Label

Sabtu, 05 Mei 2012

Angkatan ’45: Sebuah Perlawanan


Oleh: Richi Richardus P. Anyan

Sekapur Sirih
Pergolakan politik yang sangat pesat pada tahun 1942-1945 melahirkan satu angkatan baru yaitu angkatan‘45. Berawal dari sastra yang menghamba pada penjajah dan beberapa sastrawan yang bergabung dalam lembaga penguasa saat itu. Angkatan’45 meletakan pondasi kokoh pada kesusastraan Indonesia karena kesusastraan sebelumnya dianggap tidak memiliki jati diri. Jika angkatan Balai Pustaka menghamba pada penjajah Belanda dan Pujangga Baru terlalu berevorio pada budaya barat, maka Angkatan’45 merupakan penolakan pada keduanya.
Angkatan’45 merupakan suatu angkatan yang berada pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Banyak orang sering menyebut angkatan ini sebagai angkatan’42. Pada buku A. Teeuw “Sastra Baru Indonesia”, menjelaskan panjang lebar soal angkatang’42 dan angkatan’45. Menurut A. Teeuw, tahun 1942 merupakan tahun pemisah dari pergolakan politik yang terjadi sebelumnya. Pada tahun ini terjadi suatu perjuangan rakyat Indonesia yang berimplikasi pada kemerdekaan bangsa. Hal ini sangat berpengaruh pada kesusastraan Indonesia. Karena itu, peristiwa-peristiwa tahun ’45 merupakan akibat yang wajar dan tidak lain dari peristiwa yang berlaku pada tahun-tahun sebelumnya; baik dari segi politik maupun dari segi semangat, terdapat suatu kelanjutan, bukan pemisah pada tahun ’45 itu.
Suatu ciri yang menyolok ialah bahwa beberapa penulis angkatan sesudah perang menerbitkan buku-buku yang mengandung kumpulan karya dari zaman yang bermula dengan tahun 1942 atau 1943 dan berakhir beberapa tahun setelah kemerdekaan: Amal Hamzah, Idrus, Umar Ismail. Jelas bahwa bagi mereka zaman ini merupakan kesatuan dari segi semangatnya, walaupun dari segi gaya karangan karya mereka itu mungkin memperlihatkan semacam perkembangan. Idrus yang dianggap sebagai penganjur besar bagi prosa zaman revolusi, pada zaman jepang, menulis dua drama yang sangat dekat dengan karya-karya angkatan‘45. Chairil Anwar sendiri yang merupakan pelopor utama angkatan’45 yaitu generasi tahun kemerdekaan, mengubah lebih dari separuh sajak-sajak aslinya sebelum 17 Agustus 1945. Jassin dalam antologinya, yaitu Gema Tanah Air (1948) yang “menetukan suatu jangka masa” itu, mengumpulkan prosa dan puisi dari zaman antara tahun 1942-1948. Pada keseluruhan, tidak diragukan lagi bahwa revolusi jiwa di Indonesia dan juga gerakan kesusastraan baru yang berhubungan rapat dengan itu bermula pada tahun 1942 (Sastra Baru Indonesia: 149-150).
Angkatan’45: Sebuah Perlawanan 
Tokoh-tokoh
Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1922. Dia hanya bersekolah sampai Mulo (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudia ia belajar sendiri sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat. Esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Berani dan secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam). Esai dan sajak-sajaknya menggambarkan secara jelas bahwa ia adalah individual yang bebas. Secara gambling dia menentang sensor Jepang. Akibatnya dia selalu menjadi incara polisi rahasia Jepang (Kenpetai) yang terkenal galak dan kejam.
Sajaknya yang termasyhur berjudul “AKU” merupakan gambaran semangat hidupnya. Pada sajak itu dia menyebukan sebagai “Binatang Jalang”, sebutan yang segera menjadi terkenal. Selain sebagai seorang yang Indivudualis, Khairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, Kerawang–Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, Cerita Buat Dien Tamaela, dan lain sebagainya. Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinismengejek nili-nilaioral, termasuk nilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya yang berjudul Doa dan Isa menunjukkan peerasaan keagaaan yang mendalam. Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain.
Beberapa sajaknya sangat romantis seperti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi. Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara yang diumumkan dalam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lain ternyata berdasarkan sajak-sjak orang lain tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta, Rumahku dan lain-lain.
Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya.
Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950). Terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Avin. Tulisan-utlisan Khairil yang tidak dimuat dalam ketiga kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan kata pengantar H.B. Jassin berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Sajaknya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing di antaranya di dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia, Hindi, dan lain-lain.
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku tak mau tak seorang kan mengganggu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka yang bisa kubwa berlari
Berlari Hingga pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Meskipun dalam beberapa sajak dia sering seolah-olah sinis mengejek nilai-nilai moral, termasuk nilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya yang berjudul Doa dan Isa menunjukkan peerasaan keagaaan yang mendalam. Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat romantis sepeti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain.
Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi. Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara yang diumumkan lam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lian ternyata berdasarkan sajak-sjak orang lain tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta, Rumahku dan lain-lain.
Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya. Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950). Yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Avin.

Asrul Sani dan Rivai Apin
Penyair kawan seangkatan Chairil Anwar yang bersama sama mendirikan “ Gelanggang Seniman Merdeka “ ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menenrbitkan kumpulaan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950). Asrul Sani lahir di Riau Sumatera Barat tanggal 10 Juni 1926. Ia pertama kali mengumumkan sajak dan karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia , tahun 1948.
Asrul Sani seorang sarjana ke Dokteran Hewan yang kemudian menjadi Direktu Akedemi Tater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai DPRGR/MPRS Wakil Seniman. Sajak-sajak Asrul Sani sangat merdu (melodius). Kata-katanya memberikan citra (image) yang lincah dan segar. Dalam sikap, ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya Matera dan Surat dari Ibu menunjukkan pandangan hidupnya yang moralis.
MANTERA
Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari ke mari!
Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati.
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa.
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tidak takut pada hitam,
Tiada takut pada kelam Pitam dan kelam punya aku

