Label

Selasa, 27 Desember 2011

Persma itu Onani

0leh: Richi Richardus Petrus Anyan

Ketika pertama kali aku mendengar esensi kata-kata itu muncul di koran KOMPAS, aku merasa begitu dipermalukan. Wajar saja, persma yang selama ini kita (watawan persma) perjuangkan secara terang-terangan dipermalukan di depan umum, menyakitkan sekali. Ingin rasanya aku memukul si penulis artikel itu. Beberapa kali aku ditanyai soal artikel itu oleh mahasiswa biasa, aku hanya menjawab seadanya sejauh itu bisa menutup mukanya persma. Jauh setelah kejadian itu aku coba merefleksikan kembali makna dibalik tulisan tersebut.

Ada banyak argumen lemah yang disampaikan dalam artkel itu. Namun ada beberapa hal penting yang membuat aku harus berpikir ulang tentang kebenaran artikel itu. Pada artikel ini dia menyebutkan alasan, mengapa persma itu disebut onani yaitu bahwa persma sering menulis dengan semangat yang tinggi dalam majalahnya, tapi sayang hasil tulisannya kebanyakan hanya dibagikan ke persma lain.

Pertanyaan muncul, apakah teman-teman persma sering meneruskan isu yang diangkat oleh perma lain ke mayarakat sekitarnya? Mungkin sebagian orang akan menjawab iya, tapi kebanyakan kita akan menjawab tidak. Majalah dari persma lain yang dikirim ke teman-temannya hanya menjadi suatu alas kepala saat tidur, atau hanya sebagai pajangan di rak buku masing-masing LPM.

Datang dan lihatlah majalahmu di LPM-LPM yang sudah anda kirim majalah itu, lalu tanyakan bagaimana nasib majalah anda itu. Berapa orang yang sudah membaca majalah anda? Lebih menyakitkan lagi kalau anda melontarkan pertanyaan seperti ini: sudahkah teman-teman membaca majalah saya? Jangankan majalah yang sudah anda kirim, tanyakan ke diri anda sendiri, sudakah anda membaca majalah yang dikirimkan ke LPM-mu? Seandainya sudah silahkan tanyakan lagi, sudahkah dia menyebarkan wacana yang anda tulis itu ke orang lain?


Kebanyakan kita sering mengkritik suatu majalah dari segi tulisan yang ada dalam majalah atau layout dari majalah itu. Akibatnya majalah yang kita buat dari proses yang panjang itu berhenti pada sebuah diskusi dangkal.

Dalam beberapa kasus, teman-teman persma hanya membuat suatu majalah sebagai sebuah eksistensi dari organisasinya. Persma belum pernah memikirkan bagaimana isu yang mereka angkat dalam tulisannya sampai pada orang yang tepat dan orang  itu akan membantu menyelesaikan atau paling tidak membantu menyebarkan isu yang diangkatnya ke orang lain.

Pada suatu peristiwa, ada beberapa orang teman yang mengatakan bahwa “Persma itu Onani”. Mungkin itu suatu bahasa candaan di sela Dies Natalis PPMI XIX di Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin. Namun menurutku pernyataan itu adalah sebuah pernyataan dari kesadaran untuk sebuah perubahan. perubahan di sini adalah kesadaran kita tentang makna perma itu sendiri. Persma yang seharusnya memberikan wacana alternatif ke masyarakat malah saling berunjuk kebolehan di kalangannya saja. Kalau seperti ini apa bedanya persma dengan orang yang sedang beronani?

Buat apa kita bereksistensi kalau isu yang kita angkat itu tidak bisa mengubah wacana publik tentang suatu ketidakadilan? Kita terlalu lama terkungkung dalam sebuah paradigma lama bahwa majalah sebagai salah satu sarana untuk membuka jaringan. Jaringan yang seperti apa yang mau kita pertahankan? Majalah tidak hanya sebagai sebuah sarana untuk kita membuka jaringan, tapi juga menjadi salah satu ujung tombak untuk kita menyerang ketidakadilan yang dibuat penguasa.

Lalu mau diapakankah karya yang sudah kita buat itu? Apakah kita hanya tinggal diam menunggu datangnya wahyu kepada semua individu untuk sadar akan hal ini?

Bagiku, kita tidak bisa hanya menunggu datangnya sebuah keajaiban untuk kesadaran banyak orang. Namun kesadaran itu perlu dan menjadi tugas kita bersama untuk mencari solusinya. Persma, baik yang telah tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia maupun tidak, pastilah memiliki jaringan baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Jaringan inilah yang dimanfaatkan untuk membantu kita dalam menyebarluaskan isu yang sedang kita angkat dalam tulisan kita.

Pada sebuah pertemuan dengan seorang teman, kami berdiskusi soal gejolak pergerakan persma yang terjadi akhir-akhir ini.

Janganlah menjadi seekor anak elang yang baru latih mengepakan sayapnya, tapi jadilah seekor elang dewasa yang siap mencakar mangsanya. Sudah bukan saatnya lagi kita asik bereksistensi dengan karya kita, tapi marilah kita bersama-sama mulai belajar melirik target yang akan kita serang.

1.     Me-list semua jaringan yang dapat membantu menyebarkan isu yang ada dalam karya kita.
2.      Membedah majalah yang kita punya.
3.     Jangan memberikan majalah ke sembarang orang.
4.   Orang yang mendapat majalah adalah orang yang sudah kita ajak diskusi terkait dengan isu yang diangkat dalam majalah dan pastikan bahwa mereka adalah orang yang cukup antusia terhadap majalah kita.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: