Oleh:
Richi Richardus P. Anyan
“Tidak
hanya tuan-tuan yang bersuara di sini, tapi mereka pun patut disuarakan” Raden
Mas Djokokusumo Tirto Adhi Soerjo.
Pers
Mahasiswa telah banyak mengukir sejarah Bangsa Indonesia. Pada tahun 1920-an,
Hatta bersama beberapa orang mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda mencoba
membuat suatu Lembaga Pers Mahasiswa. Tujuannya adalah menyuarakan suara-suara
sumbang Rakyat Indonesia kepada Dunia Internasional demi kemerdekaan seperti
yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia saat itu.
Selain
itu, Raden Mas Djokokusumo Tirto Adhi Soerjo mencoba mendirikan sebuah Koran
Nasiona guna menyurakan suara rakyat pribumi di Indonesia. Medan Prijaji
namanya.
Pada
suatu pertemuan dengan Sang Tuan Kolonial Belanda, Tirto pernah mengatakan
secara tegas kepada mereka kalau media itu harus berpihak pada pembacanya dan
mampu menyuarakan hak-hak yang harus didapatkan oleh pembacanya. “Tidak hanya
tuan-tuan yang bersuara di sini, tapi mereka pun patut disuarakan”.
Setelah
kemerdekaan bangsa Indonesia, Pers mahasiswa pun masih memiliki idealism yang
sama dengan para pendahulunya. Pers mahasiswa yang ikut dalam memperjuangkan
nilai keadilan dan kemanusiaan bangsa ini beberapa kali coba melawan dengan
keras keadilan yang dibuat oleh sistem. Seperti apakah semuanya itu? Bagaimana
peran persma saat itu hingga saat ini?
IPMI
Mati-matian
Persma
terus bergerak, berdetak, dan bernapas tiada henti untuk menyuarakan amanat
penderitaan rakyat. Pasca kemerdekaan arah gerak juang persma berubah dalam
mengawal kebijakan pemerintah negeri ini. Bersama organisasi mahasiswa lainnya,
persma kala itu berusaha melawan interfensi pemerintah yang berusaha menanamkan
idiologi Manifesto Politik Undang-Undang Dasar '45, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia (MANIPOL
USDEK).
Hal
tersebut malah memunculkan suatu hasrat dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa
untuk meningkatkan kualitasnya, baik dari sisi redaksional maupun sisi
perusahaan. Atas inisiatif Majalah Gama, diadakan konferensi I bagi Pers
Mahasiwa Indonesia. Konferensi menghasilkan dua organisasi yaitu Ikatan
Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI yang ketuanya T. Yacob) dan Serikat Pers
Mahasiswa Indonesia (SPMI yang ketuanya adalah Nugroho Notosusanto). Kemudian
Tanggal 16-19 Juli 1958 dilaksanakan konperensi Pers Mahasiswa ke II yang
menghasilkan peleburan IWMI dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia) karena anggapan perbedaan antara kegiatan perusahaan pers mahasiswa
dan dan kegiatan kewartawanan sulit dibedakan dan dipisahkan.
Hingga
pada akhirnya era soekarno berakhir dengan ditandai hancurnya PKI dan
dimulainya rezim orde baru. Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya yang
otoritarian dan mengekang, orde baru dengan NKK/BKK-nya berusaha membungkam
arah gerak mahasiswa. Namun hal itu tidak berhasil membunuh idealisme mahasiswa
kita saat itu. Dengan citra berani, keras dan independent, persma, saat orde
baru mencapai puncak kejayaannya. Memberitakan kebusukan birokrat-birokrat
korup dan membela aspirasi rakyat secara frontal, akhirnya membuat persma kala
itu dibredel seluruhnya.
Namun
perlawanan penggiat pers mahasiswa saat itu tidak berhenti, melalui pamflet dan
selebaran-selebaran "bawah tanah". Mereka berusaha melawan kebijakan
otoriter pemerintah hingga pecahlah peristiwa "Malapetaka Lima Belas
Januari" (MALARI). Dengan alasan menormalkan kehidupan mahasiswa untuk
belajar dan kuliah. Pemerintah melakukan tindakan rerpresif dan menekan semua
oramawa (persma khususnya). Terjadi ketakutan atas idealisme mahasiswa yang
terbukti mampu bergerak bersama rakyat menggulingkan PKI.
Paska
peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari 1974) bisa dikatakan pemerintah
mulai melakukan pendekatan represif terhadap setiap aktivitas kritis kampus.
Pada kelembagaan mahasiswa, melalui NKK-BKK terjadi strukturisasi. Kondisi
demikian menyulut aksi-aksi protes mahasiswa sepanjang tahun 1974-1978, yang
diantaranya juga dilakukan oleh Dewan Mahasiswa. Melalui berbagai
pamflet-pamflet, ataupun media mahasiswa yang diterbitkan oleh dema saat itu,
kecaman-kecaman, kritik, kontrol terhadap setiap kebijakan pembangunan di awal
orde baru mulai dilancarkan. Namun lewat kebijakan berikutnya, penguasa orde
baru dengan aliansi militer dan sipilnya telah sedemikian rupa contohnya
melalui surat yang diturunkan Pangkopkamtib ketika itu (1978), Dema sebagai
salah satu kekuatan lembaga kemahasiswaan saat itu kemudian dibubarkan,
menyusul kemudian de-ormasisasi kelembagaan mahasiswa baik di tingkat intra
kampus maupun ekstra kampus melalui KNPI-nya, maka praktis aktivitas mahasiswa
dibungkam satu persatu.
Di sisi
lain, pers mahasiswa yang telah lama juga menjadi salah satu alat perjuangan
mahasiswa meneriakkna aspirasi dan memainkan peran kontrol sosialnya juga
dibungkam. IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, berdiri tahun 1955) yang
menjadi satu-satunya wadah nasional pers mahasiswa Indonesia dan sempat menjadi
motor gerakan mahasiswa juga secara perlahan mulai dimatikan . Hingga
eksistensi organisasi ini akhirnya mulai padam menjelang pertengahan thun 1982.
Praktis beberapa elemen kekuatan mahasiswa yang diantaranya termasuk pers
mahasiswa mengalami kelesuan dan kemandegan.
Di awal
era menjelang tahun 90-an, munculnya kelompok studi dan forum-forum diskusi
mahasiswa ataupun lembaga swadaya kemasyarakatan (LSM) baik yang didirikan oleh
para aktivis mahasiswa ataupun pemuda yang prihatin terhadap kondisi lingkungan,
mulai menjamur di berbagai daerah sebagai sebuah solusi terhadap kebekuan
aktivitas kritis kampus ataupun aktivitas peduli lainnya. Mahasiswa mulai
mendefinisikan politik yang terus berkembang seiring dengan menguatnya
konsolidasi orde baru.