Dalam sajak itu dia mengaku bahwa dirinya sebagai “laksamana dari lautan” dan “panglima dari segala burung rajawali yang menutup segala kota sambil menyebarkan api, supaya janda-janda tidak diprkosa” dan supaya “budak-budak tidur di pangkuan bunda.”
Cerpen-cerpen Asrul Sani melukiskan betapa halus perasaannya pada manusia; meluiskan kehidupan manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaan sendiri. Beberapa cerpen karangan Asrul Sani yang terkenal antara lain yang berjudul “ Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Si Penyair Belum Pulang, Perumahan Bagi Fadjria Novari, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat, Museum, Panen “ , dll. Rivai Apin lahir di Padang Panjang tanggal 30 Agustus 1927. Sajak-sajaknya tidak semerdu sajak-asajak Asrul, tetapi berat dengan masalah yang mau sungguh-sungguh. Sejak masih duduk di sekolah menegang ia telah mengumumkan sajak-sajak dalam majalah-majalah terkemuka. Ia pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema suasana, Gelanggang, dan Zenith. Tahun 1954, ia melaksasnakan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya. Ia keluar dari redaksi Gelanggan dan beberapa waktu kemudian ia masuk kelingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Idrus
Idrus Lahir di Padang tanggal 21 September 1921. Ia pelopor angkatan 45, lulus dari sekolah menengah, ia bekerja dari menjadi redaktur Balai Pustaka. Di sanalah ia mulai menaruh perhatian kepada sastra. Pada zaman Jepang ia menulis beberapa cerita romantik tentang pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya seperti “ Ave Maria “ dan dramanya Kejahatan Membalas Dendam. Tapi, ketika melihat kesengsaraan dan kemelaratan rakyat di bawah kaki Dai Nippon, ia meninggalkan cerita romantic, dan mulai menuliskan cerita-cerita yang melukiskan ralitaskehidupan sehaari-hari.
Sesudah masa revolusi tulisannya diumumkan dengan judul umum ‘Corat-Coret di Bawah Tanah’. Cerita ini melukiskan tentang kehidupan rakyat di jaman Jepang secara sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasarnya diperlihatkan dalam karangannya Surabaya, sampai-sampai ia di sebut “ Kontra Revolusi “. Karangan-karanagan itu keudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul ‘Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ (1948). Cerita lainnya adalah Aki (1940) yang merupakan kidah simboliknya dengan maut. Di samping itu ada sebuah sandiwara dengan judul ‘Keluarga Surono’ (1948) terbit di Medan.
Ketika Idrus memimpin majalah kebudayaan dengan nama Indonesia, ia menulis tentang para pengarang antara lain, “Sultan Takdir Alisyahbana sebagai pengarang roman. Ia juga memuat roman Autobiografisnya berjudul ‘Perempuan dan Kebangsaan’ (1949), tapi roman ini dianggap gagal.
Setelah keluar dari Balai Pustaka ia bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways). Tahun 1953 ia muncul dengan cerpennya dalam majalah Kisah. Di lapangan penerjemahannya ia berjasa telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton Chekhov (1883 – 1923), pengaran Belgia William Elsshot (1882) dll. Kemudian ia pindah ke Kuala Lumpur dan mendirikan perusahaan penerbitan. Buku yang diterbirkannya yaitu, ‘Dengan Mata Terbuka’ (1961), ‘Hati Nurani Manusia’ (1963).

Achadiat K. Mihardja
Meskipun pada zaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah Gelombang Zaman, nama Achdiat tidak peernah disebut-sebut dalam dunia sastra sampai ia muncul dengan romannya Atheis (1948).
Ia dilahirkan di garut pada tanggal 6 Maret 1911. Roman itu melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh Utamanya seorang pemuda kelahiran desa bernama Hasan. Pada masa kecilnya hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama Islam dan pengikut suatu aliran tarikat tapi ketika ia bekerja di kota, jauhlah ia dengan kehidupan agama. Apalagi ketika akhirnya bertemu dengan kawan sekolahnya yang benama Rusli yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai seorang atheis.
Hasan yang kesadaraan agamanya hanya secara tradisional saja mudah sekali terombang-ambing. Perkataan-perkatan Rusli yang berpandangan Marxis mengguncangkan imannya. Terutama ketika ia jatuh cinta kepada seorang janda muda bernama Kaartini, kawan Rusli, yang menurut analisis Rusli menjadi korban kekejaman kelas. Kartini ketika masih gadis dikawinkan oleh olrang atuanya dengan arab yang menjadi lintah darat.
Hasan terombang-ambing jiwanya: menjadi atheis tidakan kejam seorang beragama yang taat pun tidak lagi. Dalam suasana terombang ambing itu, ia mengalami berbagai cobaan. Kekurag ajaran Anawaruang menyebabkan Hasan selalu hidup dalam cemburu terus-terusan karena kelihatan mau mengganggu Kartini, hubungan dengan orang tuanya yang memburuk, ketakutannya akan siksa neraka dan lain-lain.
Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orosinil. Sebelumnya tak pernah ada roman seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back bukan untuk pertama kali dipergunakan dalam penulisan roman Indonnesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit 1920 juga menggunakan cara flash-back. Tetapi cara Achdiat menggunakan flash-back sangat menarik: Atheis dibuka dengan suatu adegan ”si aku” pengarang bersama Kartini mencari berita tentang Hasan. Hasan ketika itu sudah mati. Kemudian, si aku mengisahkan pertemuan dengan Hasan yang memberikan karangan berdasarkan pengalaman hidupnya. Maka mulailah cerita Hasan sampai hubungan dengan orang tuanya mencapai krisis.
Tentang roman etis ini seorang sarjana sastra Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan berjudul Roman Ateis (1963). Dia pernah bekerja menjadi pemimpin Balai Pustaka, kemudian pindah ke Jawatan Kebudayaan sampai pensiun. Tahun 1959 ia mengajar sastra modern di Fakultas Sastra UI dan tahun 1962 mengajr drama Indonesia modern di The Asutralian National University, Canbera.
Achdiat bukan pengarang yang produktif. Beberapa tahun lamanya setelah Atheis ia hanya menerbitkan Polemik Kebudyaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik sebelum perang dan drama anak berjudul “Bentrokan dalam Asmara” (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula karya sastranya berjudul Keretakan dan Ketenangan yang merupakan cerpen dan drama satu babak dan mendapat hadih sastra nasional dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955 – 1956.
Pada cerpennya dan dramanya itu, Achdiat secara halus dan tajam melukiskan o-ka-ba (Orang Kaya Baru) yang penuh kesibukan dan kegermelapan, tetapi sesungguhnya kosong dan hampa. Tahun 1961 terbit cerpen Kesan dan Kenangan.

