Oleh: Richi Anyan
RUU PT: Sebuah Prolog
Atas dasar
keinginan pemerintah Indonesia agar generasi muda bangsa siap menghadapi
globalisasi dengan tetap mempertahankan moral dan budaya bangsa (yang mana
sangat absurd itu) dan dengan didorong kemandirian Perguruan Tinggi (PT), maka
pemerintah membuat Undang-Undang Sisdiknas yang (katanya) bisa mengakomodir
tujuan tersebut. Karena itu lahirlah UU Sisdiknas No.20 tahun 2003.
Kalau saudara
seperjuangan masih ingat akan eksistensi UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan) pun merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Hal
ini dikemukakan pada pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal
53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum
pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
Akhir tahun 2008
dan menjelang awal tahun 2009, pemerintah Indonesia membuka gebrakan baru di
dunia pendidikan dengan disahkannya Rencana Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (RUU-BHP). Pengesahan RUU BHP telah dilakukan pada tanggal 17
Desember 2008.
Banyak pihak pro
dan kontra terhadap pengesahan UU BHP. Mereka berbeda pendapat tentang produk
hukum penyelenggaraan pendidikan formal. Fokus permasalahannya terletak pada
sistem yang diatur UU BHP. Keberadaan pihak yang pro dan kontra terhadap
pengesahan UU BHP karena di satu sisi kehadiran UU BHP dianggap merupakan
pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi
penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun di sisi lain, justru
kehadiran UU BHP dianggap sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan yang
berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan dan sebagai jalan lepas
tangannya pemerintah terhadap dunia pendidikan sedikit demi sedikit.
Pemerintah
sendiri mengganggap UU BHP sudah final dan isinya tidak memberatkan orang tua
dan masyarakat. Di dalam UU BHP disebutkan bahwa peserta didik hanya membayar
biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional dari satu satuan
pendidikan. Artinya, UU BHP membatasi biaya yang harus dikeluarkan orang tua
yaitu maksimal 1/3 bagian dari biaya operasional yang dianggarkan oleh
penyelenggaraan pendidikan.
Sementara bagi
beberapa pihak lain, terutama dari kalangan ahli pendidikan, UU BHP sejak awal
ditentang dengan keras karena diyakini adanya nuansa neoliberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah
sebagai penanggungjawab dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas dan murah. Dikuatirkan privatisasi
akan membuat lembaga pendidikan dikelola sebagai perusahaan yang akan berusaha
mencari keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses
pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah. Dari kalangan
pendidikan swasta, BHP ditentang karena alasan kepemilikan, di mana pemilik
yayasan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam
lembaga pendidikan mereka, melainkan organ representasi pemangku kepentingan
yang lazim disebut Majelis Wali Amanah.
Pada April 2010
UU ini dibatalkan MK dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 yang
mengamanatkan agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh
masyarakat. Ada beberapa alasan yang disampaiakan oleh MK dalam pembatalan UU
BHP tersebut. Pertama karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU
lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan. Kedua UU BHP tidak memberikan
dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik. Ketiga UU BHP
melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh
badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan,
perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.
Setelah UU BHP
dibatalkan, maka harus ada payung hukum bagi PT yang berstatus BHMN. Maka
ditetapkanlah Perppu No. 66 tahun 2010 yang berlaku per tgl 28 september 2010,
menetapkan 7 PT BHMN tetap dengan status BHMNnya, yaitu : UI, ITB, IPB, UGM,
UNAIR, UPI, USU. Diantara isi Perpu 66 tahun 2010 yang diasumsikan mengakomodir
aspirasi masyarakat ketika menolak BHP:
a)
20%
mahasiswa cerdas tapi miskin, harus ditampung oleh PT.
b)
60%
mahasiswa dijaring melalui seleksi nasional.
c)
keuangan
dikelola secara PNBP/BLU.
d)
pemimpin
PT diangkat oleh menteri dengan jabatan setingkat Lektor kepala.
Untuk sekedar diingat bahwa RUU PT sudah
selesai dirancang pada awal tahun 2010 sebelum BHP disahkan. Dalam Kongres
Nasional PPMI ke X, kami sedikit menyinggung soal Draf RUU PT saat itu yang
sudah ada ditangan kami.
Arus Liberalisasi Global dan Paradigma
Baru Pendidikan Tinggi Indonesia
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DITJEN-DIKTI) sebagai representasi pemerintah dalam hal ini, mengelola pendidikan tinggi di Indonesia sesuai rumusan UNESCO dan meratifikasinya menjadi Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi atau yang biasa dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Jika pada kurun waktu 1975 – 1985 (HELTS I) dan kurun waktu 1986-1995 (HELTS II), penekanan Program untuk Program Jangka Panjang (PJP) masih fokus pada penciptaan nuansa akademik dan manajemen organisasi yang professional yang diantaranya didesain melalui Sistem Akademik dan Profesi (A Dual-System Academic and Professional) berikut dengan peningkatan kualitasnya. Maka pada kurun waktu 1996-2005 (HELTS III), program untuk PJP telah mengarah pada penciptaan Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan Tinggi (New Paradigm in Higher Education Management) yang lebih dipertegas lagi dengan HELTS IV (2003-2010), dimana program untuk PJP diarahkan untuk menciptakan persaingan antar PT di dalam negeri (The Nation’s Competitiveness), menghidupkan semangat otonomi, serta penyehatan ke-Organisasian (Organizational Health). Berbagai program penguatan manajemen pendidikan tinggi ditawarkan Bank Dunia, DUE (Development for Undergraduate Education), DUE-like, QUE (Quality for Undergraduate Education), Semi-QUE, URGE, Retooling Programe/TPSDP, Program Hibah Kompetitif (PHK) A1, A2, A3, B, , dan sebagainya.
Di sisi lain, Indonesia juga telah bergabung dalam
World Trade Organization (WTO) sejak diterbitkannya UU no 7 tahun 1994 tentang
pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Sebagai
anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat
dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan.
Sebagai anggota WTO Indonesia juga harus menandatangani General Agreement on
Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa,
dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya. Indonesia juga memiliki UU PMA
(Penanaman Modal Asing) dan Perpres no. 77 tahun 2007 dan Perpres no.111 tahun
2007, yang di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74,
dimasukkan sektor pendidikan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor
asing dengan penyertaan modal maksimum 49 persen.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan
tinggi di Indonesia memang telah masuk dalam paradigma baru. Dimana paradigma
baru pendidikan tinggi ini telah mengubah peran dan fungsi pemerintah, melalui
Dirjen-Dikti, yang semula sebagai penanggungjawab pendidikan tinggi, menjadi
hanya sekedar fasilitator saja. Misalnya untuk program HELTS IV, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar US$
98.267.000 yang diperuntukkan untuk proyek yang terdiri atas 2 komponen:
(1) Reformasi sistem pendidikan tinggi, (2) Hibah untuk meningkatkan kualitas
akademik dan kinerja perguruan tinggi.
Untuk point yang pertama arahnya pada pengesahan UU
BHP. Sedangkan poin yang kedua digarap oleh Dikti dalam bentuk penawaran
program-program ke perguruan tinggi untuk dikompetisikan sebagai dana
pengembangan institusi. Tentu saja proposal yang lolos hanya yang sesuai dengan
tuntutan Bank Dunia sebagai penyandang dana. Dirjen-Dikti menetapkan strategi
pendanaan perguruan tinggi secara sistematis dan bertahap mengarah pada sistem
hibah blok yang memberi otonomi lebih luas kepada perguruan tinggi. Hibah blok
yang dimaksud dialokasikan antara lain melalui skema kompetisi.
Sesuai Tahun anggaran 2007 Dikti me-lunching program
hibah berbasis institusi yaitu Program Hibah Kompetisi (PHK) yang dievaluasi
tiga tahun sekali. Dalam PHK berbasis Institusi (PHK-I), perguruan tinggi
bertanggung jawab penuh mulai pengajuan proposal, pengelolaan program, dan
mempertanggungjawabkan hasil dari pelaksanaan program-progam tersebut. Saat ini
Dirjen Dikti mengelola sekitar 2.800 perguruan tinggi dan mereka inilah yang
akan menjadi sasaran kompetisi.