Demikian
juga yang terjadi dalam aktivitas pers mahasiswa. Aktivitas-aktivitas
penerbitan dan beberapa forum pelatihan dan pendidikan jurnalistik di tahun
1986-1989 mulai marak diadakan oleh beberapa perguruan tinggi dalam rangka
menghidupkan kembali dinamika intelektual kampus. Dari sekian forum-forum
pelatihan jurnalistik mahasiswa tersebut, tersirat tentang sebuah keinginan
akan sebuah wadah bagi tempat sharing (tukar menukar pengalaman) para pegiat
pers mahasiswa dalam rangka untuk
meningkatkan mutu penerbitan mahasiswa sendiri maupun untuk menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi pers mahasiswa. Maka mulai tahun 1986,
forum-forum pertemuan para pegiat/aktivis pers mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi mulai marak terjadi. Tak pelak lagi gelombang aspirasi dan
akumulasi persoalan yang digagas oleh para aktivis pers mahasiswa mulai muncul
dan mewarnai berbagai forum pertemuan aktivis pers mahasiswa .
Namun
ada beberapa hal yang terepenting dari berbagai forum pers mahasiswa tersebut,
yang sekiranya dari penelusuran data-data di bawah ini dapat menjadi catatan
sebagi sebuah refleksi dan pemahaman lebih lanjut. Tetapi hal ini bukan sekedar
"romantisme belaka" yang hendak kita capai dalam penelusuran
secara historis fase-fase perkembangannya. Peranan pers mahasiswa dalam kancah
pembaharuan bidang politik tentunya mempunyai dimensi sosial tersendiri. Yang
terkadang terlupakan dalam arah sejarah negeri ini. Guratan visi dan misinya
yang mengandung penegasan sikap mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat
di negeri ini, yang secara sosial terdidik dalam lingkungan inteletual kampus,
yang diharapkan mampu peka terhadap perkembangan sosial di tubuh masyarakat dan
negara. Dan melalui pers mahasiswa, sebagai salah satu media perjuangan
mahasiswa yang menyampaikan suara dan nuraninya, kepekaan sosial mampu
ditumbuhkan dan simultan dengan fenomena yang terjadi di negeri ini.
Semenjak
kebekuan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) di tahun 1982, praktis
aktivitas penerbitan mahasiswa tidak banyak muncul. Namun kegiatan-kegiatan off print seperti halnya pelatihan dan
pendidikan jurnalistik mahasiswa ataupun diskusi masih bisa dilakukan oleh
beberapa perguruan tinggi. Momentumnya adalah menjelang tahun 1986
aktivitas-aktivitas ini mulai marak dilakukan dengan skala yang lebih luas,
mempertemukan pegiat-pegiat pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
Sebagai sebuah akumulasi, persoalan-persoalan yang dibahas dan dipecahkan oleh
para pegiat pers mahasiswa yang sering bertemu dalam forum-forum tersebut,
tercetus keinginan untuk kembali mengkonsolidasikan potensi kekuatan pers
mahasiswa di berbagai daerah dalam mendorong bangkitnya aktivitas pers
mahasiswa, serta mendefinisikandan menegaskan kembali peranan yang harus
dipegang pers mahasiswa dalam menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi
kontekstual dengan fenomena sosial yang berkembang.
IPMI
kemudian mengalami stagnan akibat tindakan pemerintah yang kala itu sangat
represif dengan isu "subversif", pemerintah banyank membredel LPM-LPM
yang ada. Yang kemudian kehilangan arah gerak dan tujuannya. Persma kala itu
bergerak secara parsial dan hanya berkumpul dalam forum-forum komunikasi saja.
Tidak ada masifikasi gerakan yang jelas dan terarah. Hingga pada akhirnya
Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia di Purwokerto, 19 - 22 September 1988 di
Universitas Jenderal Soedirman (disebut : Pra kongres IPMI VI). Hasil penting
dari sarasehan ini berupa DEKLARASI BATU
RADEN, yang diantaranya ditandatangani oleh 18 wakil aktivis pers mahasiswa
kota yang hadir. Deklarasi berbunyi :
" Sadar bahwa demokrasi,
keadilan dan kebenaran yang hakiki merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang
harus selalu diupayakan secara berkesinambungan oleh seluruh komponennya yang
bertanggungjawab dan sebagai salah satu komponennya bertanggungjawab dan memperjuangkan
cita-cita tersebut secara kritis, konstruktif dan independen. Dengan didorong
semangat kebersamaan, dan disorong oleh keinginan luhur untuk melestarikan dan
mengembangkan pers mahasiswa di Indonesia, maka seluruh aktivis pers mahasiswa
menyatakan perlu dihidupkannya kembali wadah nasioal yang bernama Ikatan Pers
Mahasiswa Idonesia (IPMI)".
Dari Pers Mahasiswa
Menuju PPMI (Bukan Sebuah Romantisme)
Setelah
"Vacum" akibat pembredelan sebagai buntut peristiwa Malari, 15
januari 1974 dan strukturisasi kelembagaan mahasiswa di berbagai perguruan
tinggi melalui NKK/BKK. Pers mahasiswa (persma) pasca 1980-an kembali. Ditandai
dengan terbitnya berbagai media mahasiswa misalnya, Balairung -UGM- 1985,
Solidaritas Universitas Nasional Jakarta - 1986, Skletsa Universitas Jenderal
Soedirman 1988, Pendapa Universitas Sarjana Wiyata taman Siswa 1988, Akademika
Universitas Udayana 1983, dan lain-lainnya, usaha-usaha untuk menata kembali
jaringan komunikasi dan penggalangan komitmen pers mahasiswa mulai dirintis.
Usaha-usaha itu meliputi :
-
Pendidikan
Pers Mahasiswa se- Indonesia : tanggal 27-29 Agustus 1987 diselenggarakan oleh
majalah Balairung, tercetus ide untuk kembali mewujudkan wadah pers mahasiswa .
Juga terbentuk poros Yogya-Jakarta sebagai koordinator menuju kongres yang
dimandatkan kepada Rizal Pahlevi Nasution (Universitas Moestopo) Abdulhamid
Dipopramono (UGM)
-
Pertemuan
dengan mantan aktivis IPMI/Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (diantaranya Adi
Sasono, Makmur Makka, Wirakrama Abidin, Ina Mariani, Masmiar Mangiang, Razak
Manan) tanggal 19-22 September 1987 di Jakarta. Hasil dari pertemuan ini
dibentuk panitia ad-hoc konsolidasi pers mahasiswa yang terdiri dari : Rizal
Pahlevi Nasution, Imran Zein Rollas, M Imam Azis dan Abdulhamid Dipopramono.
Disepakati untuk melakukan sosialisasi ide kelembagaan pers mahasiswa tingkat
nasional.
-
Sarasehan
pengelola Pers Pahasiswa Indonesia di Kaliurang- Yogyakarta tanggal 11-13
Oktober 1987 oleh lembaga pers mahsiswa Universitas Nasional.
