Label

Selasa, 20 Desember 2011

Kisah Tragis Dua Jurnalis Muda


Oleh: Richi Anyan
Waktu menunjukan pukul 15.41. Saat itu aku mendapat sms dari salah seorang teman LPM PENDAPA Tamansiswa. Isinya adalah menyuruh aku ke LPM PENDAPA secepatnya. Tanpa banyak bertanya aku langsung ke sana. Saat itu aku mengajak seorang teman dari Pengurus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Yogyakarta dan salah seorang Pengurus LPM natas.
Perjalanan dari LPM natas ke LPM PENDAPA tidak memakan waktu yang cukup lama. Ketika sampai di sana, suana di sana tidak seperti biasanya. Ada belasan anak LPM PENDAPA di kantornya. Namun suasana di sana begitu sepi.
Dengan nada bercanda aku bertanya ke salah seorang Kru LPM PENDAPA, namanya Mustakim, “Ada masalah apa?” Sembari senyum Mustakim menjawab “kita ke dalam saja cui”. Aku dan Fafa (Pengurus LPM natas) hanya mengikuti langkah Mustakim yang mengarahkan kami ke ruang redaksi. Di sana ternyata ada sekitar sepuluh orang sedang duduk diam saling menatap.
Ketika aku masuk ke ruang redaksi, semua yang ada di situ langsung siaga. Tanpa banyak sapa, Syarihfatur Rahma, Pemimpin Umum LPM PENDAPA langsung menceritakan beberapa insiden teror yang mereka terima via Handphone.
“Tadi ada beberapa orang yang teror lewat telephone oleh panitia Ospek,” tutur Rahma tampa mau tahu apakah aku sudah duduk atau belum. Si Ulan Pemredku (sapaan manja untuk Wulandari setya Ningrum) yang diteror pertama kali. Dia diteror dengan no.telpon  +6281804261340  pada pukul 15.42. Setelah kami cek, itu nomornya Si Bendahara OSPEK UST, namanya Andrio.” Demikian lanjutnya.
Aku makin penasaran. Aku balik bertanya ke Si Ulan “Memang apa yang dibilang Andrio?” Dengan nada agak tinggi Ulan menjawab, “kita dituduh memprovokasi panitia dengan Mahasiswa Baru lewat buletin. Trus mereka bilang kita anjing. ‘Kita harus ketemu sekarang di sini, kalau tidak, maka masalah ini akan diperpanjang’ Saya hanya bilang bahwa berita yang kami sebarkan sudah disetujui oleh SC, oh sory sudah disetujui oleh pembawa acara pada saat itu dan kami tidak tau namanya siapa. Lalu saya tanya, apa masnya sudah baca buletin kami atau belum? Eh dia malah jawab, hati-hati aja buat PENDAPA”.
Aku hanya terdiam saat mendengar semuanya itu. Lalu rahma menyambung lagi, setelah Si Ulan, giliran Si Desi yang diteror. Desi adalah orang yang membuat karikatur. Karikatur itulah yang menjadi akar masalah semuanya.
Tanpa aku bertanya lagi, Desi langsung angkat bicara. “Pertama kali saya tanya ke panitia Ospek. Namanya Rahadi. Saya pengen tahu siapa bendahara panitia Ospeknya. Itu terjadi pada Tanggal 18 pukul 13.00, tapi Rahadinya tidak mau kasih tahu siapa bendaharanya. Setelah itu hari berikutnya saya mencari tahu sendiri dan ternyata bendaharanya adalah Andrio.  Tanggal 20, pada saat Prapembekalan, aku ke kampus pusat, ke tempat ospek. Di sana kami bertemu sama Andrio dan dia bilang sibuk ketika kami mau wawancara. Dan dia mintra saya ijin dulu ke SC. Ya udah saya telephone Mas Indra dan dia bilang kalau Si Andrio sudah tidak sibuk, dia bisa diwawancara. Tanggal 21 dia juga belum bisa diwawancara dan bahkan sudah sampai sore tapi dia tetap  tidak bisa ditemuin. Baru setelah kita pergi  dari tempat ospek,  dia sms suruh temuin. Tapi setelah itu, ada yang privat number dan dengan kata-kata tidak menyenangkan, maaf tapi bukan melebih-lebihkan tapi dia bilang seperti ini ‘hai Asu hati-hati ya nanti di jalan, daaa’ udah kayak gitu dan dia langsung tutup tanpa saya bilang apa-apa. Waktu itu pukul 15.49”, tuturnya.
Setelah mendengar cerita itu, aku hanya bisa mengoceh. Mungkin karena saat itu aku terbawa emosi. Saat itu, Rohmadi Salah seorang Pengurus PPMI DK Yogyakarta pun datang. Kemudian Rahma PU (Pimpinan Umum) PENDAPA mendapat telpon dari WR III (Wakil Rektor III) UST. Isi percakapan melalui via telpon tersebut antara lain; Rektorat memberikan perlindungan terhadap PENDAPA dan mempertemukan kedua pihak untuk mediasi di Rektorat. Mendengar pernyataan dari WR III membuat teman-teman LPM PENDAPA merasa sedikit aman.
Tak beberapa lama kemuadia, PU LPM PENDAPA mendapat sms dari Wakil Rektor (WAREK) III yang isinya akan ada pertemuan antara LPM PENDAPA dengan Panitia Ospek. Pertemuan itu akan dilaksanakan pada pukul 18.00 di Kampus I UST yang dimediasi langsung oleh Drs. Hadi Pangestu Riharjo, S.T., M.T., M.Pd. selaku WAREK III UST.
Untuk mengisi waktu menjelang mediasi, teman-teman LPM PENDAPA mengadakan rapat redaksi guna membahas isu yang askan mereka angkat dalam buletin edisi Ospek besok. Salah satu tema yang mau diangkat adalah kasus teror yang baru saja mereka terima dari panitia Ospek.
Selesai rapat tema, beberapa orang yang ditugaskan untuk menulis terkait masalah ini mulai mengadakan wawancara dengan beberapa korban. Kebetulan korbannya adalah anak-anak LPM PENDAPA sendiri, jadi mereka tidak kesulitan mencari narasumbernya.
Sehabis wawancara, mereka langsung bergegas menuju Kampus I UST guna mengikuti mediasi itu. Saat itu saya bersama beberapa orang teman masih berada di Angkringan, sekedar ngopi.
Tak lama kemudian, kami di-sms sama Mustakim Ahmad. Dia meminta bantuan kami untuk ke kampus I segera mungkin. “Suasana genting, tolong ke Kampus I segera.” Demikian bunyi sms-nya. Saat itu juga aku langsung menyuruh teman-teman untuk menyusul ke tempat mediasi.
Sesampainya di Rektorat, dua teman kami (Ayuk dan Randi) yang juga pengurus PPMI DK Yogyakarta datang, dibarengi para panitia Ospek UST yang jumlahnya kira-kira lima puluhan. Kami berlima pun naik ke lantai dua. Tetapi sebelum itu aku dan Rohmadi  turun lagi ke lantai satu untuk menghubungi beberapa teman kami untuk datang membantu mediasi.
Tak lama kemudian suara teriakan menggelegar dari lantai II mengejutkan kami berdua. “Anjinggg! Woiii! Tolonggg! Bruuuk!” Itulah suara suara aneh yang berasal dari lantai II. Kami langsung lari naik ke lantai II, lebih tepatnya didekat tangga.
Belum terpikirkan oleh ku apa kalau suara-suara ribut tadi adalah suara pemukulan. Beberapa oknum panitai Ospek terlihat menyerang Mustakim (Reporter PENDAPA) dengan kata-kata yang kasar, serta menekan bagian leher Mustakim seakan-akan ingin mencekiknya. Kemudian Randi berusaha melerai, dengan kata-kata “mas, kami ini media jadi ngomongnya jangan kasar juga” tapi naas Randi dan Mustakim dihujani puluhan bogem mentah tangan kosong para panitia di dalam kerumunan panitia yang semuanya masih memakai jas hijau (Almamater UST), dan kami (Rohmadi, Richi, Fafa, Ayuk) pun tak luput dari ancaman beberapa panitia yang wajahnya semakin brutal. Ironisnya wakil Rektor III yang kebetulan ada dalam kondisi saat itu sudah berusaha melerai, tapi tak dihiraukan oleh satupun para pelaku pengeroyokan yang adalah mahasiswa UST.