Pramoedya Ananta Toer
Dilahirkan di Blora pada tanggal 2 Pebruari 1925, mulai mengarang sejak zaman Jepang dan masa revolusi, Kranji dan Bekasi Jatuh (1947). Meskipun demikian, baru menarik perhatian dunia Sastra Indonesia tahun 1949 ketika cerpennya Blora yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara pengaran yang diadkan oleh Balai Pustaka. Blora ditulis dalam gaya yang sangat padat dan menyenakkan. Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjaran ditebitkan menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950). Roman Keluarga Gerilya (1950) dan cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama sama beberapa cerpen yang ditulisnya sebelumnya diterbitkan dalam buku yang berjudul Percikan Revolusi (1950).
Perburuan ialah sebuah cerita fiksi (rekaan) yang berdasarkan pemberontakan PETA yang gagal terhadap Jepang, karena salah satu orang di antara shodancho yang akan berontak itu berkhianat. Selanjutnya Pram membahas kesetiaan manusia: ketika shodancho Hardo yang menyamar sebagai kere bertemu dengan bakal mertuanya, dengan ayahnya, ia hanya menemukan kekecewaan saja. Bakal metuanya berkhianat lapor pada Jepang dan ayahnya yang dicopot dari kekdudukanya sebagai wedaan menjadi penjudi. Semua peerisitwa itu dipadatkan pengarnag terjadi dalam temp shai semalam.
Juga dalam roman Keluarga Gerilya peristiwa-peristiwa yang terjaadi dipadatkan dahanya dalam tiga malam saja. Keterangan di bawah judul bukunya, “Kisah keluaaarga manusia dalam tiga hari tiga mlam saja.” Pram ialah seorang yang sangat produktif menulis, tak henti-hentinya ia menulis, “Mereka yang Dilumpuhkan” (dua jilid, terbit 1951 – 1952) merupakan pengalamannya selama dipenjara; “Cerita dari Blora” 1952 mendapat hadiah sastra nasional BMKN.
Tahun 1952 menerbitkan kumpulan cerpennya “Di Tepi Kali Bekasi” 1950. Sebuah roman yang melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Krawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam 1951, Gulat di Jakarta 1953, Korupsi 1954, Midah si Manis Bergigi Emas 1954, Cerita dari Jakarta 1957, dll. Pada cerpennya Dia yang Menyerah yang dimuat dalam buku Cerita dari Blora. Pram melukiskan sebuah keluarga yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun 1948. Dalam cerita itu ia mengutuk PKI. Tetapi, sikapnya terhadap PKI berubah sejak pertengahan tahun 1950-an.
Pada awal tahun 1960 ia sudah masuk menjadi seorang anggota pimpinan LEKRA yaitu sebagai seksi seni sastra dari Lekra dan memimpin grup Lentera yang melalui surat kabar “Bintang Minggu” tak habis-habisnya menyerang para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka dengan berbagai fitnah dan insinuasi. Karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing yaitu : Inggris, Belanda, Rusia, Cina, dan Jepang dll. Semasa menjalani hukuman di Pulau Buru, Pram menulis Tetralogi Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru dan baru bisa dinikmati secara bebas beberapa tahun setelah rejim orba jatuh melalui gerakan Reformasi 1997.
Dalam Tetralogi itu Pram melukiskan masa awal tumbuhnya nasionalisme untuk melawan pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda melalui sinergi tokoh Nyai Ontosoroh, seorang gundik Belanda, Tuan Melema, dan anak pribumi bernama Minke. Semangat perlawanan dimulai ketika hak asasi mereka diinjak-injak kaum penjajah. Annelis, kekasih sekaligus istri Minke dan anak kesayangan Nyai direnggut secara paksa oleh hukum kolonial. Annelis diambil paksa harus meninggalkan tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintainya di Hindia Belanda.

Mochtar Lubis
Seorang wartawan, sastrawan, budayawan dan pelukis. Tokoh dan novelis; mulai terjun di bidang jumalistik sebagai penyiar radio - militer di zaman Jepang, kemudian masuk Kantor Berita Domei di Jakarta. Lahir di Sungai Penuh Sumatra Barat, tanggal 7 Maret 1922 dan meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004. Anak ke enam dari sepuluh bersaudara pasangan Raja Pandapotan dan Siti Madinah Nasution. Menikah dengan Halimah tanggal 1 Juli 1945 dengan dikaruniai beberapa orang anak. Menempuh pendidikan di sekolah HIS kota kelahirannya setelah itu melanjutkan di Sekolah Ekonomi di Kayutanam. Usia 18 tahun, pindah ke Jakarta. Ia bersama dengan Adam Malik mendirikan Kantor Berita Antara, di samping surat kabar Indonesia Raya. Setelah Kantor Berita Antara dihidupkan kembali dan pindah ke Yogya (1946) dia menjabat Kepala Antara Cabang Jakarta.
Tahun 1947, mendirikan majalah Masa Indonesia disamping membantu harian Merdeka, pemimpin redaksi majalah Mutiara. Tahun 1954, dia mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi Indonesia Raya (1954-1974). Sesudah kedaulatan Mochtar Lubis mendirikan surat kabar berbahasa Indonesia Time of Indonesia. Ia juga aktif di organisasi Internasional diantaranya anggota panitia Unesco mengenai masalah komunikasi dan Anggota Dewan Pimpinan Press Institut dan menjabat Assosiate Editor surat kabar Word Paper. Karya sastranya yang terkenal berjudul Si Djamal. Buku romannya yang berjudul Djalan Tak ada Ujung memperoleh hadiah sastra dari BMKN tahun 1952, juga kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Perempuan di tahun 1955-1956. Setelah bebas dari penjara selama sepuluh tahun muncullah novelnya yang berjudul Harimau Harimau yang tahun 1975 termasuk golongan terbaik dan memperoleh hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen P dan K. Tahun 1979 novelnya Maut dan Cinta juga memperoleh hadiah sastra dari Yayasan Jaya Raya. Karyakaryanya antara lain: Tak Ada Esok (1951); Si lamal (1951); Catatan Korea (1951, mendapat hadiah dari PWI Jaya); Cinta dan Maut (1977: hadiah sastra 1979). Dan banyak juga karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.
Karena aktivitasnya dan prestasinya di bidang jurnalistik, sehingga mendapatkan penghargaan internasional di bidang jurnalistik, antara lain mendapat hadiah Magsaysay dari Fillipina (1958) dengan laporannya tentang perang. Tahun 1967 World Federation of Editor and Publishers (Federal International dan Perhimpunan Penerbit) memberikan Pena emas dan dari Universitas Hawaii ia mendapat Jagerson Fellowship yang pertama di East and West Center); hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1952: lalan Tak Ada Ujung); hadiah buku terbaik dari Yayasan Buku Utara (1975: Harimau! Harimau); hadiah seni dari pemerintah RI (1977). Mochtar Lubis juga duduk dalam berbagai badan internasional, antara lain: Presiden Press Foundation ofAsia, anggota pimpinan International Press Institute, anggota dewan pimpinan International-Association, anggota Akademi Jakarta (sejak 1966).

Utuy Tatang Sontani
Sastrawan Angkatan '45 terkemuka. Lahir di Cianjur 31 Mei 1920, meninggal di Moskow 17 September 1979. Pendidikan terakhir tamat Taman Dewasa, Bandung. Pernah bekerja di RRI Tasikmalaya, Balai Pustaka, Jawatan Pendidikan masyarakat (Bagian Naskah dan Majalah), Jawatan Kebudayaan Kementrian PP & K, dan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Indonesia. Selain itu, ia pun pernah menjadi anggota Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965).
Dramanya, Awal dan Mira (1952), memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1953, sedangkan dramanya yang lain, Saat yang Genting (1958), mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/1958. Karyanya yang lain Suling (d, 1948), Bunga Rumah Makan (d, 1948), Tambera (n, 1949), Orang-Orang Sial (ke, 1951), Manusia Iseng (d, 1953), Sangkuriang Dayang Sumbi (db, 1953), Sayang Ada Orang Lain (d, 1954), DiLangit Ada Bintang (d, 1955), Selamat Jalan Anak Kufur (d, 1956), Di Muka Kaca (d, 1957), Manusia Kota (kd, 1961), Tak Pernah Menjadi Tua (d, 1963), Si Sapar (n, 1964), dan Si Kampreng (d, 1964). Terjemahannya: Selusin Dongeng (karya Jean de la Fontaine, 1949). Studi mengenai karyanya terdapat dalam; H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II (1967; halaman 153-177).