-
Pekan
Orientasi Jurnalistik Mahasiswa Nasioanl
II di Jakarta, tanggal 17 - 27 Oktober 1988 oleh Lembaga Pers Mahasiswa
Universitas Nasional
-
Sarasehan
Pers Mahasiswa Nasional di Bandar Lampung tanggal 26 - 27 Maret 1987
diselenggarakan oleh SKM Teknokra Universitas lampung.
-
Orientasi
Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa di jakarta tanggal 21 - 28 Mei 1988 oleh
fakultas sastra Universitas Indonesia
-
Sarasehan
Aktivis Pers Mahasiswa IAIN se-Indonesia di Yogyakarta tanggal 11 - 12 April
1988 oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
-
Purwokerto
Informal Meeting di Purwokerto, tanggal 6 - 7 Agustus 1988 oleh SKM Sketsa
Universitas Jenderal Sudirman.
-
Pertemuan
dengan IPMI pusat di Jakarta, 10 Agustus 1988 oleh tim kerja persiapan kongres.
-
Latihan
Keterampilan Pers Mahasiswa tingkat pembinan se-Indonesia di Yogyakarta,
tanggal 28 Agustus - 1 September 1988
-
Panel
diskusi Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia di Purwokerto, 19 - 22 September
1988 di Universitas Jenderal Sudirman (disebur : Pra kongres IPMI VI). Hasil
penting dari sarasehan ini berupa DEKLARASI BATU RADEN, yang diantaranya
ditandatangani oleh 18 wakil aktivis pers mahasiswa kota yang hadir. Deklarasi
berbunyi : "Sadar bahwa demokrasi, keadilan dan kebenaran yang hakiki
merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang harus selalu diupayakan secara
berkesinambungan oleh seluruh komponennya yang bertanggungjawab dan sebagai
salah satu komponennya yang bertangungjawabdan sebagai salah satu komponennya
bertanggungjawab dan memperjuangkan cita-cita tersebut secara kritis,
konstruktif dan independen. Dengan didorong semangat kebersamaan, dan disorong
oleh keinginan luhur untuk melestarikan dan mengembangkan pers mahasiswa
menyatakan perlu dihidupkannya kembali wadah nasional yang bernama Ikatan Pers
Mahasiswa Indonesia (IPMI)".
Juga disepakati untuk menyelenggarakan
Kongres IPMI ke VI di Bandar Lampung tanggal 15-18 Februari 1989.
-
Kongres
IPMI ke VI di Bandar Lampung, 15 - 18 Februari 1989. Kegiatan ini gagal karena
:
Pertama, legalitas pelaksanaan
kongres tidak turun
Kedua, kondisi daerah Bandar
Lampung muncul peristiwa GPK Warsidi
Ketiga, terdapat perbedaan persepsi
tentang persma di kalangan aktivis persma.
-
Training
Pers Mahasiswa se-Indonesia di kaliurang, 6 - 10 januari 1990 oleh Majalah
Himmah Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
-
Balairung
kembali mengadakan Pendidikan dan Latihan Jurnalistik Tingkat Lanjut di UGM, 24
- 29 September 1990
-
Selama
tahun 1990, juga dilaksanakan Temu Aktivis Persma di Pabelan - UMS dan
Universitas Jember
-
Pendidikan
Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Pembina dan Temu Aktivis Penerbitan Mahasiswa,
tanggal 3 - 9 Februari 1991 oleh balairung UGM. Kegiatan ini menghasilkan
keputusan :
1.
Menerima
tanpa catatan semua hasil rumusan komisi I dan II Temu Aktivis Persma
se-Indonesia
2.
Pembentukan
Panitia ad-hoc yang bertugas forum pertemuan berikutnya sebagai tindak lanjut
butir I Panitia Ad hoc secara otomatis menjadi Steering Comitee (SC).
3.
Panitia
Ad hoc (SC) Pra Kongres terdiri atas Koordinator : Tri Suparyanto,
Pendapa-Tamansiswa Sarjanawiyata (delegasi DIY) Wakil : Okky Satrio, Komentar -
Univ. Mustopo (Delegasi DKI Jakarta) Anggota: Zainul aryadi, Kreatif - IKIP Medan
(Delegasi Lampung, Jambi, Sulsel, dan Bengkulu), Tugas Supriyanto, Isola Pos -
IKIP Bandung (Delegasi Jabar), Adi Nugroho, Manunggal Univ. Diponogora
(Delegasi Jawa Tengah), Heyder Affan - Mimbar Univ. Brawijaya (Delegasi Jatim),
I Gusti Putu Artha, Akademika - Univ. Udayana ( Delegasi Bali, NTB, NTT, dan
Timor-Timur), Mulawarman, Identitas - Univ. Hasanudin (Delegasi Sulsel,
Sulteng, Sultra, Sulut) Alimun Hakim, Kinday- Univ. Lambung Mangkurat (Delegasi
Kalsel, Kalteng, Kaltim) Rh. Siahainena, Unpati Univ. Patimura (Delegasi Maluku
dan Irja).
4.
Hasil
raat terbatas SC / Panitia Ad Hoc, menetapkan IKIP Bandung penyelenggara Pra
Kongres, dan sebagao alternatif kedua Univ. Udayana.
-
Rapat
Konsolidasi Terbatas SC di IKIP Bandung tanggal 22 maret 1991. Hasil pra
kongres Persma se Indonesia diselenggarakan di IKIP Bandung.
-
Sarasehan
Penerbitan Mahasiswa Indonesia di IKIP BandUng, Tanggal 8-10 juli 1991
dibatalkan setelah peserta tiba di Bandung, pembatalan dilakukan oleh Dirjen
Dikti. Tetepi pertemuan sempat berjalan dan menghasilkan beberapa keputusan yan
sampai ditingkat komisi :
Komisi I
: Menghasilkan rencana Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan
Pers Mahasiswa Indonesia
Komisi II : Membahas tentang program kerja
Komisi III : Memeutuskan tanggapan
terhadap surat Dirmawa no 574/D5.5/U/1991
-
Latihan
Keterampilan Penerbitan Kampus Mahasiswa tingkat Pembina se-Indonesia tahun
1991 di Bandar Lampung Universitas lampung, tanggal 19-23 Nopember 1991. hasil
yang penting : Mendesak SC yang terbentuk di Wanagama untuk melaksanakan
pertemuan bagi terbentuknya wadah penerbitan kampus mahasiswa sesegera mungkin.
Jika tuntutan tidak terpenuhi maka, pertama , SC harus mempertanggungjawabkan
tugas yang telah dimandatkan kepada seluruh aktivis penerbitan kampus se
Indonesia. Kedua, SC harus menyerahkan mandat yang ada kepada aktivis
penerbitan kampus se-Indonesia.