Kemudian kami memutuskan untuk turun ke lantai satu, dan meminta pertolongan satpam setempat. Namun tak ada satu pun satpam yang bertugas saat itu. Lantas kami memutuskan lapor ke Polsek Umbul Harjo yang jaraknya kira-kira 3km untuk meminta pertolongan.
Akan tetapi, setelah kami kembali ke Rektorat, kami menunggu di depan gerbang kira-kira setengah jam tetapi Polisi tak kunjung datang. Situasi makin panas,  para panitia pun telah menutup gerbang. Lalu kami mencoba menghubungi Randi dan Mustakim, untuk mengetahui keadaan mereka  yang sementara terjebak di dalam. Ternyata mereka dibawa ke ruang Rektor beserta redaktur PENDAPA, juga beberapa panitia dengan alasan untuk diamankan dari amukan panitia Ospek yang lain. Selain itu kami juga menghubungi teman-teman lain.
Tak lama kemudian beberapa orang dari PPMI datang ke Kampus I UST. Untungnya saat itu para panitia yang tadi memukul teman kami sudah pada pergi. Karena itu kami langsung menuju ruang rektorat. Di sana kami mencoba melihat kondisi teman kami. Namun lucunya saat itu, kami tidak diizinkan untuk bertemu dengan teman kami. Alasan dari WAREK III UST yaitu bahwa teman  kami sedang diberi pengobatan karena beberapa memar yang ada di wajah dan kepalanya. Kami merasa ada sesuatu yang salah dengan mereka yang berada di dalam ruangan itu. Kami selaku  temannya kok dilarang masuk. Setelah ditanya-tanya, ternyata randi dan mustakim tidak sendirian, mereka bersama beberapa orang panitia dan ketua keamanan sedang berunding.
Selaku korban pengeroyokan, Randi dan “Kim-kim” sebutan akrab untuk Mustakim dituntut untuk membuat surat penyataan.  Isi surat pernyataannya kurang lebih bahwa masalah ini telah diselesaikan secara kekeluargaan antara pihak panitia Ospek dengan PENDAPA, serta Randi selaku pengurus PPMI DK Yogyakarta. Randi dan Mustakim yang dalam kondisi psikisnya sedang terguncang dipaksa untuk membuat dan menandatangani sebuah surat pernyataan.
Menurut kami, surat pernyataan yang dibuat oleh personal Randi dan Kim-kim itu tidak sah. Kami datang sebagai sebuah organisasi. Begitu pula dengan Randi dan Kim-kim. Mereka datang bukan sebagai pribadi mereka yang punya kepentingan dalam acara mediasi itu, tapi mereka datang mengatasnamakan organisasi yang berkepentingan dalam mediasi itu.
Karena itu, bagi kami, apabila pihak Rektorat dan panitia ingin membuat perjanjian, maka, kami yang tadi terlibat karena kepentingan organisasi juga harus dilibatkan dalam perjanjian itu. Lebih dari itu, bagi kami, pihak Rektorat dan panitia yang ikut bersekongkol dalam membuat perjanjian itu telah melanggar kewenangan kami sebagai sebuah organisasi.
Mediasi Kedua
Mediasi kedua dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 23 September 2011 di ruang rektorat. Mediasi kedua ini langsung dimediasi oleh Rektor UST. Pada mediasi ini, rektor mengundang lima orang perwakilan dari LPM PENDAPA dan 5 orang dari perwakilan panitia Ospek.