Sitor Situmorang
Lahir di Harianboho, Tapanuli tanggal 2 ktober 1942. Mulai terkenal tahun 1953, ketika menulis sajak, drama, cerpen, esai, dll. Sajaknya pertama berjudul “Surat Kertas Hijau“ 1954. Sajaknya kedua berjudul “Dalam Sajak“ 1955. Ada juga menerbitkan drama yang berjudul “Jalan Mutiara“ 1945 dan kumpulan cerpennya yang berjudul “Pertempuran dan Salju“ di Paris 1956, sajak yang dibuatnya berjudul 
“Lagu Gadis Italia “
Kerling danau di pagi hari
Lonceng Gereja bukit Italia
Jika musimmu tiba nanti
Jemoputlah abang diteluk Napoli
 …………………………………
…………………………………

Menjelang akhir tahun lima puluhan , ia aktif dalam dunia politik praktis, tahun 1959 ia menjadi ketua pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajaknya di ganti dalam kumpulan bahasa bombastis dan slogan-slogan murah. Sajaknya termuat dalam kumpulan yang berjudul “ Zaman Baru “ 1962 dan tahun 1966 ia ditahan dan disangka terlibat gestapi PKI.

Sebagai seorang penyair, Sitor sering digolongkan sebagai penyair atau punjangga angkatan 45, bersama dengan Chairil Anwar dan Sanusi Pane. Menurut Sitor, penyair angkatan 45 diilhami oleh semangat memberontak demi kemerdekaan.
Memasuki dekade 1950-an, Sitor banyak menciptakan karya puisi yang fenomenal, seperti yang terangkum dalam kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954) dan Dalam Sajak (1955). Banyak pihak menganggap karya-karya Sitor banyak yang bernuansa nature dan diwarnai gaya sastra tradisional semacam pantun. Mengomentari hal ini, Sitor berucap : “Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantun-pantun...”.
Karya-karya sastra Sitor lainnya yang juga diterbitkan di tahun 1950-an, antara lain Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954) dan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Selain bergelut dalam dunia sastra, Sitor juga meniti karir sebagai wartawan. Ia pernah menjadi pewarta berita di berbagai media, seperti Harian Suara Nasional, Waspada dan Warta Dunia.
Keterlibatannya dalam dunia politik diawali ketika Sitor bergabung dalam Partai Nasional Indoenesia (PNI) dan kemudian diberi amanat untuk menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) di akhir dekade 1950-an . LKN merupakan organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PNI. Sejak saat itulah Sitor terlibat secara total dalam kancah perpolitikan nasional. Di masa Demokrasi Terpimpin, ia bersama LKN yang dipimpinnnya menjadi pendukung setia kebijakan Presiden Soekarno, khususnya di sektor kebudayaan.
Sikap politik yang ia ambil berpengaruh pula pada beberapa karyanya yang terbit di tahun 1960-an. Contohnya, puisi “Zaman Baru” yang ia ciptakan di tahun 1962. Puisi tersebut diciptakannya setelah ia bersama tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Rivai Apin, berkunjung ke Tiongkok. Sitor mengungkapkan kekaguman dan dukungannya bagi revolusi rakyat Tiongkok melalui “Zaman Baru”.
Dalam suatu wawancara dengan majalah Tempo pasca reformasi, Sitor mengemukakan alasan dukungannya terhadap Tiongkok ketika itu: “Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita.”
Perihal sikap politik pro Soekarno dan dukungannya terhadap Tiongkok yang ‘komunis’ membuat Sitor dikecam oleh sesama sastrawan dan seniman, terutama yang mengklaim diri sebagai kaum ‘humanis universal’ dan penjunjung kebebasan berkreasi. Namun, Sitor tetap pada pendirian politiknya sebagai pendukung Soekarno dan mengekspresikan sikap tersebut dalam puisi-puisinya. ”Makan Roti Komune”, ”Lagu Gadis Itali” dan ”Jalan Batu ke Danau” merupakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam situasi politik nasional yang semakin terpolarisasi menjelang tahun 1965. Sitor pun menerbitkan kumpulan esai politiknya, Sastra Revolusioner, di tahun 1965.
Polarisasi politik yang juga merambah lapangan budaya ketika itu turut pula melibatkan Sitor. Sebagai pimpinan LKN yang mendukung garis kebijakan Soekarno, Sitor bersama dengan kawan-kawannya di Lekra berpolemik dengan kaum sastrawan dan seniman ‘bebas’ yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sitor dan kawan-kawan menganggap Manikebu tak lebih dari tindakan politik yang disusupi anasir imperialis yang bertopengkan kebudayaan.
“Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika,” demikian penjelasan Sitor mengenai latar belakang konflik 1965 dan siapa sesungguhnya kelompok Manikebu itu.
Polemik antara LKN-Lekra dan Manikebu berujung pada pelarangan Manikebu oleh Soekarno di tahun 1964. Sitor berpendapat hal itu lebih dilatarbelakangi oleh konflik politik yang kian memanas pada masa itu dan bukan sekedar pemberangusan kebebasan berkreasi seperti yang selalu didengungkan tokoh-tokoh Manikebu. Hal ini diperkuat dengan adanya dukungan politik kelompok Angkatan Darat (AD) terhadap Manikebu.
“Saya menyayangkan peristiwa (pelarangan Manikebu) tersebut. Tapi waktu itu saya dalam situasi politik, suara saya adalah polemik politik. Saya memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional dan anti-Manikebu. Dan bagi saya, sampai sekarang, penandatangan manifes itu isinya hanya “bunga-bunga” saja. Tapi intinya adalah perbuatan politik murni,” kata Sitor.
Klimaks konflik politik era Demokrasi Terpimpin ditandai dengan meletusnya tragedi Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965. Situasi pun berubah dengan cepat. Kekuatan Soekarnois dan komunis terpukul oleh kekuatan baru yang diberi label ‘Orde Baru’.
Sitor, yang menjadi bagian dari kelompok pendukung Soekarno, pun turut ‘disasar’ oleh rezim baru pimpinan Soeharto. Ia djebloskan ke penjara Gang Tengah Salemba di tahun 1967 tanpa proses peradilan. Delapan tahun lamanya ia mendekam di penjara. Selama itu pula ia tetap konsisten menjadi seorang Soekarnois tanpa ada maksud secuil pun untuk ‘cari aman’ dengan mengingkari pendiriannya.
Dia juga konsisten dalam berkarya. Selama dalam tahanan, Sitor berhasil menggubah dua karya sastra yang berjudul “Dinding Waktu” dan “Peta Perjalanan”. Pada tahun 1975, Sitor dilepaskan dari bui. Namun ia tetap dikenai status tahanan rumah hingga tahun 1976. Berbagai kesulitan hidup pun dialami oleh Sitor dan keluarga, seperti halnya mantan tahanan politik (tapol) lainnya di era Orde Baru.
Untuk menghindari tekanan politik lebih lanjut dari rezim Soeharto, Sitor memilih menetap di Paris, Perancis. Pada masa itu, negara-negara Eropa seperti Perancis dan belanda memang menjadi tempat tujuan para pelarian atau mantan tapol Indonesia masa Orde Baru, terutama yang terkait dengan peristiwa 1965. Di tahun 1981, Sitor pindah ke Belanda dan menjadi dosen di Universitas Leiden selama sepuluh tahun. Setelah itu, Sitor kembali berpindah-pindah tempat dari Perancis hingga Pakistan.
Sitor kembali ke Indonesia setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998. Dalam berbagai forum dan interview dengan berbagai media di masa reformasi, ia tetap membenarkan sikap politik dan karya-karyanya yang menyokong kebijakan Soekarno pada tahun 1960-an. Sikap yang mengakibatkan dirinya menjadi tapol dan eksil di era Orde Baru. Seperti itulah konsistensi Sitor, sang penyair Soekarnois.