-
Sarasehan
penerbitan mahasiswa Indonesia di Universitas Gajayana tanggal 20 Desember
1991. Hasilnya, diantaranya, rancangan program kerja PPMI. Selama 10 bulan SC
terus mengadakan konsolidasi dan sosialisasi dan usaha-usaha pertemuan tingkat
nasional. Muncul kemudian beberapa forum komunikasi, diantaranya PPMY
(Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta), FKPMM (Forum Komunikasi Pers Mahasiswa
Malang), dan Ujung pandang juga terbentuk.
-
Setelah
melewati proses panjang dan negoisasi, perjalanan keliling Jawa oleh pegiat
persma Malang, akhirnya dapat diselenggarakan lokakarya penerbitan mahasiswa
se-Indonesia di Malang. Sehari sebelumnya, 14 Oktober 1992 diselenggarakan
pertemuan SC di Malang. Hasilnya:
1.
Menyepakati
dan menyetujui dibentuk wadah tingkat nasional bernama PPMI
2.
Kongres
I akan diselenggarakan di kota-kota dengan alternatif : Palu, Semarang, Jogja,
Mataram, Denpasar dan Banjarmasin.
3.
Hasil-hasil
lokakarya Persma se-Indonesia segera dilaporkan secepat mungkin untuk
kelancaran Kongres.
4.
Panitia
Lokakarya, SC nasional dan panitia kongres segera dilaporkan secepat mungkin
untuk kelancaran kongres.
Hasil-hasil Lokakrya
Penerbitan Mahasiswa Se-Indonesia :
- Menyepakti terbentuknya wadah tingkat nasional yang bernama "Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia" yang disingkat PPMI tanggal 15 Oktober 1992 pukul 16.29 WIB yang disahkan pada sidang Pleno 17 Oktober 1992
- Menerima hasil rumusan sidang komisi I LPMI (lokakarya Penerbit Mahasiswa Indonesia) yang membahas AD/ART PPMI
- Menerima rumusan hasil sidang Komisi II LPMI yang membahas program kerja PPMI.
- Menerima hasil sidang komisi III LPMI yang membahas kurikulum pendidikan dan latihan (Diklat) Jurnalistik Mahasiswa.
- Menerima hasil-hasil sidang komisi IV membahas pertemuan lanjutan PPMI. Kota yang dijadikan tempat penyelenggaraan berdasarkan prioritas adalah :
- Denpasar-Bali
- Semarang- Jawa Tengah
- Banjarmasin- Kalimantan Selatan
- Yogyakarta- DIY
- Palu- Sulawesi Utara
- Jakarta-DKI Jakarta
- Dili- Timor-timur
Kongres I yang sekiranya dilaksakan
pada bulan April - Mei 1993, maka untuk mempersiapkan kongres tersebut dibentuk
panitia ad hoc yang bertindak sebagai SC Kongres I, yakni :
Koordinator : Tri
Suparyanto-Pendapa-UNIv. Sarjanawiyata Tamansiswa (Delegasi DIY)
Anggota :
-
Tugas
Suparyanto/Isola Pos/IKIP Bandung- delegasi Jabar
-
Arif
Adi Kuswardono/Manunggal/Undip-delegasi Jateng
-
Wignyo
Adiyoso/Ketawang Gede/Unibraw-delegasi Jatim
-
Oki
Satrio /Komentas/ Univ Moestopo-delegasi Jakarta
-
Aldrin
Jaya Hirpathano/Tekhnokra/Unila-delegasi Sumbagsel
-
I
Wayan Ananta Widjaya/Akademika/Unud-delegasi Bali, NTT,NTB, Timortimur
-
M.
Ridha Saleh/Format/Univ Tadulako-delegasi Sulawesi
-
Alimun
Hakim/Kinday/Univ. Lambung Mangkurat-delegasi Kalimantan
-
Yon
Saukotta/Unpati/Univ. Patimura-delegasi Maluku dan Irian Jaya.
Langkah selanjutnya
adalah pelaksanaan kongres I untuk menentukan draft langkah Perhimpunan
Penerbitan Mahasiswa Indonesia.
Sumber : Akademika, no
13 th X/Desember 1992-Januari 1993
Menuju Perhimpunan
Penerbit Mahasiswa Indonesia
Lokakarya
Penerbitan mahasiswa se-Indonesia di Malang telah menorehkan pena emas bagi
perjalanan ke depan aktivitas pers mahasiswa di Indonesia. Terutama telah
disepakatinya sebuah organ baru-wadah pers mahasiswa Indonesia yaitu
Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI). Sebuah wadah alternatif dan
bukan satu-satunya wadah pers mahasiswa di Indonesia diharapkan mampu
mengakomodir dan meyikapi setiap persoalan dan perkembangan yang menyangkut
kehidupan persma dan masyarakat pada umumnya. Sebuah sandaran bagi pemupukan
arah gerakan persma yang juga diharapkan mampu merespon fenomena sosial politik
yang berkembang serta menegaskan sikap sebagai bagian dario elemen gerakan
mahasiswa pada umumunya. Beberapa pandangan dan harapan ditumpukkan pada
organisasi ini untuk memperteguh visi dan misi gerakan persma di Indonesia.
Perkembangan
yang terjadi di era 80-an hingga 90-an, ditandai dengan maraknya kemunculan
penerbitan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. hal ini seiring dengan laju
perkembangan sosial kontemporer pada dimensi masyarakat di Indonesia. Namun
diantara kemajuan tersebut, ternyata disisi lain nampak terdapat kehidupan yang
memprihatinkan. Banyak kesenjangan yang terjadi di tubuh masyarakat. Pengaruh
strukturalisasi yang represif orde baru dengan ideologi pembangunannya di
berbagai bidang telah menciptakan sebagian besar masyarakat yang tidak peduli
terhadap perkembangan sosialnya. Sementara itu penguasa orde baru dengan
kekeuatan militeristiknya semakin kokoh melakukan konsolidasi kekuasaannya. Mahasiswa
sebagai salah satu tumpuan harapan bangsa yang terdiri dalam manusia
intelektual kampus dan mempunyai potensi kritis diharapkan mampu berfikir
obyektif intelektual hendaklah peka dalam merespon segala
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada masyarakat, serta menyikapi berbagai
kebijakan negara yang telah membuat berbagai kesenjangan yang terjadi. Tatanan
demokratis harus ditegakkan dan diupayakan melalui transformasi sosial yang
sinergis dengan wacana demokratisasi berkehidupan.
Dalam tujuan pendirian
PPMI, dua tekanan yang hendak dicapai adalah :
Pertama,
mewujudkan
cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia seperti yang dimaksud dalam
pembukaan UUD 45.
Kedua, membina daya upaya
perhimpunan untuk turut mengarahkan pandangan umum di kalangan mahasiswa dengan
berorientasi kemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Tuhan YME.
