(Peran Persma dalam Mengkawal Isu Lingkungan)
Oleh:
Richi Richardus Anyan
Gilitrawangan |
“Kalau
kita akan memuliakan bangsa dan nusa, baiklah kita menyempurnakan terlebih
dahulu mereka yang tertindas itu. Sebelum mereka hidup sempurna, belumlah kita
berhak menamakan diri kita sebagai: Anak Indonesia!” Bung Tomo.
Bukan
sebuah Pengantar
Gili saat senja |
Setelah gendang revolusi industri didendangkan,
bangsa-bangsa di Eropa mulai menginvasi ke berbagai bangsa di belahan Timur
Dunia guna mencari bahan mentah untuk kepentingan industrinya. Inilah motivasi awal sampai timbulnya perang dunia
II. Motivasi ini tidak hanya selesai sampai perang berakhir, namun hingga detik
ini, motivasi tersebut masih terus
berlangsung.
Indonesia sebagai salah satu Negara yang kaya
akan alamnya menjadi targetan utama saat ini. Lihatlah bagaimana
wilayah-wilayah di Indonesia dibagi-bagi oleh Negara-negara Eropa, Australia,
dan Amerika. Papua dan Kalimantan menjadi ajang dominasi Amerika. Pantai
Selatan Pulau Jawa, Pulau Timor dan beberapa daerah lain menjadi dominasi
Australia. Sulawesi, Sumatra, dan beberapa daerah lain menjadi dominasi
negara-negara Eropa. Inilah bentuk invasi yang dilakukan oleh negara-negara industri
di Indonesia. Bukanlah hal yang sulit untuk melakukan invasi itu saat ini. Tidak
perlu tentara yang banyak untuk melakukan invasi tersebut. Cukup dengan sedikit
uang semuanya terselesaikan.
Masalah yang serumit itu diperparah dengan
sikap ketidak pedulian kebayakan orang akan lingkungan sekitar tempat dia berada.
Dari masalah pertambangan sampai masalah sampah sekitar kitapun, kadang
diabaikan.
Pada seminar kali ini, saya membatasi
pembahasan kita tataran bagaimana peran mahasiswa dalam mengkawal sebuah
permasalahan lingkungan melalui media dan bagaimana persma sebagai media
alternatif mengkawal permasalahan lingkungan.
Persma
itu Pers Mahasiswa…
TFT para calon pengurus kota PPMI DK Mataram |
Bicara
soal persma sama saja kita bicara dua hal yang sangat rumit untuk dijelaskan.
Pers dan mahasiswa itulah kepanjangan dari persma. Dua kata yang memiliki fungsi
dan tugas yang berbeda, tapi bukan berarti tidak bisa disatukan. Ada baiknya
kita bahas satu per satu.
Sebelum
kita membahas
soal pers, ada baiknya kita membahas dulu soal mahasiswa. Mahasiswa adalah tingkatan tertinggi dari siswa.
Tinggkatan tertinggi yang saya maksudkan
di sini adalah dari sisi pengetahuan dan
tugasnya. Sisi pengetahuan di sini
adalah soal kefokusan membedah ilmu pengetahuan
yang kita pelajari dan menerapkan
ilmu yang kita pelajari ke masyarakat.
Perjalanan ke Gili |
Kalau
bicara soal tugas mahasiswa, mungkin akan saya bahas sedikit soal masalah ini
karena hal inilah yang sudah dilupakan oleh kebanyakan mahasiswa. Tugas utama
mahasiswa adalah agen perubahan, bukan belajar karena belajar itu suatu
kewajiban. Belajar mengaplikasikan apa yang kita pelajari ke masyarakat selama
kita menjadi mahasiswa.
Berikut yang belum kita bahas adalah soal pers itu
sendiri. Pengertian paling sederhana dari pers adalah sebuah perusahaan yang
melakukan tugas jurnalistik. Jurnalistik itu sendiri adalah sebuah proses dari
pembahasan tema untuk membuat sebuah berita sampai pada menyebarkan media itu
ke masyarakat.
Dalam dunia jurnalistik, ada banyak sekali
aliran jurnalistik. Sebagai contoh, jurnalisme lingkungan, jurnalisme damai,
jurnalisme perang, jurnalisme narasi, jurnalisme transformatif dan lain
sebagainya.
apapun makanannya minumnya tetap bram... |
Pers mahasiswa, dalam menjalankan tugasnya
sebagai pers dan mahasiwa, serta semangatnya dalam memperjuangkan kaum
termarjinalkan, menganut jurnalisme transformatif. Jurnalisme transformatif
adalah Ide/perspektif
yang menggunakan pendekatan kegiatan jurnalistik, mengupayakan pencerahan bagi
kaum intelektual dan masyarakat. Transformasi merupakan tujuan yang
mengharapkan adanya perubahan baik itu dari segi pola pikir maupun dalam hal realitas sosial.
Bicara soal sejarah bangsa ini, persma sangat
berperan penting dalam penyadaran
masyarakat baik itu dalam bermedia maupun dalam mengubah pemikiran masyarakat
dalam mengkritisi suatu permasalahan sosial. Persma mengambil perannya sebagai
media alternatif dalam menyuarakan suara-suara kaum minoritas.
Teringat petuan Tirto Adhi Suryo, salah satu
pahlawan nasional yang diberi gelar bapak pers Indonesia, “Tidak hanya
tuan-tuan yang bersuara di sini, tapi merekapun patut disuarakan”. Petuah
inilah yang seharusnya terus hidup dalam insan persma pada khususnya dan
mahasiswa pada umumnya.
Persma
sebuah Tanda Koma
Pada Musyawarah Kerja Nasional 2012
Pershimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Surabaya disepakati bahwa semua
pers mahasiswa di Indonesia wajib mengawal isu lingkungan di daerahnya
masing-masing. Isu lingkungan terbilang sebuah isu baru yang diusung secara nasional oleh persma.
Pada periode-periode sebelumnya, selalu isu lingkungan yang diusung oleh persma
dikarenakan isu itu yang paling dekat
dengan persma. Pertanyaannya mengapa harus isu lingkungan yang diusung oleh
persma bukan isu pendidikan yang sangat dekat dengan mahasiswa?
Melalui hasil pengkajian yang begitu panjang
dan pembacaan masing-masing kondisi di kota-kota, isu lingkungan merupakan isu
yang paling urgen dan utama yang harus dikawal, tidak hanya oleh persma, tapi
juga oleh semua orang. Pengkajiannya
bukan tanpa dasar, tapi melaui analisis politik, sosial dan budaya sampai pada
riset dokumentasi yang di bawa dari masing-masing kota. masalahnya kompleks
walau akhirnya dapat kita tarik pada satu motivasi dasar yaitu keserakahan!
Dari berbagai permasalahan yang kompleks dan
berbeda masing-masing daerah ini, kita coba membaca potensi isu yang bisa
diangkat oleh masing-masing daerah. Artinya masing-masing daerah memiliki isu
lingkungan yang berbeda pula.
Sebagai contoh, PPMI Dewan Kota Yogyakarta
mengawal isu pertambangan. PPMI DK Yogyakarta (lebih tepatnya segelintir orang yang masih resah akan lingkungan sekitarnya) mengawal isu pertambangan karena
ada beberapa pertambangan baru di Yogyakarta yang berpotensi merugikan
masyarakat sekitar pertambangan. Misalnya Tambang Pasir Besi di Kulon Progo dan
tambang Kars di gunung kidul. Lain lagi dengan PPMI DK Denpasar yang mengkawal
isu Hutan Mangrove. Begitupun dengan kota-kota lain yang mengawal isu
lingkungan yang berbeda-beda sesuai pembacaan kebutuhan kotanya masing-masing.
Lalu bagaimana persma mengawal isu tersebut?