Aoh K. Hadimadja
Nama samarannya Karlan Hadi, muncul di Dunia sastra pada masa sebelum perang. Sajaknya dimuat dalam majalah “Poedjangga Baroe“, yang banyak menyanyikan keindahan alam.
Pada masa Jepang ia menulis sajak-sajaknya yang religius 1952 dimuatnya dalam kumpulan Zahra. Tahun 1952, ia juga menulis sandiwara berjudul sejumlah reportasi literernya dalammanusia dan tanahnya. Ia pun menjadi pemimpin sejarahan mingguan mimbar di Medan. Ia membukukan kegitan dalam buku berjudul beberapa paham angkatan 45 1952), ia pun menulis bahasnya dimuat dalam polemiknya dengan Hamka dan Bakri Siregar dengan H.B. Yassin dan sajak karang penyair muda Sumatera. Ia lahir pada tanggal 15 September 1911. Tahun 1953 ia menjadi pengawal Radio HILVERSUM NEDERLAND dan BBC LONDON. M.

Balfas dan Rusman Sutia Sumarga
Lahir di Jakarta tanggal 25 Desember 1922 ia terkenal sebagi prosis. Cerpennya “ANAK REVOLUSI“ yang jadi perhatian orang-orang, yang diumumkanpertama kalinya dimajalah Bema Suasana 1948. Anak Revolusi dibukukan dengan judul Lingkaran Retak 1952. Tahun 1953 ia bersama Sudjati S.S. mendidrikan majhalah Kisah di Kuala Lumpur ia menuliskan roman berjudul Retak 1964 dan sandiwara berjudul “Tamu Malam“ .
Rusman lahir di Subang tanggal 5 Juli 1917. Pada tahun 1946 cerpennya yang berjudul  “Gadis Bekasi“ mendapat hadiah. Cerpen yang berjudul Terhempas dan terkandas 1851. Cerpen Sunda yang diterbitkan berjudul “Korban Romabtik“ dan “Kalung” oleh Balai Pustaka 1964.

Trisno Sumardjo


Budayawan, sastrawan dan pelukis. Lahir di Surabaya 6 Desember 1916 dan meninggal di Jakarta, 21 April 1969. Ayahnya adalah guru sekolah dasar, dididik di sekolah-sekolah berbahasa Belanda; ia menyelesaikan sekolah menengahnya pada 1937. Pada 1946, sementara ia berada di Madiun, ia mulai menulis dan melukis. Perhatiannya dalam seni lukis terpacu oleh afiliansinya dengan SIM di Solo, ketika ia juga memimpin publikasi dari jurnalnya Seniman. Sejak 1949, tinggal di Jakarta dan bergiat di Sekretariat Lembaga Kebudayaan Indonesia, kemudian sebagai anggota dari dewan federasi kebudayaan BMKN, dan anggota staff editorial jurnalnya yaitu Indonesia. Bersama Zaini dan Oesman Effendi ia mendirikan Yayasan SD pada tahun 1958.
Setelah tamat AMS-II Barat Klasik di Yogyakarta (1937), bekerja sebagai guru swasta (1938-1942), dan kemudian pegawai Jawatan Kereta Api (1942-1946). Pernah menjadi direktur majalah Seniman (19471948), Indonesia (1950-1952), Seni (1954), dan Gaya (1968). Pernah menjadi sekteratris Lembaga Kebudayaan Indonesia (1950), sekretaris umum BMKN Indonesia ke RRC (1957). Tahun 1957. Tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Potret diri Trisno Sumardjo, lukisan Barat dan tahun 1961 sekali lagi karya Oede Eri Supria mengunjungi AS.
Karyanya: Kata Hati dan Perbuatan (kc + ks + d, 1952), Cina Teruna (db, 1953), Rumah Raha (kc, 1962), Penghuni Pohon (c, 1963), Keranda Ibu (c, 1963), Silhuet (ks, 1965), Wajah-Wajah Yang Berubah (kc, 1968), dan Suling Patah (ks, 1988).
Disamping sebagai pengarang dan pelukis, ia dikenal sebagai penerjemah. Drama William Shakespeare yang sudah diindonesiakannya: Hamlet Pangeran Denmark (1950), Saudagar Venezia (1950), Prahara (1952), Manusia (1952), Impian di Tengah Musim (1953), Romeo dan Juliet (1955; juga terbit dalam edisi Malaysia di Kuala Lumpur, 1960), Macbeth (1962), Antonius dan Cleopatra (1963), Raja Lear dan Othello. Terjemahannya yang lain: Dongeng-Dongeng Perumpamaan (karya Jean de la Fontaine, 1959), Dokter Zhivago (n Boris Paternak, 1960), dan Maut dan Misteri (ke Edgar Allan Poe, 1969).
Cerpennya Narcissus dimuat dalam antologi berbahasa Jerman, Kurzerzahlt: Die schonsten Geschichten der Welthilteratur (1949), sedangkan cerpennya yang lain, Topeng, dimuat dalam antologi berbahasa Belanda, Modern Indonesiche Verhalen (1967). Selain itu, esei-eseinya dan karangan-karangan Salah satu karya Trisnojuwono mengenai dirinya dihimpun Korrie Layun Rampan dalam Trisno Sumardjo Pejuang Kesenian Indonesia (1985). Ia adalah penandatanganan "Manifes Kebudayaan" dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama (1968-1969).
Ia adalah seorang figur penting dalam dunia seni Indonesia; ia dikenal karena tulisan-tulisannya, terjemahan-terjemahannya, serta aktivitas-aktivitasnya dalam organisasi-organisasinya kebudayaan. Seorang pekerja yang luar biasa, ia telah menerjemahkan banyak karya besar ke dalam bahasa Indonesia, termasuk novel-novel serta sejumlah drama Shakespeare. Ia menulis novel, drama, esai, puisi, serta kritik seni. Satu diantara cerita singkatnya yaitu Narcissuc, muncul di sebuah antologi Jerman berjudul The Most Beautiful Stories of World Literature, yang diterbitkan di Switzerland pada 1951. Pada tahun 1952 Trisno Sumardjo mengadakan perjalanan ke Amerika dan Eropa Barat selama enam bulan; pada 1957 ia adalah anggota dari delegasi Indonesia ke Cina. Lagi pada tahun 1961 ia mengunjungi Amerika Serikat dalam sebuah misi pertukaran kebudayaan.