Persma
bukanlah sama dengan pers umum yang mengcover berita-berita yang bersifat
informatif saja, namun persma diharapkan mampu mengkaji permasalahan sosial
yang diberitakan dengan analisis keilmuan dan kemasyarakatan secara kritis
akademis serta obyektif. Persma harus berani memberikan fakta yang benar dan
jujur kepada masyarakat dengan tidak meninggalkan nilai-nilai humanitas yang
harus tetap dipegangnya. Beberapa pandangan dari para perintis PPMI
menginginkan bahwa PPMI diharapkan mampu mendorong tercapainya persma yang
simultan dengan fungsi mahasiswa (sebagai intelektual yang kritis, obyektif,
terbuka dan etis). Kemudia untuk mensosialisasikan format gerakan dalam perhimpunan
ini, PPMI dalam kinerjanya hendaknya ters menerus melakukan konsolidasi ke
tiap-tiap penerbitan pers mahasiswa di berbagai daerah. Hal ini tentunya
memerlukan waktu dan tenaga yang panjang dan merupakan tantangan yang tidak
ringan untuk diselesaikan PPMI dalam waktu singkat dan membutuhkan partisipasi
dari pegiat PPMI dalam mengupayakannya.
KONGRES PERHIMPUNAN
PENERBIT MAHASISWA INDONESIA I
Tak
pelak sudah, fase-fase yang berliku telah dilalui, konsolidasi, sosialisasi,
perdebatan dan perumusan berbagai format kelembagaan persma akhirnya telah
sampai pada titik kulminasi-pertemuan aktivis persma akhirnya telah berhasil
membuahkan suatu tekad untuk berjuang bersama dalam suatu integralitas gerakan
yang membuahkan deklarasi Kaliurang dan terbentuknya kepengurusan Perhimpunan
Penerbit Mahasiswa pada kongres I PPMI-September 1993. Rommy Fibri dari UGM
akhirnya terpilih menjadi sekjend PPMI (yang pertama) untuk mengemban amanat
sosialisasi organisasi lebih lanjut. Sebuah perjalanan kedepan yang tentunya
akan menghadapi sekian persoalan yang tidak ringan untuk diselesikan. Fenomena
politik yang tidak menentu banyaknya pembredelan terhadap pers Indonesia tak
terkecuali persma, menjadi agenda yang senantiasa harus direpon PPMI untuk
melakukan advokasi. Selain itu PPMI sebagai wadah alternatif diharapkan mampu
memberikan dorongan terhadap pertumbuhan pers-pers kampus mahasiswa di berbagai
wilayah yang belum tersentuh sosialisasi PPMI. Tercatat beberapa nama presidium
/ mediator PPMI yang diberikan amanah untuk mengembangkan tugas pertama
melakukan sosialisasi PPMI ke berbagai wilayah diantaranya :
Presidium / Mediator
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
Periode I 1993-1995
Sekretaris Jenderal :
Rommy Fibri (Dentisia-FKG UGM)
Mediator DKI Jakarta : E.S - Tyas A Zain
Mediator Jawa Barat : Andreas "Item" Ambar
Presidium Jawa Tengah : Hasan Aoni Aziz(SKM Amanat IAIN
WaliSongo Semarang)
Mediator Kalimantan
barat : Nur Iskandar (Mimbar Untan-
Univ. Tanjung Pura)
Presidium Jawa Timur : Asep Wahyu SP (UAPKM - MM Ketawang Gede-
Unibraw Malang)
Presidium wilayah Bali : I Gede Budana (PKM AKADEMIKA Unud
Bali)
Mediator Sulawesi,
Maluku
Dan Indonesia Timur : M Hasyim
Presidium / Mediator
PPMI periode II 1995-1997
Sekretaris Jenderal : Dwidjo Utomo Maksum
(UKPKM-Tegalboto Universitas Jember)
Presidium Lampung : M. Ridwan
Presidium Jawa Timur : Ahmad Amrullah- LPM Ecpose FE-Unej
Presidium Bali : I Made Sarjana - PKM
Akademika Unud
Presidium Sulawesi
Selatan : Arqam Azikin - Univ.
Hasanudin
Presidium Sulawesi
tengah : M. Iqbal - Univ Tadulako
Presidium Sulawesi
Tenggara : Muhrim Bay
Presidium Yogyakarta : Anton Yuliandri - Himmah UII
Mediator Jawa Tengah : Nana Rukamana - Univ. Jenderal Soedirman
Purwokerto
Wawasan
Mediatoe Jawa Barat : Dewan Kota Bandung
Mediator kalimantan
Barat : Syafarudin Usman
Presidium / Mediator
PPMI
Periode III 1997-1998
Sekretaris Jenderal : Eka Satria Laksmana -
tabloid Jumpa UPM Unpas Bandung
Mediator Jawa Timur : Dwi Munthaha - UKPM Univ
Merdeka Malang
Mediator Yogyakarta : Ade (Gema Intan)
Presidium Sumatera
Selatan : Komariah (IAIN Raden Fatah
Palembang)
Presidium Sulawesi
Selatan : Suparno (Catatan Kaki -
Univ Hasanudin Ujungpandang)
Presidium / Mediator
PPMI
Periode IV 1998-2000
Sekretaris Jenderal : Edi Sutopo - Ekspresi BPKM IKIP Yogyakarta
Presidium Jawa Timur : M. Abdul Kholik - Ar Risalah IAIN Sunan Ampel
Surabaya
PPMI
paskah ‘98
Paska
’98, persma sedang menerapkan paradigma baru dalam gerakannya. Oleh karena itu,
seyogyanya persma tidak lagi hanya melakukan pendekatan-pendekatan yang
romantis. Transformasi kebudayaan lewat media audiovisual berkembang dengan
pesat. Seharusnya persma melihat itu sebagai lahan perjuangan. Kebetulan hingga
kini masih belum ada pers yang memiliki ruh perjuangan yang jelas yang masuk ke
dalamnya. Ketika hal itu sudah terjadi, maka pertempuran-pertempuran kecil
sudah dimulai.
Menurut
saya, pentinglah dari sekarang memahami dan menerawang jauh ke depan, misalnya
20 tahun dari sekarang. Pada saat itu pasti akan terjadi suatu pembenturan di
dunia. Kalau kemarin kita ketahui benturan yang terjadi adalah lewat benturan
ekonomi, lalu militer bahkan ideologi. Walaupun ternyata belum selesai lewat
ideologi sehingga tercipta pembagian kiri-kanan, barat-timur. Sehingga sekarang
perlu bagi kita untuk memprediksikan lewat apa benturan yang akan terjadi pada
20 tahun kedepan. Saat ini bukan lagi saatnya kita memikirkan kejadian kekinian
karena itu hanyalah sebuah pendangkalan pikir.
Hal yang
perlu kita lakukan sekarang adalah bagaimana melakukan resistensi lewat persma.
