warung makan yang berdiri megah. Jarak warung makan simbah dengan warung makan megah itu
hanya lima meter saja.
“Jualan sekarang sepi, banyak
saingannya. Wong lewat mampir. Kalau
mahasiswa udah jarang ke sini,
mungkin karena jelek tempatnya,” papar wanita ini sambil melempar pandangannya
keluar ruangan.
Menurut istri Adi Tukiman ini,
walaupun banyak pesaingnya, ia selalu dihargai oleh pemilik warung sekitar.
Mereka sering datang sekedar bertegur sapa dengannya.
“Aku bahagia mas, wong aku buat warung
ini biar bisa terhibur. Kalau mereka buat warung ya… untuk hidup,” tutur simbah yang selalu menggunakan kebaya
ini sembari berdiri menuju tempat cucian piring.
Mbah Buadesima tidak
pernah menaruh dendam pada para pesaingnya. Ia selalu mengambil hal positif
dari apa yang dialaminya.
“Mereka semua baik mas. Wong
mereka semua sudah aku anggap anak sendiri,” demikian petuah dari wanita
yang sering hanya disapa simbah oleh
banyak orang yang mengenalnya.