Tidak hanya anak-anak LPM PENDAPA dan Panitian Ospek UST 2011 saja yang antusias mengikuti mediasi ini saja, tapi LPM lain juga ikut antusias untuk mengikuti mediasi ini. Ada beberapa LPM yang datang mengikuti mediasi ini. Kendati mediasi dilakukan secara tertutup, tapi anak-anak LPM PENDAPA dan juga LPM lain yang hadir tetap antusias dengan menunggu di luar ruang sidang.
Mediasi ini dibuka oleh Pak Pardimin selaku Rektor UST. Setelah membuka, beliau memberikan kesempatan pada anak-anak LPM PENDAPA untuk membacakan kronologis kejadian. Waktu itu yang membacakan kronologis itu adalah Wahyu (caritahu nama lengkapnya).
Pada mediasi kali ini, hal-hal substansial yang lebih banyak dibahas. Misalnya soal urutan paragraph yang ada pada kronologis; kenapa ada orang-orang luar yang datang pada saat mediasi; terkait dengan banyaknya sms yang masuk ke Rektor UST; dan lain sebagainya.
Pebahasan terkait dengan pemukulan itu sendiri sangat sedikit dibahas oleh mereka saat itu. Permasalahan mendasar seperti apa yang ada dibalik karikatur itu pun tidak banyak dibahas pada mediasi ini. Rektor yang seharusnya bertugas sebagai moderator dalam mediasi itu malah lebih banyak membahas soal sms yang banyak masuk ke nomor pribadinya.
Setelah dikonfirmasi soal masalah dalam mediasi itu, Pak Pardimin yang ditemui pada hari Sabtu, 24 September mengatakan bahwa tidak hanya LPM PENDAPA yang mendapatkan intimidasi tapi dia pun mendapat intimidasi dari LPM-LPM se-Indonesia.
“Kalau PENDAPA merasa diintimidasi oleh saya pada mediasi itu, sayapun merasa demikian dengan banyak lewat banyaknya sms yang masuk ke nomor hand Phone-ku”, kata Rektor UST. Beliau berniat untuk terus mencari tahu dari mana asal mula penyebaran sms itu ke LPM seluruh Indonesia.
“Untuk kasus pemukulan itu kita sudah selesaikan secara kekeluargaan.” Demikian ucapnya. “Bagi para pelaku pemukulan akan kita tindak secara tegas, tapi untuk teknisnya akan diselesaikan oleh WAREK III,” lanjutnya dengan tegas.
Menurutku, untuk kasus ini Rektor sebagai pemimpin tertinggi di suatu universitas telah menyikapi secara cepat kasus pemukulan ini. Namun ada satu kelalaian yang dilakukan oleh rektor yang berfungsi sebagai mediator saat itu. Rektor yang merasa diintimidasi seharusnya membutuhkan mediasi untuk menyelesaikan masalah terkait intimidasi melalui sms yang masuk ke nomor pribadinya. Itupun kalau dia bijaksana. Namun yang dibuatnya adalah membahas masalahnya pada mediasi itu.
Memang kasus intimidasi terhadap Rektor UST ini perlu diluruskan lagi di waktu dan tempat yang lain dengan mediator yang berbeda. Karena kasus ini merupakan kasus nasional karena melibatkan seluruh LPM se-Indonesia maka sudah seharusnya dimediasi oleh Koorpetis atau DIKTI, atau Ketua Forum Rektor Indonesia.
Kendatipun masalah intimidasi rektor ini perlu dibahas, tapi masalah kasus pemukulan ini perlu dibahas secara serius. Kalau seandainya masalah ini dibiarkan atau tidak dibahas secara serius maka, dunia kampus mulai secara perlahan mendukung  tumbuh kembangnya bibit-bibit premanisme untuk tumbuh subur di Dunia pendidikan.
Bayangkan saja semua permasalahan di dunia pendidikan diselesaikan secara premanisme seperti beberapa kasus yang pernah terjadi di gedung DPR Pusat, maka akan seperti apakah negara ini ke depannya? Perlu diingat bahwa mahasiswa sekarang adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Karena itu, masalah ini perlu dibahas secara serius, apalagi ini soal kekerasan terhadap kebebasan bersuara.