Misalkan saja ketika bicara tentang rakyat, tampaknya mahasiswa sangat
semangat. Tapi selama dia masih menjadi mahasiswa, itu masih sebatas wacana.
Realitasnya sebenarnya baru akan muncul ketika mahasiswa telah lulus dan terjun
di masyarakat, dan sering kali mereka tidak setia lagi dengan ideologi mereka
semula. Contonya sekarang banyak aktivis mahasiswa yang ternyata tidak lagi
setia kepada rakyat dan menjadi pedagang politik kelas wahid. Kesimpulanya iman
perjuangan itu penting di pers mahasiwa.
Pertanyaannya
mengapa pers mahasiswa cenderung mampu menjaga kesetiaan ideologi mereka
dibanding dengan orang yang telah terjun di masyarakat? Jawabannya mungkin
karena di sana ada tanggung jawab intelektual. Karena bagi orang yang memiliki
tanggung jawab intelektual tidak akan mudah untuk melakukan hal-hal yang tidak
sesuai dengan hati nurani mereka.
Sekarang
krisis resistensi sedang melanda negara kita, bahkan para pemimpin negara kita
pada saat ini sedang kebingungan menentukan arah politik kebijakan negara.
Lantas bagaimana dengan mahasiswa? Saya harap pers mahasiswa tidak terlalu
terlibat dalam pemikiran-pemikiran yang sifatnya kekinian karena itu hanya
bersifat pendangkalan-pendangkalan. Padahal pers mahasiswa mampu menyumbangkan
hal yang lebih bermakna. Misalnya dengan memberikan wacana-wacana yang sifatnya
lebih inofatif dan tawaran-tawaran
paradigma baru bagaimana menjadi Indonesia yang lebih baik.
Karenanya
kebebasan pers saja tidak cukup. Pada saat ini kebebasan pers di Indonesia
sudah kebablasan, ironisnya kebebasan pers Indonesia tidak memberikan apa-apa.
Kebebasan yang membodohkan itu adakah suatu bentuk dari kebebasan pers yang
tidak ideologis. Sehingga perlu bagi persma untuk memperjelas posisi dan
pilihan-pilihanya sampai pada pilihan-pilihan ideologis.
Perlu
kita pahami bahwa sesungguhnya pers tidak akan pernah bisa objektif, kalaupun
ada keobjektifan kita hanya satu. Yaitu keperpihakan kepada rakyat,
keperpihakan kepada yang tertindas. Karenanya syah bagi persma untuk
menciptakan parameter keobjektifan sendiri, tidak perlu terlalu kaku dengan
aturan coverbothside yang harus
benar-benar seimbang. karena kondisi rakyat dengan orang–orang besar di
pemerintahan jelas berbeda. Sehingga keseimbangan berita itu tidak akan pernah
bisa mengurangi penderitaan rakyat.
Dari
analog kebebasan pers menjadi Pers pembebasan dalam persma kiranya mampu
membuat suatu changge di Indonesia. Kalau pers kampus hanya sebatas kampus, itu
sudah kuno bahkan akan berkesan elitisme. Salah satu tugas persma yang utama
adalah bagaimana menjadikan kampus sebagai bagian dari masyarakat (rakyat) yang
memerlukan pertolongan. Bagaimana demokrasi tidak diartikan sebagai one man one vote tapi sebetulnya voter
yang seribu dimanipulasi oleh satu orang.
Gerakan-gerakan
advokasi yang dilakukan mahasiswa bisa dilakukan lintas sektoral berbeda dengan
yang dilakukan LSM yang lebih bersifat sektoral. Saatnya sekarang pers
mahasiswa bisa menjadi penghubung dan stimulator bagi tumbuhnya gerakan rakyat.
Tapi biarkan kekuatan rakyat tumbuh karena kesadarannya.
Sayangnya
persma sekarang terjebak pada level wacana. Wacana itu penting tetapi yang
lebih penting bagaimana mengimplementasikan wacana ini pada tataran kehidupan yang
lebih nyata. Paling tidak dari gerakan itu ada interaksi positif dan hipotesis
yang bisa ditawarkan. Sehingga akhirnya melahirkan sintesis baru dari
perkembangan dan benturan yang terjadi.
Persma
jangan sampai persma hanya terjebak pada intelectual
production saja, tetapi juga mampu bekerja pada tataran praksis. Kaitannya
dengan pers mahasiswa sebagai pers pembebasan adalah menuju sebagai defender
of people (benteng rakyat). Jadi perjuangan yang dilakukan oleh pers
mahasiswa baik yang dilakukan oleh kita dalam level apapun, janganlah menjadi
sombong, harus rendah hati. Bukan berjuang demi dan untuk rakyat, tetapi
berjuang bersama-sama rakyat. Hal ini untuk menghindari sisi arogansi yang
masih sering nampak pada diri kita. Jadi yang baik dilakukan adalah dari dan
berjuang bersama-sama rakyat.
Mahasiswa
sekarang adalah generasi yang mengugat nilai, tidak mempunyai musuh yang jelas
seperti generasi sebelum tahun 1998. Generasi sekarang adalah generasi reflection, untuk mencari nilai dan arah
gerakan yang tepat. Dalam kontek inilah terdapat arti penting perlunya menata
kembali pola gerakan.
Saya mengajak teman-teman untuk masuk ke wilayah
pergerakan, yang artinya konsepsional, terarah dan terkendali dalam kontek
ideologi dan terpadu dan komperhensif dalam pengertian bagaimana mencapai
sasaran strategis yang didasari pilihan-pilihan ideologis dan target oriented. Lebih dari itu juga mempunyai
parameter penilaian yang jelas dan bisa diukur.
PPMI
sebagai sebuah Organisasi Profesional
Sebagai
sebuah organisasi pers, persma yang etergabung dalam PPMI tidak hanya terjebak
dalam sebuah organisasi cultural atau yang sering disebuat organisasi tampa
bentuk. PPMI memiliki AD/ART dan Kode Etik layaknya organisasi professional.
PPMI juga memiliki suatu kepengurusan yang sangat jelas. Tujuan dari adanya
AD/ART dan Kode Etik itu sendiri sangat berguna bagi semua Lembaga Pers
Mahasiswa yang menjadi anggotanya.
AD/ART
dibuat untuk aturan-aturan dasar sebuah keorganisasian, baik bagi para pengurus
yang didelegasikan oleh LPM anggotanya, anggota itu sendiri, maupun PPMI secara
keorganisasian. Sedangkan Kode Etik mengatur soal Etika Jurnalistik para
anggotanya.
Berikut adalah Kode
Etik PPMI:
1.
Pers
mahasiswa mengutamakan idealisme.
2.
Mengutamakan
netralitas, independensi dan etika jurnalistik.
3.
Pers
mahasiswa menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
4.
Pers
mahasiswa pro aktif dalam usaha mencerdaskan bangsa.