Dodong Djiwa Pradja
Dodong sudah melukis sejak sekitar tahun 1948. Sajaknya Cita-Cita yang dimuat dalam majalah GEMA SUASANA takala masih diasuh oleh CHAIRIL ANWAR, merupakan salah satu sajak yang jernih. Ia dilahirkan di Garut tanggal 28 September 1928. Selain menulis sajak ia juga menulis cerpen dan esai. Citra puisi pada sajaknya menemukan bentuknya yang sederhana, orisinil dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan saslah seorang penyair Indonesia terkuat selain Rendra. Salah satu sajaknya yang dibuat pada tahun 1963 adalah:
NYANYIAN PAGI HARI

Dekapan pada hati, rumput-rumputmu, gunung-gunungmu
Tuang dan basuh muka dengan linang embunmu
Nyaman air, tercuci kaki berderai kerikil kali
Lebih indah dari impian, kenyataan diluar impian
 ……………………………………………………
…………………………………………………….
Dekaplah, dekapkan pada hati
Rumput hijaumu
Gunung birumu
Dan langitmu yang bagai telur

Meskipun ia telah menulis sajak yang cukup banyak tapi ia belum berhasil membukukannya.

Harjadi Hartowardojo
Nama lengkapnya Harjadi Sulaeman Hartowardojo. Mulai mengumpulkan sajaknya sekitar tahun 1950. Sebagian besar dari sajak pada masa-masa itu kemucian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku yang berjudul LUKA BAYANG, kumpulan sajak-sajaknya tahun 1950 – 1953 – 1963.
Harjadi dilahirkan di Prambanan tanggal 18 Maret 1930. Ia pernah bekerja pada redaksi majalah Pujangga Baru (sesudah perang). Kemudian hidup sebagai wartawan di berbagai majalah dipenerbitan antara lain: Garuda, Siasat, surat kabar Pedoman dan membantu berbagai majalah. Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakrta. Ia tamatan Fakultas Publikasti dan Fakultas Psikologi.
Sejak tahun 1968 pada bulan Juni, Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja. Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakarta. Ia tamatan Falkutas Publikastik, dan Fakultas Psikologi. Sejak tahun 1968 ( Juni ), Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja. Salah satu keryanya adalah :
ANJING MAKAN AKAR KAYU
Mari bone Beta cari gadis, cari nona,
Beta tukar sirih pinang Bersama melangkah, bersama berlagu
Menunggu bulan naik bulan terang
Siku beta main di dada
Semalam saja, besok
Berpasar sejam
Dansa, hail
Melangkah, hail berputar dalam lingkaran berbaris
Tangan berkepit-kepit
Sahut hormati beta punya lagu
Asa asu bukae hau baat
……………………………….
……………………………….

Selain menulis sajak ia juga menulis esei, serpen, dan roman. Esei terbaiknya di tulis pada tahun pertama lima puluhan. Cerpen-cerpennya masih berserakan, majalah-majalah yang memuatnya Roman yang dibuatnya berjudul MUNAFIK mendapat ajakan ikatan Penerbit Indonesia ( IKAPI ) Jawa Barat 1967.
Dalam romannya Harjadi melukiskan konfik tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi yang berlainan agama dan juga ras. Di dalam masyarakat kampung yang tradisional dengan cara berpikir. Meskipun di sana-sini roman ini menunjukkan kekurangan dalam komposisi ceritanya, namun roman ini mempunyai daya saran/daya pengikat yang mencekam hampir secara magis yang membuktikan ia sebagai penulis prosa.

MR. Rustandi Kartakusama
MH. Rustandi Kartakusama lahir di Ciamis tanggal 21 Juli 1921. Beliau banyak sekali menulis esai. Esai-esainya ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelekar, memberikan latar belakang yang luas. Meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan lapang dada. Sikap dan pendapat beliau terkadang membuat banyak orang tidak setuju. Akan tetapi esai-esainya tetap berharga untuk dibaca.
Beliau muncul dengan hasil karya dan buah tangannya pada akhit tahun empat puluhan. Beliau tidaklah tepat disebut angkatan 45’ sebab karya beliau sangat berbeda dengan angkatan‘45, baik dari segi bentuk atau isinya dan beliau sendiripun tidak mengaku sebagai angkatan’45.
Adapun hasil karya beliau sebagai berikut :
  • Esai-esai tentang sastra, seni, dan filsafat diantaranya : “Adam dan Si Anak Hilang“, “Homo Faber“, “Surat dari Cidadap Girang“, dimuat dalam majalah kebudayaan Indonesia. Dan esia-esai lainnya tentang “Ciliung“ dimuat dalam majalah gelanggang/siasat.
  • Drama yang terbit pada tahun 1950, Sajaknya Prabu dan Putri yang disebutnya “ Sebuah Tragedi “ ini merupakan sanduran dari sebuah cerita Pandji yang menceritakan bahwa segi percakapan tokoh-tokohnya nampak kecendrungan kepada pemikiran filosofis, percakapan tentang hidup, mati, ada dan tidak ada, keabadian, bahagia, dan lain-lain. Drama ini sulit dipentaskan. Drama yang lain berjudul “ Merah Semua Putih Semua “ (1961). Yang menceritakan atau melatar belakangi masa revolusi fisik melawan Belanda, yang berbentuk novela.
  • Dari drama beliau juga menulis scenario yang berjudul “Lagu Kian Mendjauh“ (1959). Menceritakan tentang kehidupan seorang seniman musik yang mana dalam kehidupannya terlibat cinta terhadap seorang gadis orkes yang di pimpinnya.
  • Beliau juga menulis sajak, yang berjudul sebagai berikut : - Rekaman dari Tudjuh Daerah (1951) ini merupakan sajak yang paling tebal terbit di Indonesia. - Sajak yang berdasarkan kisah-kisah lama dari Lutung Kasarung, dari kisah “ Singasari “ dalam Kartanagara dan kisah “ Adam Dan Hawa “ dalam Paradise Lost dan lain-lain.

PARA PENGARANG WANITA
Ida Nasution
Ida Nasution adalah pengarang esai yang berbakat dalam menulis esai yang dimuat dalam majalah-majalah. Tapi nasib beliau malang karena menjadi korban revolusi dan hilang dalam perjalanan Jakarta Bogr (1948).