Sengketa dan mekanisme Pers
Satu hal yang perlu dicatat bahwa setiap sengketa pers harus diselesaikan melalui mekanisme pers. Kalau ada kesalahan yang terjadi pada media terkait dengan pemberitaan maka pihak yang merasa dirugikan wajib melaporkannya ke perusahaan pers tersebut (dalam kasus ini LPM) atau menuliskannya lewat opini atau surat pembaca. Jika ada pelaporan ke perusahaan pers yang bersangkutan maka, pihak perusahaan pers wajib memuat pelaporan atau opini atau suirat pembaca tersebut. Hal ini dikarenakan loyalitas pers adalah kepada pembaca.
Menurut Bill Kovack dalam Sebilan Elemen Jurnalisme mengatakan bahwa pers harus memiliki loyalitas yang tinggi kepada pembaca. Selain itu pers juga harus memiliki kewajiban utamanya yaitu kepada kebenaran.
Maksud dari loyalitas di sini adalah keberpihakan pers itu sendiri. Pers harus punya sikap. Pers  harus berpihak karena tidak ada yang namanya netral di Dunia ini.
Selain loyalitas, pers pun harus memiliki kewajiban pada kebenaran. Kebenaran di sini adalah kebenaran menurut narasumber. Karena itu pers perlu melakukan disiplin verivikasi.
Pada kasus ini, pihak yang merasa dikorbankan seharusnya perlu mengadu ke perusahaan pers  yang bersangkutan. Selain itu, pihak korbanpun seharusnya menuliskan apa yang menjadi keresahannya pada kolom surat pembaca atau opini, bukan menyelesaikan masalah ini dengan gaya premanisme.
Kalau seandainya ada pelaporan dari pihak panitia dan tidak disikapi secara serius oleh LPM PENDAPA maka, LPM PENDAPA wajib diberikan sangsi oleh lembaga yang menaunginya dalam hal ini PPMI. Hal ini penting untuk mengingatkan kembali LPM PENDAPA akan tugasnya dan kewajibannya sebagai Pers Mahasiswa.
Akan tetapi, mekanisme pers ini dikesampingkan oleh Panitia Ospek 2011 UST. Ada dua kemungkinan pertama, pihak panitia tidak mengetahui mekanisme dalam menyelesaikan sengketa pers, kedua, pihak panitia tahu mekanisme pers dan dengan sengaja melakukan metode premanisme dalam menyelesaikan kasus ini.
Apabila kemungkinan pertama itu terjadi dalam kasus ini maka, LPM PENDAPA dan pihak rektorat perlu bekerja sama untuk mengadakan sosialisasi secara besar-besaran kepada seluruh warga kampus terkait mekanisme dalam menyelesaikan sengketa pers. Seandainya kemungkinan kedua yang terjadi maka, pihak rektorat wajib menindak secara tegas para pelaku agar tidak lagi terjadi metode penyelesaian masalah secara premanisme di UST.
Masalah ini juga seharusnya menjadi pelajaran bagi semua kampus yang ada di Indonesia. Selain itu, kasus-kasus yang hampir serupa dengan kasus LPM PENDAPA Universitas Tamansiswa ini, ada banyak kasus premanisme lain yang terjadi hampir setiap tahun di seluruh Indonesia. Karena itu, perlu ada satu pembahasan khusus pada pertemuan Forum Rektor Indonesia untuk menyikapi segala bentuk premanisme yang terjadi di dalam kampus.
Mungkin ini hanyalah satu kisah dari seribu satu kisah pemukulan wartawan kampus yang pernah terjadi di Dunia Pendidikan yang seharusnya memberikan contoh bagi masyarakat umum. Dunia kampus yang menjadi tolak ukur masyarakat umum pun tidak bisa menghargai kebebasan besuara. Karena itu pihak-pihak yang berwenang tidak boleh tinggal diam dalam menanggapi kasus ini. Kalau kasus-kasus seperti ini masih terus dibiarkan, maka demokrasi di Negara ini hanyalah menjadi wacana dan tidak akan bisa direalisasikan.
Hidup Pers Mahasiswa Indonesia!
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: