Oleh: Richi Anyan
Kisah dongen tikus dan kucing
merupakan sebuah kisah lama yang terus difariasi jalan ceritanya. Apapun
ceritanya, tapi tikus selalu menjadi korban. Karena itu, tikus harus berpikir
keras agar dapat mempertahankan hidupnya dari kucing. Karena itu tikus selalu
dibilang binatang licik. Itu hanya sebuah dongeng lama yang sudah diketahui
banyak orang.
Jalan cerita dari dongen di atas sudah berbanding terbalik dengan realita
yang terjadi hari ini. Tikus adalah salah satu binatang yang sangat ditakuti
oleh kucing. Lucunya lagi kucing malah dibuat untuk selalu mematuhi
peraturannya tikus. Bahkan kucing dididik bertingkah seperti tikus. Demikianlah
yang terjadi di dunia pendidikan.
Akreditasi
merupakan salah satu masalah yang sangat urgen bagi mahasiswa saat ini. Hal ini dikarenakan akreditasi
menjadi salah satu kriteria dalam dunia kerja nanti. Karena itu, tidaklah
mengherankan kalau banyak mahasiswa protes apabila akreditasi jurusannya di
bawah standar atau terakreditasi C. Akan tetapi, apakah benar akreditasi menjadi
kebutuhan utama mahasiswa dalam mencari kerja?
Pada dasarnya
pendidikan harus mengajarkan orang untuk bisa menghasilkan lapangan pekerjaan,
bukan lamaran kerja. Kenyataan
pendidikan saat ini malah menuntun para didikannya untuk menjadi babu
pada bursa kerja saat orang selesai kuliah. Itulah salah satu pembodohan dalam
dunia pendidikan. Kita tidak pernah diajarkan untuk menjadi seorang ahli, tapi
kita hanya diajarkan untuk menjadi seorang babu. Kendati demikian, banyak orang
tetap terlena karena hanya itu pilihannya.
Pembodohan itu malah
semakin dipertegas dengan munculnya Badan Akreditasi Nasional (BAN). BAN adalah
salah satu lembaga pendidikan Negara yang bertugas mengurusi akreditasi di
instansi pendidikan dari Sekolah
Dasar sampai Perguruan Tinggi. Akreditasi ini dirasa penting
untuk menyamaratakan pendidikan yang ada di Indonesia, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Untuk memantabkan program tersebut, maka dibuatlah suatu
kemungkinan yang dapat menekan semua lembaga pendidikan agar cepat mengurus
akreditasinya. Maka dari itu, muncullah ide agar akreditasi menjadi salah satu
kriteria dalam dunia kerja.
Di satu sisi munculnya ide ini bertujuan untuk mempercepat proses
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun di lain pihak, tidakan ini
malah semakin mempertegas pembodohan dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang
seharusnya mengahasilkan para ahli, sekali lagi, malah selalu menggiring objek
didikannya untuk menjadi seorang babu.
Selain itu, kita juga digiring pada dua pilihan yang sama-sama
menjerumuskan kita pada korupsi. Sudah menjadi rahasisa umum kalau dalam
mengurus akreditasi ada budaya suap-menyuap. Semakin banyak suapan, semakin
baik akreditasinya. Biasanya besarnya suapan juga dilihat dari tinggkat
kekurangan dalam memenuhi kriteria akreditasi.
Bukan hanya praktek suap-menyuap saja, tapi ada praktek manipulasi data
merupakan pilihan lainnya. Kampus selalu memanipulasi data pada saat mengurus
akreditasi data. Tujuan dari pihak ada baiknya, mereka ingin hasil didikannya
dapat diterima dalam dunia kerja nanti. Namun di sisi lain, kampus juga
mengajarkan mahasiswanya untuk bisa memanipulasi data.
Dihadapakan pada
permasalahan ini, mahasiswa dituntut
memilih
pada dua pilihan terburuk,
pilihan simalakama. Pilihan pertama adalah mendukung
akreditasi. Mendukung akreditasi sama artinya dengan mendukung proses
suap-menyuap dan manipulasi data. Pilihan lainnya adalah kebutuhan di dunia
kerja nanti. Kalau akreditasi jelek, maka pilihannya kamu akan menjadi orang
pilihan ke sekian untuk bekerja.
Karena itu kita juga harus mendukung tindakan manipulasi data yang dibuat oleh
kampus.
Di luar dua pilihan itu, kita objek didikan tetapi dibuat terlena dengan
satu pilihan besar yaitu menjadi babu pada dunia kerja. Kita tidak pernah
diididik menjadi seorang ahli yang dapat menghasilkan lapangan pekerjaan.
Kalau seandainya saya
dihadapkan pada dua pilihan itu, maka saya akan memilih pilihan yang ketiga
yaitu bubarkan BAN. Itulah pilihan yang saya buat sendiri untuk menyelamatkan
saya dari dua pilihan busuk di atas.
Mengapa saya memilih bubarkan BAN? Bagi saya,
akreditasi adalah sebuah
proyek yang bisa menghasilkan uang ke kantong orang-orang
tertentu. Akreditasi sudah
berpindah dari konsep dasarnya dengan tujuan meningkatkan kulaitas pendidikan
di Indonesia. Akreditasi kini menjadi ladang baru bagi mereka yang tidak pernah
puas dengan apa yang sudah mereka miliki.
Agar semuanya mematuhi
aturan tersebut, maka dibuatlah menjadi kebutuhan yang sangat urgen bagi
mahasiswa. Bagi mahasiswa
saat ini yang terpenting adalah bisa menjadi babu saat selesai dari dunia
pendidikan. Karena itulah akreditasi dimasukan dalam salah satu kriteria
menerima babu baru dalam dunia kerja.
Sebenarnya tidak ada seorangpun yang inging menjadi babu. Akan tetapi, kita
selalu dididik menjadi seorang babu dan kitapun diberi hanya satu pilihan yaitu
menjadi babu. Karena itu, bagi kita akreditasi merupakan hal yang sangat urgen.
Muncullah pertanyaan dalam diri saya, apakah benar lembaga-lembaga di
Indonesia masih profesional dalam proses penerimaan tenaga kerja yang baru?
Mungkin iya, tapi itu hanya sebuah kemungkinan kecil. Hingga detik ini, praktek
kolusi masih sangat kental terjadi di Indonesia. Orang yang punya jaringanlah
yang gampang mendapat kerja, bukan orang pintar. Mungkin benar ada celotehan
kalau di indonesia sudah tidak membutuhkan orang yang pintar, tapi orang yang
punya jaringan.
Sebagai salah satu contoh, saya memiliki Indeks prestasi (IP) 4,00 dari
sebuah lembaga pendidikan yang terakreditasi A melamar kerja pada sebuah
institusi. Saat yang bersamaan, lamaran juga diajukan oleh anak dari salah satu
pejabat tinggi negara yang memiliki IP 2,50 dari sebuah lembaga pendidikan yang
tidak terakreditasi. Hanya satu tenaga kerja yang dibutuhkan di institusi
tersebut. Siapakah yang akan diterima lamaran kerjanya? Jawabannya adalah anak
dari pejabat tinggi tersebut. Itulah yang terjadi di indonesia saat ini.
Tidaklah masalah kalau
memang akrediasi dibuat untuk adanya pemerataan dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Namun yang terpenting adalah BAN perlu menghapus berbagai system
busuk yang ada di dalamnya. Selain itu, kampus juga perlu menghilangkan sistem manipulasi data. Hal ini
dikarenakan kebutuhan fasilitas dan tenaga pendidik juga sangat diperlukan
untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Kalau tidak, maka patutlah kita pertanyaan keberadaan
BAN. Kalau memang Ban itu hanya menjadi sebuah ladang baru bagi para koruptor,
maka patut dan sudah sewajarnyalah BAN dibubarkan saja.
Selain BAN, DIKTI juga harus bisa merubah kurikulum dan metode pengajaran
di dunia pendidikan untuk tidak lagi menghasilkan babu, tapi para ahli baru.
Ahli-ahli baru dalam dunia pendidikan inilah yang bisa kita harapkan untuk
memajukan bangsa dan negara.