Bagi PT yang kompetitif maka ini adalah peluang besar
untuk meningkatkan daya saing bangsa. Akan tetapi lain cerita bagi PT yang
tidak kompetitif, sangat berat untuk bisa tetap bertahan. Ada banyak sekali
faktor yang menyebabkan banyak kampus belum bisa berkompetisidi sekala
nasional. Salah satunya sebabnya adalah fasilitas pendidikan yang kurang
memadai, seperti komputer, buku, dan lain sebagainya.
Seharusnya, negara sebagai sebuah Institu pemerintahan
memiliki tanggungjawab dalam merealisasikan visinya yaitu bangsa yang besar,
tangguh, kompetitif, inovatif, sejahtera lahir dan batin. Salah satunya
menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam jumlah yang cukup sehingga dapat
mencetak banyak pemikir yang banyak di negri ini.
Sayangnya,
samapai saat ini, pemerintah belum terlalu menyadari akan tugasnya itu.
Pemerintah dari hari ke hari makin menjajah rakyatnya sendiri dengan sistem
yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Sistem yang dibuat bahkan
sepenuhnya disajikan pada bangsa lain.
Pada Bab V
tentang Perguruan Tinggi Asing dan Kerjasama Internasional secara jelas
dibukanya kran liberalisasi pendidikan tinggi. Pasal 73 ayat (1) disebutkan :
Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 74 menyebutkan :
(1)
Perguruan Tinggi
dapat melaksanakan kerjasama
internasional.
(2)
Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan
antara lain:
a. pertukaran
dosen dan mahasiswa;
b. pengembangan
kurikulum;
c. pelaksanaan
kerjasama program studi;
d. pengembangan
organisasi; dan/atau
e. penelitian.
Arahan Internasional : Liberalisasi Sektor Jasa
Liberalisasi
jasa pendidikan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh Negara maju. Karena
liberalisasi sektor ini memberikan keuntungan yang sangat besar. Disebutkan
oleh Effendi bahwa ada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14
milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor
jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen
dari penerimaan sektor jasa Negara
tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul
Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sektor
jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB
Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja
dan merupakan 20 persen dari ekspor total
negara Kangguru tersebut, Sebuah survey
yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri
jasa yang paling menonjol orientasi
ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan
dan pelatihan. Ekpor jasa
pendidikan dan pelatihan
tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta
tersebut dapat menjelaskan mengapa Negara maju sangat getol menuntut adanya
liberalisasi jasa pendidikan melalui WTO. Negara-negara anggota WTO akan terus
ditekan untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services
(GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain
layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi,
pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Sejak tahun 1995
Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian
perdagangan multilateral. Tentunya Indonesia juga harus menyepakati untuk
meliberalkan sektor pendidikannya. Ada dua faktor kenapa Indonesia sangat
ditarget untuk meliberalkan sektor jasa pendidikan. Pertama: Indonesia memiliki
penduduk yang besar, sekitar 215 juta dengan partisipasi pendidikan tinggi
rendah. Kedua Perhatian pemerintah pada sektor pendidikan lemah, sehingga mutu
pendidikan secara umum rendah. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi incaran
Negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Di satu sisi SDM-SDM
tersebut menjadi tenaga kerja yang murah bagi mereka (negara-negara maju
tersebut). Untuk mengoptimalkan ini, peran Negara dalam pengaturan urusan
masyarakat terus diminimalkan. Baik dalam pendidikan ataupun penyediaan lapangan
pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.
Ada enam Negara
yang sangat menuntut Indonesia untuk meliberalkan sector jasanya. Amerika,
Australia, Jepang, Korea, China, dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin
dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, pendidikan
vocasional, dan profesi.
Konspirasi liberalisasi pendidikan
Melihat
strategisnya liberalisasi pendidikan oleh Negara-negara berkembang (dalam hal
ini Indonesia), maka sangat dimengerti “pemaksaan/penekanan” agar hal ini
segera terwujud terus dilakukan. Untuk memuluskan agenda besar ini dilibatkanlah
aktor-aktor kunci dalam proses Konspirasi PT ini meliputi :
1.
Negara-negara
kapitalis
Negara-negara
inilah sebagai aktor utama dengan besarnya kepentingan mereka.
2.
Lembaga-lembaga
Internasional (IMF, WTO, dan Bank Dunia)
Lembaga-lembaga
internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi
adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The
Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO.
Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti
akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap
berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu
pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses
marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan
ekonomi nasional mereka.
WTO akan terus
menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on
Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor
jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa
akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa
lainnya.
3.
Korporasi
Multi Nasional (MNC/TNC)
Aktor ketiga ini
secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk
di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan
pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro
kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC
sebagai tempat magang dan sumber dana.
4.
Pemerintah
Dunia Ketiga
Berperan sebagai
pembuka pintu dan pemberi payung hukum jalannya konspirasi liberalisasi
pendidikan tinggi tersebut.
Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan Tinggi
1.
Dampak
Ideologis
Pendidikan
memiliki fungsi yang sangat besar dalam penanaman pemikiran dan nilai-nilai
yang ingin ditanamkan oleh suatu bangsa. Dengan masuk dan bekerjasamanya dalam
ranah strategis seperti kurikulum, akan diindikasikan kuat penanaman
pemikiran-pemikiran barat terus ditancapkan. Akibatnya, inverioritas terhadap
budaya asing pun terjadi dan pengetahuan akan budayanya sendiripun makin
melemah.
2.
Dampak
Politik
Pendidikan
berfungsi sebagai tempat lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan untuk
pemecahan persoalan bangsa. Dengan adanya liberalisasi PT sangat dimungkinkan
besarnya pengaruh pemikiran barat dalam penyelesaian persoalan bangsa.
3.
Dampak
Ekonomi
Hal ini
berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Meskipun dalam RUU PT sudah
disebutkan bahwa biaya yang ditanggung mahasiswa adalah maximal sepertiga dari
seluruh biaya operasional PT. Namun mekanisme ini dipastikan belum menjamin
mudahnya akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat
4.
Dampak
Sosial
Dampak ini
mengakibtkan kesenjangan kaya dan miskin semakin terbuka lebar
Solusi Sementara
Bahaya
destruktif liberalisasi PT sangatlah besar. Bahakan terkait kedaulatan Negara.
Karena itu pembiaran terhadapnya merupakan pembiaran terhadap hancurnya negeri
ini. Upaya serius untuk menghentikan menjadi sebuah kewajiban semua pihak.
Harus diseriusi dan sabar menjalani prosesnya. Karena penghentiannya tidaklah
mudah. Mengingat bacaan persoalan ini melibatkan berbagai aktor yang sifatnya
mengglobal (kokohnya penerapan kapitalisme).
Upaya yang
dilakukan haruslah dengan perwujudan perubahan pemikiran dan pemunculan
kesadaran yang benar pada seluruh segmen masyarakat. Sehingga diharapkan
dorongan penolakan pada penerapan kapitalisme sang perusak pendidikan akan
terwujud. Upaya penyeruan dilakukan:
(1)
kepada
masyarakat.
Memberikan
penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari
kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan
melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar
konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan
bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.
(2)
kepada
pemerintah.
Memberikan
kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau
agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar
pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali
berpihak pada kepentingan umat.
(3)
kepada
DPR.
Memberikan
kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang
jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan
bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang
mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.
(4)
kepada
negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional.
Menyampaikan
kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan
mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi
pendidikan tinggi.
Selain itu
secara pemikiran ideology juga disampaikan, meliputi:
(a) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan
kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari
segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia
hilang kepercayaannya pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.
(b) terhadap imperialisme. Menjelaskan
kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme
Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan
sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme
dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme
sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa
menghancurkan sekulerisme yang merupakan dasar ideologi bagi ideologi
kapitalisme.
###Belum Selesai###