Aku
dilahirkan dari sepasang insan yang bersahaja. Hidup rukun dan beriman telah
mendara daging dalam diri mereka. Mereka tinggal di sebuah pedesaan, beratapkan
sebuah gubuk reot tidak lantas membuyarkan rasa cinta mereka untuk tetap hidup
rukun.Perpaduan antara cinta dan kerukunan menghasilkan buah hati yang menjadi
malaikat pembawa berkah.
Denting
lonceng surga dibunyikan para malaikat, membahana sampai kehati dua sejoli.
Malam indah bertabur bintang, cahaya sang Dewi cinta terpancar cerah. Bunga
yang layu seakan bermekaran lagi.
Di
sebuah ruangan yang diterangi dian dengan cahaya remang-remang, terdengar suara
tangis seorang anak manusia, khas seakan mengucapkan selamat di kehidupan yang
baru. Desa yang sunyi senyap seketika ditaburi rasa bahagia dengan adanya
manusia baru yang kelak akan menjadi sahabat mereka.
Kala
itu 9 Desember 1986, aku diperkenalkan Tuhan sebagai seorang anak manusia yang
dititipkan pada pasangan muda nan bahagia itu. Terlintas dalam benak kedua
orang tuaku untuk segera memperkenalkan pada masyarakat desa yang seketika
bermunculan di halaman gubuk reot itu.
Setelah
aku meluapkan kegembiraan dengan sebuah tangisan, kedua orang tuaku langsung
menamai aku sesuai yang telah mereka siapkan. Richi,sapa ibuku. Richi Richardus
Petrus Anyan, lanjut ayahku. Demikan aku dinamai oleh mereka.
Tak
semata menyumbang nama. Nama mengandung sejuta arti. Richi Richrdus Petrus
Anyan tak hanya sebatas nama. Richi Richrdus Petrus Anyan menyirat sejuta
makna.
Sedikit
bernostalgia. Pada tahun 80-an muncul seorang penynyi ibu kota ternama, Richi
Richardo namanya. Lantunan suara yang merdu dengan lirik “di Sekolah yang Ku
Tunggu” menginspirasikan kedua orang tuaku untuk menamai aku demikian. Harapan
mereka agar suatu saat aku bisa menjadi seorang yang terkenal. Sebuah harapan
dari kebanyakan orang pedesaan yang lumrah, walau kedengaran konyol.
Dua
minggu setelah aku dilahirkan, aku dibabtis menjadi seorang Katolik. Nama
babtisku Petrus. Nama ini diambil dari salah seorang murid Yesus. Dapat ditebak
bahwa harapan orang tuaku agar kelak aku bisa menjadi pewarta kabar gembira
kepada teman-temanku yang lain.
Akan
tetapi, bila direfleksikan lebih jauh lagi, petrus adalah satu-satunya murid
Yesus yang diberi mandat untuk memegang kunci Kereajaan Sorga. Petrus juga
dikenal sebagai salah satu murid Yesus yang memiliki pendirian yang kuat,
karena itu dia diberi nama kefas dalam bahasa Ibrani yang artinya “Batu
Karang”. Nama Petrus ini tidak hanya sekedar nama. Nama ini ternyata telah
mendarah danging dalam diriku. Aku tak bisa mengelak kalau aku memiliki
pendiria atau prinsip yang kuat. Hal terejawantakan dalam perjalanan hidupku
sehari-hari. Salah satu contohnya saat aku harus mengambil keputusan yang besar
untuk harus keluar dari Biara. Waktu itu aku merasa kalau visi dan misi biara
itu sangat berlawanan dengan kehendak hatiku. Aku merasa kalau hidup di Biara
hanya akan membatasi aku untuk mengekspresikan hidupku. Akhirnya aku mengambil
keputusan untuk keluar dari biara walau itu bukan kehendak dari orang tuaku dan
kepala Biara. Saat itu pun aku berpikir kalau mewartakan kabar gembira tidak
hanya dengan jalan menjadi seorang Imam, tapi dengan menjadi seorang guru pun
aku bisa mewartakan Injil.
Namaku
yang terakhir merupakan margaku. Menurut adat-istiadat daerah kami, nama marga
harus ada dan berada di akhir nama. Nama marga biasanya diambil dari marga
seorang ayah sebaga bentuk penghormatan dan tanda bhakti seorang anak kepada
orang tuanya. Karena itu margaku adalah Anyan. Mungkin agak mirip dengan nama
orang China, atau jangan-jangan aku adalah keturunan orang China? Itu tidak
penting, yang penting aku adalan aku yang diakui oleh pengakuanku. Aku ada
untuk aku yang lain dan aku yang lain ada untuk melengkapi kekuranganku.