Walujati
Lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1942. Mulai menulis sajak pada masa-masa awal revolusi, sajak berjudul “ Berpisah “ merupakan sejak romantik yang mendapat pujian dari Chairil Anwar. Dan pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman yang berjudul “ Pudjani “ dan masih banyak lagi roman yang beliau tulis tak kunjung terbit.

St. Nuraini
Lahir di Padang tanggal 6 Juli 1930. Beliau mnulis sajak, cerpen, esai, dan menterjemahkan hasil sastra asing. Salah satu sajak beliau yang sangat lembut dan halus sekali melukiskan perasaan sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.

S. Rukiah
Lahir di Purwarkarta tanggal 25 April 1972, beliau juga menulis sajak dan bahkan dimuat dalam bukunya “ Tandus “ (1952) mendapat hadiah sastra nasional BMKN tahun 1952 untuk puisi. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul “ Kejatuhan Dan Hati “ ( 1950 ) yang mengisahkan tentang perasaan wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus tetapi kemudian terpaksa kawin dengan pedagang pilihan ibunya.

Suwarsih Djojopuspito
Lahir di Bogor tanggal 20 April 1912. Hasil karyanya berupa roman yang ditulis dalam bahasa Belanda berjudul “ Buiten Het Gareel (diluar garus)” terbitan tahun 1941. Roman ini menceritakan kehidupan kaum pergerakan nasional Indonesia, terutama di lingkungan perguruan pertikelir (Taman Siswa) pada tahun tiga puluhan. Sebelum beliau menulis roman bahasa belanda beliau menulis roman dengan bahasa sunda akan tetapi roman ini ditolak Balai Pustaka. Lalu beberapa tahun kemudian beliau (1959) menerbitkan roman yang berbahasa Sunda tahun 1937 berjudul “Marjanah“. Setelah itu beliau menulis cerpen yang pertama berjudul “Tudjuh Tjerita Pendek“ (1951) yang kedua berjudul “Empat Serangkai” (1954). Masih ada banyak lagi kumpulan cerpen yang belum dibukukan.
Beberapa Pengarang Lain Kecuali para pengarang yang tadi sudah dibicarakan, masih banyak lagi para pengarang lain yang memulai atau mengajukan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945 – 1953. Misalnya Barus Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 15 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen yang berjudul Sepanjang Jalan. Dengan beberapa cerita lain (1953). Sk. Muljadi (lahir di Madiun tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya yang berjudul Kuburan (1951). Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915), menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Kisah Swajarnya (1952), S. Mundingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menebitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952). Muhannad Dimyati yang kadang-kadang menggunakan nama samaran Badaruzaman (larih di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpualn cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa (1951), R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949), dan Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung (1949) dan lain-lain.
Di samping itu ada pula pengarang-pengarang yang belum berhasil menerbitkan buah tangannya menjadi buku. Karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu. Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli tanggal 5 Oktober 1920), P Sengojo atau Suripman (lahir 1927), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun 1928), Muh Ali (Lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung Murbaningrad atau Sri Amarjati Murbaningsih yang ke semuanya nama samaran Suradal A. Manan (lahir di Kulur, Yogyakarya, tanggal 13 Agustus 1924), Sirulllah Kaelani yang kadang-kadang menggunakan nama S.K Insankamil (lahir di Ciledung, Cerebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius Marpaung (lahir di Porsea 1928), Harijadi S. Hartowaddojo (lahir di Prambanan 18 Maret 1930), Abas Kartadinata (Lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya1922) dan lain-lain.

Beberapa Pengarang Lain

P. Sengojo
Nama sebenarnya ialah Suriman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926. Kalau menulis sejak ia menggunakan nama samaran P. Sengojo atau Piet Sengodjo. Nama Suripman dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen. Sajak-sajaknya surrealistis. Batas antara kenyataan dan angan-angan demikian titpis sehingga kabur-berbaur. Dalam sajak-sajaknya suasana samar-samar dan remang-remang, dunia yang maya terasa mendasari. Dalam beberapa hal ia melakukan percobaan-percobaan dengan bahasa, keluar dari kebiasaan yang umum.
MENCARI ANGIN
Perahu yang melancar di atas ke permukaan air yang kemilau dalam cahaya surya bermain
Aku yang merasa tenang dalam kegirangan yang meresap dari pohon di hadapan
Burung yang terbang lalu melayang di atas embusan angin
Aku dan engkau yang tiada berpandangan lagi, dan alam bebas melepaskan kita berdua- Makin yang berharap menimbulkan bahagia
Ah, kita berdua telah saling percaya.
(Gelanggang / Siasat, 1953)

Lebih tenang dan lebih tajam, mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun 1952–1953–1954 memnuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta dengan judul umum Pecahan Bertebaran. Dalam esai-esainya itu ia menunjukkan bahwa di samping mempunyai erudisi yang luas.  Ia merupakan seorang yang waspada-tajam melihat situasi nyata yang hidup di sekelilingnya. Ia pun menunjukkan minat yang besar terhadap sastra dan nilai-nilai kebudayaan lama (Jawa). Jumlah cerpennya tidak banyak. Umumnya melukiskan kehidupan kampung dan pedesaan, di mana impian seorang naturalis tidak menemukan kenyataan. Banyak yang absurd.

M. Ali
Nama lengakpnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturanan India. Ia menulis sajak, cerpen dan sandiwara. Banyak dimuat dalam majalah-majalah Pudjangga Baru, Zenith, Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Konfrontasi, Indonesia dan lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwara yang terbaik kemudian dibukukan dalam sebuh kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959). Dalam karangan-karangannya tampak sekali perhatiannya terdahap masalah-masalah sosial dan kehidupan masyarakat. Sandiwara radio yang dimuat dalam buku itu berjudul “Lapar” merupakan gambaran tentang orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apapun juga miliknya untuk sekedar penangasel perut termasuk menjual anak dan dirinya sendiri. Dalam sebagian sajaknya, juga maslah ketuhanan dan keyakinan agama menjadi perhatiannya.
KEPADA GADIS CINTAWATI
Apakah hidup ini, jika tiada mati?
Dan betapa 
Mati jika bukan kebangkitan kembali?
Setelah kau berkisah tentang kasih dan benci?
Sudah kugali lubang di bumi
Buat tempatku tinggal abadi
Segala berkata: inilah mimpi!
Musim-musim silih berganti
Wangi senja warena-wareni
Menyanyikan kebesaran mati
Dan orang ini
Yang mengebung-mengempis mengisi hari
Akan menyerah kepada mati
Dan bila kubangun rumah di sini 
Batu demi batu kususun rapi atas napas ke napas yang menggendor sepi
Cintawati, kukasihi engkau, seperti murai
Ngagumi fajar dan embun pagi
Dan aku tahu: kau pun pasti hilang kembali
Kecuali yang dimuat dalam hitan atas
Putih itu

Masih benyak lagi karangan-karangannya yang belum dibukukan, baik cerpen maupun sajak. Beberapa buah karangannya yang lebih panjang dari cerpen telah diterbitkan berupa buku-buku kecil di Surabaya, antaranya 5 Tragedi (1954), Siksa dan Bayangan (1955), Persetujuan dengan Iblis (1955) dan Kubur Tak Bertanda (1955). Umumnya nilainya di bawah karangan-karangan yang dimuat dalam Hitam atas Putih.

