Oleh Richi Anyan
Waktu
menunjukan pukul 10.10. Tilong Kabila perlahan mulai bersandar di pelabuhan
Bima. Kapten kapal dengan sangat teliti dan
hati-hati menyandarkan kapal
secara perlahan di dermaga.
Penumpang
yang akan segera turun sudah menumpuk di pintu keluar sebelah kanan. Penumpang yang akan segera na ikpun sudah berdesakan di
gerbang masuk dari terminal penumpang menuju kapal.
Aku
masih asyik bercerita dengan Tom. Tom adalah Turis yang berasal dari lyon,
Perancis. Dia berencana untuk berada di
Indonesia selama tiga bulan. Sudah hampir dua bulan dihabiskannya untuk mengelilingi Daerah Sumatra, Jawa, dan
Bali. Dia banyak bercerita tentang Aceh. Saya sangat antusias mendengar
ceritanya tentang Aceh dan Sumatra. Jujur saja, saya sangat belum pernah ke Sumatra, tapi sudah banyak cerita
yang saya dengar tentang Sumatra. Dia begitu bersemangat menceritakan tentang
indahnya budaya Aceh, tapi tidak untuk
pantainya.
Berbicara
budaya Aceh memang tidak bisa lepas dari syair dan pantun indah yang sudah mengakar. Orang Aceh dapat membuat
puisi dan syair yang begitu indah dalam seketika. Entah apa yang mereka tulis, tapi
rangkaian kata yang dibuat sangat indah.
Mungkin
banyak yang sudah tahu tentang “Hikayat Perang Sabil”. Puisi ini seperti mantra
yang dapat menyulap semangat orang Aceh. Puisi inilah yang membangkitkan semangat orang Aceh dalam
berperang mengusir penjajah Belanda selama bertshun-tahun lamanya. Conon
ceritanya, puisi ini pula yang
dipergunakan oleh Teungku Umar dan
isntrinya Cut Nya Dien untuk membangkitkan semangat rakyat Aceh dalam melawan
penjajah. Dalam buku Sastra Aceh karangan L.K Ara menceritakan bagaimana
Teungku Umar dan Cut Nya Dien selalu memebacakan “Hikayat Perang Sabil” di
malam hari bagi rakyat aceh saat itu.
Tak
haya “Hikayat Perang Sabil”, berbicara Aceh, kita tidak begitu saja melupakan
Sultan Iskandar Muda dan Kerajaan Sriwijaya. Sulta Iskandar Muda adalah salah
satu Raja Kejayaan Sriwijaya. Pada masanyalah, Sriwijaya mencapai puncak
kejayaannya. Bahkan pada masa kepemimpinannyalah, Aceh menjadi salah satu pusat
peradaban dunia.
Aceh
juga merupakan salah satu kerajaan yang memiliki pasukan maritime terkuat di
Dunia. Sultan Iskandar Muda sangat pintar dalam mengatur pasuka maritimnya.
Pada masa itu, bajak laut masih sangat ditakuti di Dunia. Sultan Iskandar Muda
memanfaatkan kehebatan para bajak laut. Beliau bekerja sama dengan semua bajak
laut guna memperkuat pasukan maritimnya. Apabila ada kerajaan yang ingin
menyerang Sriwijaya, maka yang akan mereka hadapi pertama adalah para bajak
laut. Akibatnya, pasukan dari kerajaan lain itu sudah sangat lemah ketika
berhadapan dengan Pasukan Maritim Kerajaan Sriwijaya. Itulah strategi perang
dari kerajaan Sriwijaya.
Hal
ini membuat gerah banyak kerajaan dari Negara lain seperti Inggris, Prancis,
dan Belanda. Karena itu, untuk
mengalahkan pasukan maritime kerajaan Sriwijaya, mereka harus bekerja sama guna
mengalahkan kerajaan Sriwijaya. Caranya sederhana. Mereka membuat suatu aturan
bahwa bajak laut harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Setelah bajak laut dihancurkan,
barulah kerajaan Sriwijaya dapat dikuasai. Hasilnya memuaskan. Kerajaan Sriwijaya
hancur.
Kendati
demikian, Kerajaan Sriwijaya pernah mencatat namanya di pentas Dunia menjadi
salah satu Negara yang sangat ditakuti kekuatan maritimnya. Inilah kerajaan
terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Aceh
juga kini dikenal sebagai Serambi Mekah. Aceh, Islam, dan Budaya Aceh adalah
ketiga hal yang tidak dapat dipisahkan. semuanya tak bisa lepas dari sejarah
masa lalu. Islam pertama kali masuk ke nusantara melalui Aceh. Hal ini
dibuktikan dengan beberapa penemuan sejarah masa lampau. Itulah keitimewaan
aceh bagiku.
Akan
tetapi, pada masa kekinian, kejayaan aceh hanya merupakan propinsi yang
biasa-biasa saja. Aceh hanya menjadi lahan penenan subur bagi para kapitalis.
Aceh hanya dieksploitasi kekayaan alamnya saja. Masyarakat Aceh tidak pernah
menikmati hasil kekayaan alamnya. Tak heran jika GAM muncul sebagai alter ego
masyarakat Aceh yang memberoktak. GAM hadir karena ketidak adilan yang mereka
dapatkan.
Tak
terasa rokok ditangan sudah hampir habis. Saya tersadar dari lamunan dan
menatap Tom yang masih asyik bercerita. Tom mungkin tidak terlalu banyak tahu
tentang Aceh, begitu pun dengan saya. Saya hanya tahu Aceh dari beberap cerita
dan referensi yang saya baca. “Aceh very
nice” simpulnya mengakhiri cerita tentang Aceh.
Tom,
kini, melanjutkan ceritanya tentang pesona Danau Toba dan medan. Danau Toba
merupakan salah satu tempat yang menawarkan sejuta keindahan alamnya. Karena
itu, tidaklah mengherankan kalau ada celutuk yang mengatakan bahwa jangan
bilang pernah ke Medan kalau belum singgah Danau Toba. Dia juga bilang kalau
orang batak itu sangat ramah. Baginya, logat bicara Orang Batak berbeda dengan
sikap mereka yang sangat menghargai orang lain.
Tom
juga menceritakan perjalanannya di Pulau Dewata. Baginya Bali sangat indah
alamnya, tapi tidak untuk dunia malamnya pantai Kuta.
Memang
apa yang dikatakan oleh Tom itu ada benarnya. Bali selain sebagai kota wisata
alam, Bali juga merupakan kota wisata budaya. Ada banyak tawaran hiburan budaya
di Bali. Tarian, opera tentang cerita rakyat, dan lain sebagainya merupakan
tawaran hiburan di Bali.
Memang
Kuta hanyalah sebagian kecil dari Bali. Akan tetapi, Kuta sangat jauh berbeda
dengan Bali pada umumnya. Apabila Anda bermain ke Kuta pada malam hari
sangatlah mencengangkan. Dunia malam Kuta adalah Eropa mini. Mungkin benar
kalau sebagian orang mengatakan kalau Kuta bukan Bali. Pesta pora dan berjualan mnuman keras menjadi
legal di Kuta. Berciuman bibir di depan umum menjadi hal yang sangat lumrah di
sana. Bukan hanya itu saja, tawar
menawar layaknya di tempat lokalisasi menjadi hal yang sangat biasa.
Lalu,
dimanakah sisi budaya yang ditawarkan oleh Bali pada malam hari di Kuta? Tidak
adakah hiburan lain yang bisa ditawarkan oleh Bali pada malam hari di Kuta?
Dimanakah suara para pemangku adat di Bali? Dimanakah Pemerintah Bali yang
seharusnya menjaga budaya dengan berbagai peraturan hukumnya? Apakah malam
dapat menjadi alasan ketidaktahuan mereka?
Ini
sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak ada alasan untuk tidak tahu
soal keadaan malam di Kuta. Malam di kutapun tidak dapat menahan teriak isak
tangis budaya Bali.
Mungkin
tom adalah salah seorang anomaly dari banyak turis yang berkunjung ke Kuta
Bali. Dia tidak merokok dan meminum minuman keras. Dia tidak senang dengan
budaya pesta pora. Ada banyak kesibukan Tom di negaranya Napoleon Bonaparte.
Hal itulah yang membuat dia tidak terlalu senang dengan Dunia malam di Pantai
Kuta.
Belum
selesai Tom bercerita, kami sudah dikagetkan oleh orang-orang yang berebut
tempat di kapal. Desak-desakan mencari
tempat merupakan hal yang biasa. Suasana
di kapal bak Malioboro di malam tahun baru. Ada banyak sekali orang di kapal,
bahkan untuk bergerak saja sudah sagat susah. Kamar tidur penumpang juga sudah
penuh dengan penumpang sejak di Mataram. Saya memang dari pertama memilih untuk
tidak berada di kamar tidur penumpang. Saya berada di sisi kanan kapal, dua meter dari tepi kapal deg
VII. Beberapa kursi yang tadinya kosong kini hampir tak kelihatan lagi karena
ditutupi oleh badan-badan manusia.
Tak
terasa baju yang saya pakai sudah bercucuran keringat. Basak kuyup bak orang
kuhujanan. Cuaca begitu panas. “Wah panas…, ada dua Matahari di sini kah?”
Demikian celetuk salah saorang pria berambut ikal yang berdiri beberapa centi
di depan saya duduk.