5.
Pers
mahasiswa dengan penuh rasa tanggung jawab menghormati, memenuhi dan menjunjung
tinggi hak rakyat untuk memperoleh informasi yang benar dan jelas.
6.
Pers
mahasiswa harus menghindari pemberitaan diskriminasi yang berbau sara.
7.
Pers
mahasiswa wajib menghargai dan melindungi hak narasumber yang tidak mau disebut
nama dan identitasnya.
8.
Pers
mahasiswa menghargai of the rocord tergadap korban kesusilaan dan atau pelaku
kejahatan/tindak pidana dibawah umur.
9.
Pers
mahasiswa dengan jelas dan jujur menyebut sumber ketika menggunakan berita atau
tulisan dari suatu penerbitan, repro gambar/ilustrasi, foto dan atau karya
orang lain.
10. Pers mahasiswa
senatiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan harus objektif serta
profesional dalam pemberitaan dan menghindari penafsiran dan kesimpulan yang
menyesatkan.
11. Pers mahasiswa tidak
boleh menerima segala macam bentuk suap, menyiarkan atau mempublikasikan
informasi serta tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk
kepentingan pribadi dan golongan.
12. Pers mahasiswa wajib
memperhatikan dan menindak lanjuti proses, hak jawab, somasi, gugatan, dan atau
keberatan-keberatan lain dari informasi yang dipublikasikan berupa pernyataan
tertulis atau ralat.
Untuk Struktur
kepengurusan dan AD/ART akan dilampirkan dalam tulisan Singkat ini.
Dewan
Etik Nasional
Pada
awal kepengurusan PPMI Dewan Kota Yogyakarta periode ini, saya bersama seluruh
anggota PPMI DK Yogyakarta mencoba mengkonsepkan ulang Dewan Etik Nasional
(DEN) guna kelancaran kerja DEN itu sendiri. Konsep DEN ini kami usulkan di
Musyawarah Kerja Nasional PPMI di Madura pada bulan oktober 2010.
Bunyi usulan itu
seperti ini:
Dari dahulu hingga saat ini, DEN
belu memiliki konsep matang terkait dengan konsep dan cara ker ja DEN itu sendiri. DEN pada periode Fajar Kelana
selalu berjalan berdasarkan landasan hukum yang lemah ditambah logika dan
wacana yang berujung pada improfisasi.
secara kasat mata, mereka telah menjalan
tugas mereka dengan baik. Akan tetapi, secara legalitas, DEN berjalan di atas
pijakan yang sangat lemah. Kalau mau dilihat PPMI sebagai sebuah organisasi
professional, ini sangat menyedihkan sekali.
Sebagai contoh, mengenai kasus
LPM Ekonomika UII Yogyakarta. saat itu, LPM Ekonomika melakukan kesalahan dalam
penulisan terkait dengan buletin yang menuliskan permasalahan yang ada pada LEM, DPM dan HMI UII. Kesalahan
yang mereka lakukan saat itu adalah
terkait dengan penulisan yang bnayak memasukan opini penulis. Akibatnya pihak
ketiga mencoba menggugat hal ini, walau
bukan dari segi penulisannya. akan tetapi setelah dinilai oleh DEN saat itu,
mereka menyatakan kalau LPM Ekonomika harus diberikan hukuman berupa menuliskan
kembali berita tersebut secara benar. Karena
penyampaian dari DEN ke pengurus PPMI DK Yogyakarta hanya secara
informal dan dari pengurus kota ke LPM Ekonomika pun berupa informal, maka
hukuman yang diberikan oleh pengurus
kota tidak dijalankan oleh LPM Ekonomika dan pengurus kota pun tidak mengecek
ulang. Ini merupakan kesalahan yang patut kita kaji bersama agar tidak terjadi
lagi di PPMI.
Karena itu, maka DEN perlu membahas lagi secara
matang terkait tugas dan wewenangnya. DEN perlu dituntut untuk membuat suatu
pola kerja yang professional, baik dari segi legalitasnya sampai pada pola
kerjanya yang terstruktur.
Berdasarkan hasil rekomendasi
yang dibahas bersama anggota PPMI DK Jogja,
kami mencoba menjabarkan lagi tugas dari DEN sebagai pengawas roda
organisasi dan penjaga kode Etik PPMI
yaitu:
1. Melindungi
kemerdekaan Pesma dari campur tangan lain.
2. Menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan kode etik PPMI.
3. Memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
4. mengawasi
kinerja PPMI.
Penjabaran ini
dilakukan karena terkait tugas DEN yang ada di AD/ART PPMI tidak
membahas secara tuntas apa yang menjadi tugas dari DEN.
Selain itu, kami juga kami juga
mengajukan rekomendasi terkait mekanisme kerja DEN yang bertugas sebagai
pengawas Kode Etik PPMI dan tugasnya sebagai pengawas etik. Kami mencoba
membuat mekanisme kerja DEN sebagai penjaga Kode etik PPMI yaitu:
1. Pelaporan
2. Penilaian
3. Klasifikasi
permasalahan
4. Rekomendasi
sangsi.
Terkait
dengan mekanisme kerja DEN sebagai pengawas roda organisasi, DEN memiliki
beberapa mekanisme kerja yaitu:
1. Penyelesaian konflik antara Kota dengan LPM,
natar Kota, dan antara Kota dengan Nasional.
2. sebagai
Tim audit organisasi.
Beberapa hal ini dirasa sangat penting untuk dikaji
lebih jauh lagi oleh DEN.
Akhirnya Usulan
terkait DEN ini diterima oleh seluruh anggota PPMI dan menerapkannya dalam
kerja DEN itu sendiri.
Mungkin
sebagian orang bertanya-tanya mengapa PPMI harus memiliki DEN dan mengapa PPMI
harus membuat Kode Etiknya sendiri padahal sudah ada Kode Etik Pers. Pertanyaan
itu beberapa kali saya dengarkan baik dari anggotaPPMI itu sendiri maupun dari
LPM yang bukan merupakan anggota PPMI.
Jawabannya
sederhana. Hingga saat ini, LPM belum masuk dalam UU Pers No. 40 tahun 1999.
Karena belum masuk dalam UU Pers, maka LPM tidak memiliki Kode Etik. Oleh karena
itu PPMI bersama seluruh anggotanya coba merumuskan Kode Etinya sendiri yang
bisa mengatur etika jurnalistinya. Selain itu kode etik ini juga berfungsi
untuk menyadarkan warga kampus tentang kerja dan mekanisme penyelesaian masalah
dalam persma itu sendiri.
Arah
Gerak PPMI
Sebelum
kita membahas banyak hal terkait dengan PPMI ke depannya akan seperti apa, ada
baiknya kita membahas terlebi dahulu arah PPMI kedepannya. Ada tiga arah gerak
PPMI yaitu profesi, kaderisasi, dan gerakan. Ketiga hal ini bisa dijalankan
secara bersamaan, tapi kita harus ada fokus secara jelas terkait arah mana yang
akan menjadi prioritas ke depannya.