Karakteristik Angkatan 45
a. Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka.
b. Mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya.
c. Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih.
d. Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi.
e. Humanisme universal, bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam perjuangan keadilan dunia.
f. Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan segala percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan perdamaian dunia.
g. Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia), penderitaan rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar. (http://manusiabatu.wordpress.com)

Peristiwa-peristiwa Penting
  • Penjajahan Jepang (1942—1945)
  • Proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945)
  • Agresi Militer Belanda I dan II (21 Juli 1949 dan 18 Desember 1948)
  • Penyerahan kedaulatan RI (12 Desember 1949.
  • Gebrakan Chairil Anwar dengan bahasa puisinya yang pendek, padat, berbobot, dan bernas dan struktur puisinya yang menyimpang dari pola sastra sebelumnya.
  • Diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang pada 23 Oktober 1950. manusiabatu.wordpress.com

Relevansi dengan Saat Ini
Pada masa kehidupan sastra angkatan’45, kita ketahui berbagai macam peristiwa terjadi. Hal ini menjadi nilai positif bagi sastrawan untuk berkarya secara bebas dan maksimal. Namun, karya-karya dan peristiwa-peristiwa yang dialami mereka tidak selesai sampai di situ saja karena ada kesamaan antara sastra Angkatan ’45 dengan kehidupan kita saat ini, antara lain sebagai berikut.
a. Pada masa angkatan ’45, Chairil Anwar—si binatang jalang—walaupun melakukan suatu gebrakan dengan bahasanya yang singkat tetapi bernas itu telah melakukan beberapa kebohongan yang membuatnya dicap sebagai plagiator. ia menjiplak puisi The Young Dead Soldiers Archibald Mac Leish dengan menggantinya dengan nama Krawang—Bekasi. Dalam kehidupan kita saat ini, penjiplakan-penjiplakan karya seperti ini sering terjadi. Salah satu contoh perseteruan antara Ahmad Dhani (Dewa) dengan Yudhistira A.M.N. akibat penjipakan yang dilakukan Dhani terhadap karya Yudhistira, Arjuna Mencari Cinta.
b. Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis yang mengisahkan tentang kebobrokan Katok dalam karya Mochtar Lubis tersebut diceritakan sebagai pemimpin yang merupakan dukun yang ahli membuat jimat dan juga seorang yang ksatria dan sakti. Namun, pada akhir cerita, kebenaran bahwa Wak Katok adalah seorang dukun sakti tak terbukti. Ini mengindikasikan kebohongan yang dilakukan Wak Katok karena telah menipu masyarakat dengan ceritanya yang telah membunuh tiga ekor harimau hutan. Bahkan Wak Katok sendiri harus rela dibunuh oleh seorang anak muda yang menjadi pengikutnya. Relevansi karya sastra tersebut dengan kehidupan kita di masa kini adalah banyak pemimpin kita yang akhlaknya bobrok. Mulai dari kebohongan-kebohongan, penyelewengan-penyelewengan, korupsi, hingga kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Bahkan kekalahan Wak Katok oleh pemuda dapat kita analogikan sebagai salah satu bentuk dari kekalahan rezim Soeharto dalam realitanya pada masa sekarang. Novel Harimau! Harimau! mengajak kita untuk merenungi arti pemimpin yang sebenarnya dan penghentian pe-mitos-an terhadap seorang pemimpin.
c. Pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda yang terjadi antara sastrawan Angkatan tua (Angkatan sebelum‘45) dengan Angkatan muda (Angkatan‘45). Angkatan ’45 menginginkan sastra Indonesia menjadi bagian sastra dunia yang universal, artinya tidak hanya menjadi konsumsi bangsa Indonesia saja, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat dunia. Sehingga mereka melakukan perombakan berupa pernyataan yang terkandung dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang juga merupakan konsepsi Angkatan’45. Dalam kehidupan saat ini juga ditemukan pertentangan antara kaum tua dan kaum muda. Biasanya yang dipertentangkan adalah masalah budaya. Contoh yang membuktikan hal tersebut terlihat dalam novel karya Putu Wijaya, Putri. Novel itu membahas pertentangan antara dua golongan yang mempertahankan adat lama dengan bentuk baru yang dibawa dan diperkenalkan oleh golongan muda.. http://manusiabatu.wordpress.com

Kesimpulan
Dialog ini terjadi di sebuah ruang pertemua di mana terdapat tulisan dalam bahasa kanji dan Indonesia berbunyi: Keimen Punka Bunka Shidoso! Diucapkan pertama oleh Armen dan mendapat jawab dari seseorang bernama Asmara. Di sini ternyata sedang kumpul semua pimpinan-pimpinan redaksi “Majalah Budaya” yang sudah kita kenal sebelum ini, ditambah beberapa orang yang nampaknya pelukis atau juga dramawan, dan beberapa di antara mereka terlihat juga seorang perempuan muda yang mungkin bernama: Sri atau Nur atau bisa juga nama lain. Sri ini yang lantas tampil ke tengah ruang, ketika Bung Asmara mengisyaratinya. Sri segera membacakan atau mendeklamasikan sebuah sajak kepahlawanan yang sangat romantic dengan suara dan gayanya yang lembut.
Ketika sajak selesai dibacakan, sebuah tawa yang sangat khas terdengar dari arah pintu masuk. Semua yang hadir, tampa kecuali, menoleh ke sana. Yang berdiri di sana ternyata Qodrat, tapi di sebelahnya adalah lelaki bemata merah itu. Qodrat ini yang lantas berkata: “Kawan-kawan saya perkenalkan: Chairil Anwar!” Maka tanpa kecuali lagi, semua menjadi terperangah memandang ke padanya. Armen yang lantas datang kepadanya dan memberikan salam: “Bung barusan mendengarnya?” Chairil jadi tertawa lagi, khas seperti tadi. Sambil disabunya dengan pandang seluruh ruang dengan matanya yang merah. Sesudah itu dia maju ke depan sambil bicara terus terang: “Manis, sajakmu barusan cukup romantik! Tapi bukan itu yang semangat! Kalau mau semangat… ini!” Chairil mengambil kapur tulis dan mulai di papan tulis yang memang tersedia di tengah ruang itu. Ternyata juga sebuah tulisan dari sebuah jiwa yang gelisah. Cepat, keras, tapi juga pasti. Sambil menulis, mulutnya ikut berbunyi:
"Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa brlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
 (Sjuman Jaya: Aku, 33-35)


***
Comments
1 Comments

1 komentar:

Richi Anyan mengatakan...

Nah buat teman-teman yang suka sastra, mungkin ini bisa jadi referensi tambahan. masih ada banyak kekurangan dalam membuat makalah ini, silahkan memberikan masukan, hehehe