“cicak
yang tidak sekolah pun tahu dimana ia harus mencari makan, sedangkan manusia
yang sekolah tidak tahu diaman ia harus mencari makan” demikian kata Pramudia
Ananta Toer.
Oleh:
Richi Richardus P. Anyan
Untuk sekian kalinya
lagi aku harus berhenti membaca, duduk termenung, kaku, seakan tak berdaya.
kepalaku tertunduk malu. terkadang aku sedikit memandang ke langitan. Tak
sepata kata pun yang keluar dari mulutku selain imajinasi yang melalang buana
ke langitan dunia. Kembali aku membaca pikiran pram yang tidak setuju dengan
anak yang suka meminta pada orang tuanya. tertegun… aku membuka buku yang
satunya lagi. Kali ini ki hajar dewantara yang mempermalukan aku dengan seekor
cicak. “cicak yang tidak sekolah pun tahu dimana ia harus mencari makan,
sedangkan manusia yang sekolah tidak tahu diaman ia harus mencari makan”.
Untuk
sekian kali itu pula aku merasa ditelanjangi oleh Pram dan ki hajar dewantara.
Ingin aku melawan, tapi
tak ada dalil yang dapat dijadikan azas untuk melawan. ingin aku berteriak,
tapi untuk apa aku harus meneriaki kesalahan yang sudah dibenarkan oleh
konstruksi sosial. Percuma bukan? Ingin aku menangis, tapi mungkin aku harus
menyimpan air mataku apabila aku melakukan kesalahan yang sama untuk anak
cucuku.
Aku dibesarkan dalam
suatu kontrusi budaya yang menjadikan aku seorang seorang peminta-minta. Kala
aku menjadi sorang peminta-minta, mereka bilang itu bukan pengemis, tapi suatu
anugrah karena ada tanggung jawab dari mereka.
Entah kapan budaya itu
diajarkan, aku pun sampai saat ini masih terus mencari tahu. Zaman nenek
moyangku dan juga kamu, orang diajarkan untuk mencari makan sendiri, kalau
tidak, orang itu tidak bisa makan. inilah zaman keemasan yang pernah terjadi
dalam budayaku. Namun budaya itu terputus, kapan? Aku tak tahu. tapi satu yang
pasti, budaya itu kini telah menghilang, entah kemana perginya.
Budaya mengemis
telahmendara daging, akibatnya, orang lulsan sarjana pun terpaksa harus memikul
“map” yang berisikan ijasah untuk mencari pekerjaan, orang lupa kalau mereka
seharusnya menciptakan lapangan kerja. Namun… jangankan lapangan kerja untuk
orang lain, menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri senripun tak mampu…. Apakah
ini yang disebut budaya yang baik?
Pada Jepang, seorang
anak SD dapat mencari uang jajan
dengan menciptakan subuah robot dan dijualkan ke orang lain. Berbeda dengan di
Indonesia, seorang anak kecil tidak mau pergi ke sekolah karena tidak
mendapatkan uang jajan dari orang tuanya. Ini bukan hal yang lucu tapi
meresahkan. mungkin terlalu jauh… aku bisa sampai tiga hari tidak makan hanya
karena tidak mendapat kiriman dari orang tua. aku sering menunggak pembayaran
uang kuliah karena menunggu kiriman dari orang tua.
Mungkin saat ini aku
harus mengakui kalau aku masih lebih bodok dari seekor cicak yang tidak sekolah,
tapi tahu dimana ia harus mencari makan. Mungkin martabatku masih lebih rendah
dari anak-anak SD di jepang.
Akan tetapi aku sedikit
tertawa karena aku masih lebih baik daripada orang yang sama sekali tidak
menyadari hal ini…. Apakah kalian menyadarinya?
Dimuat
Pada Persma.com