Misalnya
kita menyepakati ke depannya kita ingin PPMI diarahkan sebagai sebuah
organisasi profesi, maka kita harus benar-benar menjunjung tinggi Kode Etik
PPMI. Selain itu, semua pengurus, baik itu pengurus nasional maupun kota, harus
bekerja keras untuk tertib dalam keadministrasian dan lain sebagainya.
Akan
tetapi, terkait hal ini, kami pikir sudah harus selesai di tataran pengurus PPMI.
Misalnya semua divisi harus punya SOP yang jelas, Litbang harus menjadi sumber
data dan informasi baik itu bagi pengurus divisi pada khususnya maupun bagi
anggota PPMI pada umumnya.
Berbeda
lagi apabila kita menyepakati agar PPMI ke depannya akan memfokuskan diri sebagai organ kaderisasi. terkait hal
ini, kami PPMI Dewan Kota Yogyakarta menyepakati untuk PPMI Dewan Kota
Yogyakarta ke depannya akan mengarah ke kaderisasi. Kami merasa hal ini sangat
penting karena PPMI sebagai sebuah organ bersama harus mampu mewadahi
anggota-anggotanya.
Sebenarnya
ini terkait dengan permasalahan kompleks yang ada di Dewan Kota Yogyakarta. Ada
LPM-LPM anggota PPMI yang besar di Yogyajarta, tapi ada juga LPM-LPM kecil yang
masih perlu didampingi secara intens, apalagi LPM-LPM yang masih berada di
bawah Lembaga Eksekutif Mahasiswa. LPM-LPM seperti ini masih rawan sekali untuk
dibredel. Padahal sebagai sebuah organisasi Pers Mahasiswa yang menjunjung
tinggi kebebasan Pers dan hidup dalam sebuah Negara yang menjunjung tinggi kebebasan
berpendapat, ternyata masih banyak orang yang tidak menyukai kebebasan pendapat
dari orang lain dan dengan egonya ingin menjadi penguasai bagi sesamanya.
Inilah wajah suram bangsa kita.
Arah
gerak PPMI ini sangat perlu kita bahas
secara awal agar kita dapat menyesuaikan kerja tiap divisi dan kota sesuai
dengan arah PPMI kedepannya. Akan tetapi, ketiga arah ini perlu dipertimbangka berdasarka kebutuhan
anggota PPMI dan isu apa yang mau diangkat oleh nasional.
Persma
Sekarang dan Keberpihakannya
Di tengah dominannya pers umum dewasa ini, persma
harus melakukan reposisi kembali peran dan fungsinya. Masyarakat yang semakin
pandai dan kritis dalam memilih berita mana yang jujur dan tepat untuk dirinya,
mengharuskan pers mahasiwa menemukan bentuk yang sesuai.
Pers alternatif yang pernah bermunculan era
pemerintahan Soeharto, dengan sifat-sifatnya yang khas, nampaknya bisa
dijadikan acuan dalam diri pers mahasiswa. Di era pemerintahan Soeharto, pers
alternatif terkenal dan ditakuti pemerintah berkat keberanian dan sifat
kritisnya kepada pemerintah, selain juga sifatnya yang jujur mengungkapkan apa
adanya.
Idealisme pers mahasiswa pada kebenaran dan keadilan
harus selalu dipegang, keberpihakan pers mahasiswa harus pada demokratisasi dan
keadilan dimana implementasi praksisnya keberpihakan pada kaum yang tertindas.
Pers mahasiswa jika ingin disebut pers alternatif tentu harus mengikuti
prinsip-prinsip pers alternatif, yaitu tidak menghakimi, reportase yang
berimbang (cover both side),memberitakan
secara kritis, jujur, benar, memberikan solusi alternatif yang kongkrit dengan
bahasa yang lugas, menggigit tapi santun, juga indepensi pers mahasiwa yang
selalu terjaga.
Unsur lain yang juga penting dalam pembentukan pers
alternatif adalah pemilihan angle berita yang di angkat, pers mahasiswa harus
mengangkat angle yang tidak ditemukan dalam pers umum walaupun tema yang
diangkat bisa jadi sama, angle-angle yang mengangkat ketertindasan rakyat,
pencarian solusi alternatif dari masalah-masalah yang di hadapi masyarakat
(yang kenyataanya sekarang jarang disentuh pers umum) menjadi ladang yang subur
dalam pemberitaan pers alternatif. Karena justru pers umum sudah tidak mampu
menyandang tugas dan tanggung jawabnya secara proporsional, berita-berita yang
ditulis dalam pers umum hanya menguntungkan kelompok ‘status quo’ misal : hiruk
pikuk situasi politik nasional, pernyataan-pernyataan tokoh politik yang saling
mencaci, menghujat tanpa bukti yang jelas. Intinya berita-berita yang di angkat
oleh pers alternatif harus bersifat ‘pencerdasan’ pada masyarakat, bukannya
pembodohan, karena pers alternatif harus mengambil tugas dan tanggung jawab
pers kepada masyarakat. Pers mahasiswa juga harus berperan dalam menggelindingkan proses demokratisasi dengan
memberikan empati yang besar kepada masyarakat.
Namun bukan tanpa kendala bagi pers mahaisswa untuk
mewujudkan pers alternatif. Kecenderungan pers mahasiswa yang hanya berkutat
dengan persoalan-persoalan sendiri, menjadikan pers mahasiswa pers yang
‘oleh-dari-untuk’ mahasiswa, jadinya adalah ‘onani’ pers mahasiswa. Tentu hal
ini juga perlu dipikirkan pemecahannya. Di samping terus menyuarakan hati
nuraninya, pers mahasiswa juga harus ‘berbenah’ ke dalam, artinya
kelemahan-kelemahan pers mahasiswa selama ini,
seperti kontinuitas terbit
yang sering tidak jalan, ketergantungan
pada birokrat kampus (masalah dana), terbatasnya waktu bagi para aktifis pers
mahasiswa (4-6 semester) untuk berkecimpung dalam pers mahasiswa, harus segera
dicarikan pemecahannya. Pers mahasiswa mendatang harus bersikap realistik,
determinasi, konsistensi, juga harus selalu diusahakan peningkatan kualitas
para SDM-nya,dan yang paling penting adalah regenerasi yang teratur.
Pers mahasiswa tidak hanya sekedar menampilkan
berita, pers mahasiswa juga harus mampu mempertanggungjawabkan isi beritanya,
pers mahasiswa mempunyai tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Intinya,
keberpihakan persma adalah pada nilai. Tanggung jawab moral ini menjadi kunci
utama para insan pers mahasiswa dalam penulisan berita.
PPMI
dan Persma di Masa Mendatang
…