Saya
bukan tipe orang yang betak dengan keramaian. Saya juga bukan orang yang sangat betah dengan desak-desakan,
himpit-himpitan, apalagi cuaca begitu panas. Saya perlahan mulai berdiri,
menyelipkan bada saya di anatara orang-orang yang bedasakan dan samapailah saya
tepat berada di tepi kapal. Mungkin ini sedikit lebih nyaman dari posisi saya
semula. Sedikit susah dan tak dapat dilakukan oleh orang berbadan besar seperti
Tom. Maklum badan saya kecil. Walau jarak hanya dua meter dari keberadaan Tom,
namun dia hampir tak kelihatan dari pandangan saya.
Walau
panas, namun saya begitu tercengang melihat pemandangan di sekitar.
Membuang pandangan ke atas, saya melihat
barisan mega putih yang dilapisi awan hitam yang tipis. Membuang pandangan jauh
ke depan, ada hamparan bukit gundul yang menjemukan mata. Membuang pandangan ke
samping kiri, anak bayi menangis di gendongan seorang ibu yang terjebak
kerumunan. Membuang pandangan ke kanan, seorang pak tua sedang memandang ke
bawah sembari menghembuskan asap rokoknya.
Mengalihkan pandangan sedikit kea rah bawah, aku melihat
barisan manusia yang tak rapih. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sedang
mengantar sanak keluarga yang mengantar para penumpang. Mengalihkan lagi
pandangan ke bawah, kira-kra 30cm dari jari kaki, saya melihat desak-desakan
para penumpang yang naik. Barisan manusia yang naik ke Tilong Kabila tak
serapih semut yang berjalan. Mungkin lebih tepatnya semut yang lagi berebut
makanan, sangat tak beraturan.
Panasnya
mentari terus menyengat kulit. Walau panas, tapi saya tak berharap turunnya
hujan. Wajar saja, saya berada di luar, tak ada atapnya. Bukan hanya saya, tapi
ada banyak orang, apalagi banyak anak balita.
Tak
terasa sudah hampir dua jam kami berada di dermaga. Bel peringatan sudah
berbunyi dua kali. Itu tanda peringatan dari awal kapal bagi para pedagang dan
keluarga yang mengantar penumpang sampai ke dalam kapal.
Isak
tangis berderai bak hujan. Wajah-wajah murung anak-anak manusia seakan tak
menginginkan terjadi sebuah perpisahan.
Peluk hangat menjadi pemandangan di sela isak tangis. Bahkan beberapa di antara
mereka yang tak dapat menahan isaknya.
Aku
melihat rasa kekeluargaan yang sangat besar di sini. Isak tangis menandakan
bahwa kekeluargaan sangat mahal harganya. Bahkan tak dapat dibeli dengan uang.
Bel
panjang pun berbunyi. Kapal perlahan mulai melepaskan diri dari bermaga.
Lambaian tangan dan isak tangis mengiringi kapal yang mulai berlayar.
Pemandangan yang sangat indah. Semua
tangan melambai, tak hanya dari mereka yang ditinggalkan saja, tapi juga
dari mereka yang meningkalkan sanak familinya. Mungkin tak puas dengan
melambaikan tangan, beberapa orang berteriak memanggil nama sanak family yang
hendak pergi meninggalkan mereka. Bahkan, ada beberapa dari mereka yang berlari
kecil mengikuti arah kapal berlayar.
Sekejap saya terhanyut dalam lamunan. Masih
teringat jelas dalam benak kita isu penculikan yang terjadi di Mataram. Isu itu
beredar cepat lewat sms. Hal itulah yang menimbulkan banyak keresahan bagi
masyarakat di mataram. Akibatnya, lima orang tak bersalah pun jadi korban
amukan masa. Mereka disangkan penculik.
Salah satu dari kelima orang itu adalah orang Bima. Dia dihakii massa sampai
tewas karena disanggak penculik.
Kematiannya
membawa masalah baru yaitu potensi perang saudara. Beberapa orang memprofokasi
masyarakat Bima dengan label kekeluargaan. Label itulah yang seketika menyulut
emosi masyarakat di Bima. Semua warga mataram yang berada di bima menjadi
resah. Untungnya masalah itu dapat diatasi, perang saudara tidak terjadi.
Saya
mendapati tangan saya yang lagi melambai, entah untuk siapa. Mungkin untuk
mahalnya sebuah rasa kekeluargaan. Namun kitika saya sadar, saya dengan cepat
menurunkan lagi tangan saya yang sementara melambai.
Salam perpisahan ini datang dari Bima. Salam perpisahan yang menanti sebuah pertemuan kembali. Salam perpisahan yang bebas dari intrik politik. Salam dari mereka yang menghargai pentingnya sebuah keluarga. Salam dari Bima untuk Indonesia