Waktu
menunjukan pukul 19.30. saya besama Tommy,
salah seorang rekan Pledoi, beranjak menuju rumah Pak Sunarno. Pak Sunarno
adalah salah seorang Dewan Penasehat Presedium COP (Community Oriented
Policing). Belum banyak orang yang mengetahui tentang COP itu sendiri, tapi
peran mereka sebagai Polisi Masyarakat cukup nyata bagi banyak orang. COP itu
sendiri adalah sebuah program pemolisian masyarakat. Dalam program ini,
masyarakat dan polisi bukan lagi merupakan dua organ yang berbeda, tetapi
keduanya merupakan mitra dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Jujur
saja saya sendiri belum banyak tahun tentang COP itu sendiri. Hal inilah yang
menantang saya untuk terus mencari tahun tentang apa itu COP. Sepanjang
perjalanan menuju rumah Pak Sunarto saya terus berdiskusi
dengan Tommy soal COP. Saya merasa tidak sabar untuk
mengetahui lebih banyak lagi soal apa itu COP dari salah satu Dewan Penasehat
Presedium COP ini.
Walau
sempat kebingungan mencari jalan, namun akhirnya kami bisa tiba di rumah Pak
Sunarno juga. Setiba di rumah Pak Sunarno, kami langsung dipersilahkan duduk.
Pria beranak satu ini menyambut kami dengan senyum yang terpancar di wajahnya
yang mulai berkerut itu. Aku melihat sesuatu yang berbeda dari pandanganku
selama ini tentang polisi pada umumnya. Polisi selalu berperawakan menyeramkan
dan selalu menjadi ketakutan tersendiri saat aku bertemu di tengah jalan.
Mana
mungkin tidak? Masih terbersit dalam bayanganku tentang kasus pemukulan seorang
warga oleh aparat polisi di Sumba pada malam tahun baru. Polisi memukul dan
terus memukul sampai berdarah tampa dibalas. Berita pemukulan seorang warga
Sumba itu menyebar luas tidak hanya di internet saja, tapi juga menjadi head line news di beberapa media nasional. (http://www.youtube.com/watch?v=oZNOm8wmHFQ)
Aku
juga teringat kembali akan video pembubaran kongres di Papua Barat. Polisi
datang dengan begitu brutal memubarkan peserta kongres. Dalam Video itu
ditunjukan polisi yang memukul beberapa peserta kongres. Polisi juga menyuruh
puluhan orang berjalan jongkok lalu berkumpul di bawah panasnya terik Matahari.
Hal
ini semakin menambah image di
masyarakat kalau polisi bukanlah petugas keamanan masyarakat, tapi hantu
masyarakat. Polisi bukan lagi sahabat masyarakat, tapi musuh masyarakat. Polisi
bukan lagi penjaga keamanan masyarakat, tapi polisi menjadi salah satu organ
yang meresahkan masyarakat.
Saya
tersadar dari lamunan mendapatkan Tommy
sedang asik mendengarkan cerita Pak Sunarno tentang kesehariannya. Saya bangkit
dari duduk sembari melihat beberapa foto yang terpampang di tembok dinding
depan rumah Pak Sunarno. Foto-foto itu merupakan gambar dari beberapa kegiatan
COP bersama masyarakat.
“Itu
foto kegiatan masyarakat sini”, kenang kakek yang telah memiliki empat
orang cucu ini ketika melihat saya mendekati yang terpampang
di dinding sebelah barat teras depan rumah.
Setelah
melihat sepintas foto-foto itu, saya kembali duduk pesis di depan Pak Sunarno.
Saya mengambil tas untuk mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk wawancara.
Suasanapun hening sejenak.
“Secara
garis besar, COP itu sendiri sudah berjalan dengan baik. Hanya saja, kendala
kita terbesar adalah dana.” Demikian ucap pria yang hanya menggunakan celana
pendek ini memecahkan kesunyian.
Menurutnya
untuk melakukan kegiatan-kegiatan di masyarakat atau mengadakan
pelatihan-pelatihan pasti membutuhkan dana. Sampai saat ini COP belum memiliki
pendanaan yang jelas, baik dari kecamatan maupun kepolisian.
“Ya…
namanya kalau ngumpul atau pasti
butuh minum dan itu harus ada dananya. Selama ini saya selalu menggunakan dana
pribadi”, keluhnya.
Memang
ada sedikit bantuan dari PUSHAM UII, tapi tidak seberapa, apalagi untuk
mendanai COP dalam setahun. PUSHAM UII biasanya membantu dalam memberikan
pelatihan-pelatihan guna meningkatkan Sumber Daya Manusia COP itu sendiri.
“Kami
menginginkan sekali banyak pelatihan guna meningkatkan kualitas sumber daya
manusia kami”, tuturnya.
Walau
terkendala dalam pendanaan bukan berarti COP tidak melakukan tugas-tugasnya
secara maksimal. Bagi mereka dana memang merupakan salah satu faktor penting,
tapi dana bukanlah segalanya.
Keamanan
masyarakatlah yang dinomorsatukan. Apabila ada hal-hal yang dapat meresahkan
masyarakat, maka COP akan segera bertindak. Misalnya ada pengaduan dari
masyarakat terkait beberapa warung yang menjual minuman beralkohol atau
kekerasan rumah tangga dan lain sebagainya, akan secepatnya mereka
menindaklanjutinya.
Cara
mereka menindaklanjuti sebuah permasalahan pun sangat menarik. COP tidak pernah
memberikan sangsi kepada para pelaku, tapi lebih menggunakan cara kekeluargaan.
Biasanya dengan mempertemukan kedua bela pihak, memberikan nasihat, dan
penandatanganan surat perjanjian agar Si pelaku tidak melakukan kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya. Kalau
seandainya masih dilanggar baru mereka serahkan permasalahan itu ke ranah hukum
atau kepada pihak kepolisian.
“Sampai
saat ini, semua permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat terselesaikan
dengan baik. Misalnya dulu ada beberapa warung yang menjual minuman beralkohol.
Kita datangi tempat-tempat itu dan membicarakannya secara baik-baik. Hasilnya,
tidak ada lagi yang menjual minuman keras di sini.” Demikian cerita Pak Sunarno
sembari mengingat kembali beberapa kasus yang pernah dia tangani selama menjadi
COP.
Selain
menangani kasus-kasus yang terjadi masyarakat sekitar, COP juga memiliki
program kegiatan sosial. Kegiatan-kegiatan sosial itu sederhana bentuknya, tapi
berdampak bagi banyak orang.
“Kita
pernah buat kegiatan bersama masyarakat seperti mengangkat sampah-sampah yang
berserakan di Terminal Giwangan.” Kenang pria yang sudah memiliki banyak uban
di kepalanya. “Ya… ngitung-ngitung sekalian sosialisasilah”, lanjutnya sembari
tertawa.
Memang
diakui oleh Pak Sunarno sendiri kalau sosialisasi di masyarakat terkait COP itu
sendiri masih sangat kurang. Akibatnya masih ada banyak
orang yang belum tahu tentang COP itu sendiri. Salah satu upaya yang sedang
dilakukan untuk mensosialisasikannya dengan cara menjalin
kerjasama dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Desa). Selain itu COP juga sedang
berusaha untuk melakukan kerjasama dengan POLRI untuk sesekali melakukan patroli
bersama polisi.
“Itu
baru dalam tahap perencanaan kami”, Jelasnya.
Selain
berencana untuk melakukan kerjasama dengan POLRI, COP juga bekerjasama dengan
RT/RW setempat untuk mempermudah koordinasi kerja. Tujuannya biar jelas tugas
mereka di masyarakat.
COP,
dari segi keadministrasian sudah tergolong baik. Mereka sudah punya buku
pengaduan, buku tamu, daftar hadir, daftar piket. Hanya saja mereka sampai saat
ini belum memiliki seketariat. Selain itu mereka juga belum memiliki
standarisasi perekutan anggota yang baik. Siapa yang mau,
itu yang direkrut menjadi anggota COP.
Beberapa
kendala di atas sebenarnya bisa menjadi catatan bagi pihak kepolisian dan juga
SKPD serta aparatur daerah lainnya untuk mencari solusinya. Hal ini menjadi
sangat penting agar terwujudnya ketentraman
dan kedamaian di masyarakat.
Di
sela-sela perbincangan kami, Pak Sunarno mengajak kami main tebak-tebakan. Waktu itu kami hanya menyimak dengan antusias, kira-kira
tebakan apa yang akan diberikan oleh Pak Sunarno.
“Coba kalian tebak berapa
umurku sekarang?” Demikian kelakar Pak Sunarto. Aku dan Tommy
coba menebak berdasarkan keriput kulit dan uban yang ada pada bapak ini. “60
tahun”, ujar Tommy. “70 Tahun”, akupun menyambar tak mau
kalah. “Umurku sekarang sudah 67 Tahun” ujarnya dengan melempar pandangan ke
arah kami berdua sembari tersenyum. Aku dan Tommy
saling berpandangan dan tersenyum malu karena kami tahu kami kalah dalam
tebak-tebakan itu.
Reportase bersama Tommy Apriando