Sedikit berbeda dengan pers umum dalam mengawal sebuah isu lingkungan. Persma,
dalam mengawal sebuah isu, tidak cukup dengan menggunakan medianya saja, tapi
juga harus turun langsung membantu masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa persma tidak cukup mengawal
sebuah isu dengan menggunakan media. Pertama, jumlah terbitan persma begitu
sedikit. Rata-rata 500-1000 eksemplar sekali terbit dan itu pun sebulan sekali.
Kedua, persma belum punya pasaran yang jelas. Biasanya persma mengklaim kalau
pembacanya adalah seluruh masyarakat kampus. Namun pada kenyataannya, tidak
semua masyarakat kmpus yang membaca media persma. Persma tidak pernah mendata
secara pasti siapa saja pembacanya. Ada lagi beberapa alasan lain, tapi dua alasan
di atas menjadi dasar utama mengapa persma tidak hanya cukup mengawal sebuah
isu melalui media saja tapi harus turun langsung ke masyarakat. Kitapun belum
membakukan metode pangawalan sebuah isu karena kondisi sosial, budaya, dan
permasalahan yang diangkat pun berbeda-beda.
Sedikit menceritakan beberapa contoh yang sudah
dilakukan oleh persma dalam mengawal sebuah isu lingkungan. Ada beberapa LPM di
Yogyakarta yang ikut mengawal masalah Tambang Pasir Besi Kulon Progo di
Yogyakarta. Awal mula mereka mengangkat isu itu di majalah mereka yang
terbitnya setahun sekali. Karena merasa masalah itu sangat penting dan tidak cukup melalui media mereka
saja, maka mereka membuat rencana baru yaitu ikut berjuang bersama masyarakat
di sana.
Awal mula masyarakat di sini sangat tertutup
dengan kedatangan organisasi apapun karena mereka pernah punya cerita buruk
masa lalu. Setelah memalui diskusi yang panjang dengan masyarakat yang berada
di sana, akhirnya mereka mau membuka diri
dengan organ luar. PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pesisir) adalah nama organisasi
yang menaungi masyarakat di sana. Semua anggota dan pengurus PPLP adalah
masyarakat di sana. Akhirnya persma Jogja bersama PPLP mengadvokasi masalah
tambang. Pada perkembangannya, mereka merasa perlu ada kesatuan yang lebih kuat
untuk melawan kekuasaan yang lebih besar. Akhirnya mereka coba membangun
jaringan antar kota bahkan kabupaten lahan pesisir selatan pulau jawa. Pada
akhir tahun 2011, persma jogja bersama 13 kabupaten yang berada di pesisir
selatan pulau jawa mengadakan kongres pertama di Lumajang Jawa Timur. Hingga
kini sudah melampaui beberapa pulau seperti Sumatra dan Kalimantan.
Aku jadi teringat akan kata-kanta Bung Tomo
tentang makna kata Anak Indonesia bagi mereka yang menamakan diri mereka Anak
Indonesia. “Kalau kita akan memuliakan bangsa dan nusa, baiklah kita
menyempurnakan terlebih dahulu mereka yang tertindas itu. Sebelum mereka hidup
sempurna, belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai: Anak Indonesia!”
Bung Tomo.
Tak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan
oleh Bung Tomo. Bagi teman-teman persma yang ikut berjuang bersama para petani
di lahan pesisir, mereka menganggap bahwa perjuangan itu belum selesai selama
belum ada kemerdekaan. Walau mereka berencana untuk di tahun 2013 akan
diadakannya kongres nasional bagi para petani, tapi bukan berarti dengan adanya
kongres nasional itu, ada kemerdekaan bagi para petani untuk menanam di
tanahnya sendiri. Bagi mereka perjuangan sekarang adalah sebuah tanda koma
untuk menghidupi makna kata merdeka dalam realita hingga mereka dapat
memberikan tanda titik pada perjuangan mereka. Mari kita bersama-sama
berjuang untuk mencapai tanda titik.
Entah kapan…, entah!
Salam Pers mahasiswa!
Catatan Sampah Buat Seminar Regional PPMI DK
Denpasar